TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia menyoroti penangkapan puluhan mahasiswa yang berunjuk rasa memperingati 27 tahun Reformasi di depan Balai Kota Jakarta.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid penangkapan tersebut merupakan ironi.
“Sungguh ironis, mahasiswa yang memperingati 27 tahun Reformasi yang menandai jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto justru mengalami penangkapan massal," kata Usman Hamid, Jumat (23/5/2025).
Para mahasiswa Trisakti tersebut, kata Usman sebenarnya hanya ingin menyampaikan aspirasi damai mereka ke kantor Bakesbangpol DKI Jakarta.
Namun, dalam prosesnya sempat terjadi ketegangan antara sejumlah peserta aksi dengan beberapa petugas pengamanan Balai Kota.
"Kepolisian memang berwenang menindak siapa pun yang melanggar hukum dalam suatu unjuk rasa. Namun, respons yang diambil harus proporsional sesuai ancaman yang dihadapi. Penangkapan massal sebenarnya bisa dihindari. Mengingat status mereka sebagai mahasiswa aktif, kami berharap polisi membebaskan mereka," jelasnya.
Menurutnya respons berlebihan berupa penangkapan massal tersebut juga bertentangan dengan komitmen Gubernur Pramono Anung untuk melindungi segala bentuk aksi damai di wilayah Jakarta.
"Dalam pertemuan antara Pramono dan Sekjen Amnesty Agnes Callamard pada bulan Maret lalu, Gubernur Jakarta berkomitmen untuk berkordinasi dengan jajaran Polda Metro Jaya untuk melindungi segala bentuk aksi damai di Jakarta.” tandasnya.
Sebagai informasi sumber kredibel Amnesty International Indonesia mengungkapkan 93 mahasiswa Universitas Trisakti ditangkap setelah terjadi kericuhan dalam aksi unjuk rasa di Balai Kota Jakarta pada Rabu, 21 Mei 2025.
Mereka hingga Kamis siang masih ditahan di Markas Polda Metro Jaya terkait dugaan kasus pengeroyokan, perusakan fasilitas umum, maupun provokasi massa aksi.
Para mahasiswa saat itu menggelar aksi demo untuk memperingati 27 tahun Reformasi dan ingin menyampaikan aspirasi damai mereka agar Bakesbangpol DKI menjadikan 4 mahasiswa yang menjadi korban penembakan dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 sebagai pahlawan nasional.
Berawal dari massa aksi ingin menyampaikan aspirasi dan beberapa dari mereka masuk ke area dalam kompleks Balai Kota, namun petugas keamanan meresponsnya dengan menutup pagar Balai Kota. Tak lama kemudian terjadi kericuhan antara massa aksi, aparat kepolisian dan petugas pengamanan dalam yang berjaga di pagar.
Kepolisian sekitar pukul 5 sore menangkap 93 mahasiswa peserta aksi dan membawa mereka ke Polda Metro Jaya.
Sumber Amnesty juga mengungkapkan aparat menyita barang-barang pribadi massa aksi yang ditangkap, seperti jam tangan, cincin, kalung, dan lain-lain.
Selama para mahasiswa ditahan, pendampingan hukum terhadap mereka dihambat dan mereka pun tidak leluasa bertemu dengan orangtua masing-masing.
Berdasarkan Prinsip Dasar Penggunaan Kekrasan dan Senjata oleh Aparat Keamanan PBB (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials), seseorang dapat ditangkap jika terdapat bahaya yang serius dan mematikan dan hanya dapat dilakukan hanya jika cara-cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencegah kematian atau luka serius.
Polres Metro Jakarta Pusat, menurut laporan media, mengungkapkan penangkapan dilakukan lantaran massa aksi diduga menganiaya anggota polisi dan ada tujuh polisi yang terluka.