Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Perjuangan mewujudkan 'Indonesia Emas 2045' bukan hanya soal ekonomi atau teknologi, namun juga kesehatan generasi penerusnya.
Saat ini, ada 'silent killer' bernama Gula, Garam, dan Lemak (GGL) yang mengancam kesehatan generasi muda bila dikonsumsi secara berlebihan.
Risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, diabetes, hingga gagal ginjal membayangi anak-anak muda dan mengancam bonus demografi yang dinanti.
Data Survei Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2023 menunjukkan, prevalensi atau jumlah kasus obesitas Indonesia mencapai 23,4 persen untuk orang dewasa di atas 18 tahun atau usia produktif.
Angka ini nyaris setengah dari prevalensi status gizi normal di Indonesia yang sebesar 54,4 persen. Artinya, sekitar 1 dari 5 penduduk Indonesia mengalami obesitas.
Sementara itu menurut data International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak di dunia dengan 19,5 juta penderita di tahun 2021.
IDF memprediksi jumlah penderita diabetes di Indonesia akan menjadi 28,6 juta pada 2045, tahun Generasi Emas yang dinantikan.
Kekhawatiran ini yang mendasari organisasi Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia memperjuangkan pengendalian konsumsi GGL di masyarakat.
Wakil Ketua Fakta, Azas Tigor Nainggolan mengungkapkan, pihaknya tengah memperjuangkan upaya pengendalian GGL melalui jalur advokasi hukum sekaligus kampanye hidup sehat, serta mengusulkan kebijakan secara fiskal dan non fiskal.
Fakta telah menyampaikan urgensi pengendalian GGL bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
“Kami membangun advokasi kebijakan untuk pengendalian GGL, khususnya gula dulu yang pertama, untuk makanan olahan dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK),” ungkap Tigor saat diwawancarai Tribunnews, Jumat (23/5/2025).
Secara fiskal, Fakta mendorong Kemenkes dan Kemenkeu untuk segera memberlakukan cukai pada MBDK.
Sementara untuk non fiskal, Fakta mengusulkan penggunaan Front-of-Package Labelling (FOPL) atau pelabelan di bagian depan kemasan.
FOPL merupakan bentuk penyampaian informasi pelabelan gizi sederhana di bagian depan yang lebih mudah diakses konsumen, dan dilengkapi dengan tabel informasi gizi di bagian belakang kemasan.
“Setiap produsen makanan atau minuman olahan harus membuat label peringatan atau warning label tentang makanan tidak sehat, seperti apabila mengandung gula lebih harus diberi label tinggi gula,” ungkapnya.
Selain melalui advokasi, Fakta juga aktif menyosialisasikan bahaya konsumsi GGL berlebih kepada masyarakat, terutama terkait minuman berpemanis.
Mengutip data Survei Kesehatan Indonesia 2023, menunjukkan sebanyak 47,5 persen warga Indonesia berusia 3 tahun ke atas, mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali dalam sehari.
Kemudian, 43,3 persen lainnya mengonsumsinya 1-6 kali dalam satu minggu.
“Penyebab obesitas sering disebabkan oleh kombinasi faktor genetik, lingkungan, gaya hidup, dan pola makan yang tidak sehat.”
“Pola makan tidak sehat ini termasuk juga adalah mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan secara berlebihan yang juga diakibatkan belum adanya kebijakan pengendalian,” ujarnya.
Menurut Tigor, ancaman nyata pada generasi muda ini tidak boleh diabaikan.
Sehingga penting bagi mereka untuk melakukan kampanye kesehatan kepada masyarakat, seperti yang sudah dilakukan di Jabodetabek, Bandung, Solo, dan Yogyakarta.
“Target kami masyarakat menengah ke bawah, terutama membangun kesadaran orang tua sehingga anak anak tidak mengonsumsi makanan atau minuman GGL, khususnya gula berlebih,” ungkapnya.
Menurut Tigor, dampak yang sangat terasa adalah semakin banyaknya anak muda yang menderita diabetes dan gagal ginjal.
Studi Global Burden of Disease per 2019 menunjukkan bahwa 1,4 juta orang meninggal karena penyakit ginjal kronis. Sementara di Indonesia, angka kematiannya sekitar 42 ribu.
Kementerian Kesehatan juga menyoroti pergeseran usia penderita gagal ginjal yang semakin muda.
“Ini sudah alarm bahaya untuk generasi muda, kita berharap bonus demografi Indonesia Emas 2045, tapi kalau generasi sekarang masih muda sudah gagal ginjal, diabetes, obesitas, bukan Indonesia Emas tapi Indonesia Lemas, generasi sakit-sakitan,” ungkap Tigor.
Tigor menegaskan, GGL yang dikonsumsi berlebih adalah investasi penyakit.
“Makanya kami berharap pemerintah segera pengendalian konsumsi GGL lewat cukai dan penggunaan label makanan tidak sehat,” harapnya.
Tigor menegaskan, pemerintah mendapat mandat untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) tentang cukai bagi produk MBDK. Ketetapan itu tertuang dalam Pasal 194 ayat (4) Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan.
"Selanjutnya untuk memperkuat perintah tersebut, saat ini pemerintah sedang berjalan membuat PP maka pemerintah menerbitkan Keppres No 4 Tahun 2025 Angka 7 yang menyatakan Pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang barang kena cukai berupa minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK)," urainya.
"Berdasarkan Keppres No.4 Tahun 2025 pemerintah RI harus sudah menetapkan PP tentang Cukai MBDK pada tahun 2025," pungkasnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana juga menyoroti pentingnya kontrol dalam konsumsi GGL, terutama gula.
Niti mengatakan, saat ini, YLKI menagih janji pemerintah untuk menerapkan cukai terhadap MBDK.
“Cukai MBDK ini bukan hal yang baru, ini sudah lama dan beberapa negara sudah menerapkan, bahkan negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand sudah menerapkan,” ungkapnya kepada Tribunnews, Jumat (23/5/2025).
Kementerian dan lembaga yang berkaitan, menurut Niti, harus memprioritaskan kebijakan cukai MBDK ini sesegera mungkin.
“MBDK punya dampak jangka panjang terhadap obesitas dan diabetes pada anak kecil maupun dewasa, dengan adanya cukai MBDK diharapkan ada pengurangan konsumsi MBDK dan beralih ke air mineral yang lebih sehat,” ungkap Niti.
“Cukai MBDK ini sudah direncanakan dari 2024, tapi dari pemerintah mengundur tahun 2025, sehingga kami menagih janji kepada pemerintah,” ungkapnya.
Niti juga menyoroti dampak MBDK pada bonus demografi Indonesia di masa depan.
“Tentu akan berpotensi berdampak, karena sasaran MBDK saat ini adalah anak-anak dan remaja yang nantinya akan masuk usia produktif.”
“Kalau dari sekarang konsumsi gula berlebih maka akan berdampak pada diabetes, penyakit tidak menular lainnya, dan ini akan menurunkan produktivitas di masa mendatang,” ungkap Niti.
Niti mengungkapkan, salah satu indikator termanfaatkannya bonus demografi adalah produktivitas yang tinggi dan mampu bersaing di level nasional bahkan internasional.
“Tapi kalau kesehatannya terancam, maka bonus demografi yang bisa dimanfaatkan justru akan terganggu,” ungkapnya.
Sementara itu, DPR RI juga mempertanyakan rencana pemerintah memberlakukan cukai MBDK pada Semester II tahun 2025.
Ketua Komisi XI, Mukhammad Misbakhun mempertanyakan hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Direktorat Jenderal Bea Cukai pada Rabu (7/5/2025).
"Bahkan pada KEM PPKF (Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal) 2023 lalu pemerintah berjanji akan mengenakan bahkan dengan desain tarifnya tapi sampai sekarang tidak terwujud."
"Apa hambatannya sehingga merasa seperti ada barier atau hambatan teknikal untuk mewujudkan itu padahal dukungan politik sudah," ujar Misbakhun.
Diketahui, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI telah mengusulkan penetapan tarif cukai MBDK sebesar 2,5 persen pada 2025.
Nantinya, tarif tersebut perlahan akan dinaikkan hingga maksimal mencapai 20 persen.
Dokumen RAPBN 2025 juga mengungkapkan pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai sebesar Rp 244,2 triliun atau tumbuh 5,9 persen, termasuk dari MBDK yang diharapkan menyumbang pendapatan sebesar Rp 3,8 triliun pada 2025.
(*)