Pakar Kepemiluan Jerman Sebut Alokasi Kursi Parlemen RI Langgar UU, Tawarkan Sistem Campuran
Wahyu Aji May 23, 2025 09:34 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Golkar DPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Sistem Pemilu Campuran: Jalan Tengah untuk Mencapai Pemilu yang Berkualitas” pada Jumat (23/5/2025), menghadirkan narasumber utama Pipit Rochijat Kartawidjaja, pakar sistem pemilu dunia dan pensiunan ASN Jerman.

Diskusi yang digelar secara daring dan luring ini membedah opsi reformasi sistem pemilu Indonesia, termasuk kemungkinan transisi ke sistem campuran seperti yang diterapkan di Jerman atau Jepang.

Ketua Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji menyebut FGD ini sebagai forum untuk menggali opsi-opsi yang bisa diambil bila UU Pemilu direvisi.

“Kita tidak ingin menawarkan obat yang lebih berbahaya dari penyakitnya. Kita tawarkan obat yang jitu untuk mengatasi penyakitnya,” kata Sarmuji.

"Kita mengkaji semua opsi, tidak hanya satu opsi, mana yang terbaik untuk bangsa dan negara, yang muaranya untuk kesejahteraan rakyat," ujar Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu.

Masalah Representasi dan Ketimpangan Kursi

Pipit mengkritisi ketimpangan alokasi kursi DPR antar daerah pemilihan.

Ia menyebut praktik saat ini melanggar prinsip keadilan representatif sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU No. 7 Tahun 2017.

Contohnya, DKI Jakarta II dengan jumlah partisipasi pemilih tinggi hanya mendapat kursi lebih sedikit dibanding DKI Jakarta III.

“Negara maju seperti Jerman dan Norwegia mengatur alokasi kursi berdasar proporsi penduduk, luas wilayah, dan suara sah. Indonesia perlu meniru ini,” ujarnya.

Apa Itu Sistem Pemilu Campuran?

Pipit memaparkan tiga model sistem campuran:

Sistem Paralel: Pemilih punya dua suara, hasil distrik dan proporsional tidak saling memengaruhi.

Mixed-Member Proportional (MMP): Total kursi partai ditentukan oleh suara proporsional, dengan penyesuaian dari hasil distrik (digunakan di Jerman dan Selandia Baru).

Sistem Kompensasi: Menjaga keseimbangan representasi secara nasional.

Menurut Pipit, sistem campuran mampu menyamakan “harga kursi” antardapil, menekan politik uang, memperkuat kaderisasi, serta meningkatkan keterwakilan perempuan dan minoritas.

Pandangan DPR: Jangan Belok Terlalu Tajam

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai sistem proporsional terbuka masih lebih menguntungkan. Ia mengingatkan bahwa perubahan sistem pemilu Indonesia sejak 2004 berlangsung secara bertahap.

"Kalau ada perubahan ke sistem campuran, beloknya terlalu tajam, menikung, mengubah secara drastis," kata legislator Partai Golkar itu. 

Zulfikar juga menampik anggapan bahwa sistem terbuka membuat anggota DPR lebih liar dan tidak tunduk pada partai.

“Lihat saja Firman Soebagyo. Beberapa kali jadi pimpinan AKD, tapi tetap patuh pada garis Fraksi. Saya pun begitu.”

Pipit menegaskan, sistem campuran adalah jalan tengah yang realistis dan tidak terlalu asing bagi pemilih Indonesia.

“Model ini masih bernapas proporsional, sehingga tidak menyulitkan publik untuk beradaptasi,” ujarnya.

FGD ini menjadi langkah awal Fraksi Golkar untuk membuka ruang diskusi publik terkait reformasi sistem pemilu nasional yang lebih adil dan inklusif.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.