M.H. Thamrin, Pahlawan Betawi yang Doyan 'Makan Sekolahan' dan Begitu Dicintai Rakyatnya
Moh. Habib Asyhad May 25, 2025 02:34 PM

Nama besar Mohammad Hoesni Thamrin sejatinya lebih besar dibanding yang orang tahu. Anak Betawi yang doyan sekolah ini punya segalanya untuk dicintai rakyatnya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Mohammad Hoesni Thamrin selalu tampil bak serigala galak. Suaranya tajam dan tegas. Penampilannya yang rapi, tak mengurangi keangkerannya saat berdiri dan mengangkat suara.

Hoesni Thamrin anak Betawi, pentolan berbagai organisasi politik, tokoh pergerakan dan wakil rakyat Batavia dalam sidang pemerintahan kolonial, berani membela warga, bangsa, dan negaranya.

Meski fasih berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, ia justru berpidato dalam bahasa Indonesia (yang diejek koran Belanda sebagai potjes Maleische). Pidatonya menggugat kebijakan politik kolonial, sampai soal Indonesia Raya dan Indonesia Merdeka! Misalnya cukilan pidatonya yang berani pada 1938:

"Fraksi kami sengaja menerangkan bahwa ia menuntut kemerdekaan Indonesia … pemerintah itu disusun dan dikuasai oleh anak negeri sendiri ... yang bisa mengetahui dan merasai keperluan masyarakat Indonesia ... hanya makhluk Tuhan yang tidak berakal beringin diperhambakan selama-lamanya dan tidak mempunyai angan-angan untuk merdeka ..."

Umurnya pas-pasan

Kemunculan pemuda ini mengagetkan. Di usia awal 20-an tahun, Hoesni Thamrin terus hadir dan dari tahun ke tahun dengan cepat menapak berbagai anak tangga jabatan. Mulai pegawai pembukuan, pegawai pemerintah daerah, wakil walikota I Batavia (Loco Burgemeester), anggota Volksraad, sampai menjadi tokoh partai dan organisasi pergerakan nasional di zaman Belanda, memang menarik banyak perhatian - baik pro maupun kontra.

Putra Wedana Batavia Tabri Thamrin ini setelah lulus dari Institut Bosch melanjutkan lagi ke Koning Willem III (setingkat HBS) juga di Batavia. Kemudian Hoesni keluar tak menyelesaikan tingkat pendidikan menengahnya.

Anak lelaki ini bekerja magang di kantor patih lalu ke Residents Kantoor Batavia. Setelah itu pindah menjadi pegawai tata buku KPM. Selama itu pula, Thamrin muda banyak bergaul di segala kalangan - termasuk persahabatannya dengan tokoh sosialis Daan van der Zee.

Sebagai anak Betawi, Hoesni Thamrin yang senang berorganisasi mulai menghimpun organisasi Kaoem Betawi. Organisasi lokal ini memperjuangkan nasib penduduk kota besar di Hindia Belanda.

Suatu ketika, Hoesni Thamrin yang dianggap Van der Zee cukup terbuka dan luas pemikirannya, ditawari menjadi anggota Gemeenteraad Batavia sebagai wakil kaum Betawi. Tanggal 29 Oktober 1919, Hoesni menjadi anggota yang berumur pas-pasan dengan persyaratan umur minimal.

Hoesni Thamrin dianggap sebagai tokoh Betawi yang cukup langka. Dia beruntung karena berpendidikan sampai sekolah menengah Belanda di Batavia. Hoesni bekerja sebagai pegawai pemerintah dan penata buku maskapai pelayaran KPM. Sebagai anak Betawi, Hoesni Thamrin pun cukup piawai sebagai pedagang.

"Lahir pada tanggal 16 Februari 1894, maka dalam usia 25 tahun itu ditunjuk gubernur jenderal untuk duduk sebagai anggota Dewan Kota Batavia," tulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam Muhammad Husni Thamrin di Tengah Jalinan Pergerakan Nasional (1982).

"Ketika para pemimpin nasional revolusioner dijebloskan ke penjara, mereka yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial di dalam dewan perwakilan rakyat (Volksraad) tampil memimpin pergerakan nasional. Penggunaan hak bertanya, penyusunan pidato perdebatan dan mosi di dalam Volksraad seirama dengan suasana pergerakan nasional di luar Volksraad, bahkan dalam banyak hal menunjukkan kematangan analisis kemasyarakatan. Salah seorang yang memimpin tuntutan pembaharuan politik di tengah krisis ekonomi, politik kolonial … adalah Mohammad Hoesni Thamrin, anak Betawi,” lanjut Surjomihardjo.

Putrinya menyanyi Indonesia Raya

Kariernya menanjak terus. Saat lowongan anggota dalam Volksraad terbuka, setelah penolakan H.O.S. Tjokroaminoto dan dr. Soetomo, nama Hoesni Thamrin pun masuk atas usul dr. Sardjito. Tanggal 27 Mei 1927 tercatat sebagai hari pertama Thamrin masuk gelanggang Volksraad alias DPR zaman kolonial.

Sejak itu kegiatannya makin berlanjut. Aktif dalam arus aspirasi pergerakan nasional, ia ikut usaha menghapuskan poenale sanctie yang amat mengancam nyawa dan keselamatan "koelie kontrak" di Sumatera. Juga berkecimpung di kancah pergerakan, serta berbaur dan mengenal tokoh ternama waktu itu, termasuk Sukarno.

Sebagai lelaki Betawi berjiwa saudagar, Hoesni memiliki beberapa rumah dan lahan. Namun dia rela menghadiahkan sebarisan rumah sewanya di Gang Kenari (kini menjadi Museum Mohammad Hoesni Thamrin).

"Ayah begitu sibuk dengan perjuangannya, namun masih menyempatkan waktunya untuk saya," ujar putri tunggal Hoesni Thamrin, Ny. Dee Zubaida Dimyati Thamrin (lahir 6 Juni 1927 di Jakarta), pada pertengahan 1995. "Seandainya sibuk di Volksraad, ayah akan mengirim sopir jemputan ke sekolah dan membawa saya ke gedung itu. Saya masih ingat suka sekali menikmati es krim dan coklat, sambil menunggu ayah selesai kerja. Nanti baru pulang sama-sama."

Kalaupun Hoesni Thamrin mau rapat di luar kota, ke Villa Sinar Sari di Sukabumi, pasti mengajak serta putri tunggalnya itu.

"Dalam mobil selama perjalanan itu, saya harus menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dengan cara itu ayah rupanya membimbing ke arah yang beliau inginkan, yaitu mencapai kemerdekaan," tutur Dee Thamrin yang berpendidikan di sekolah elite TK Ursulinen atau Ursula, SD di Carpentier Alting Stichting (CAS), dan sempat di Koning Willem HI setingkat HBS.

"Sayang, tak selesai, ayah meninggal dan Jepang masuk Indonesia. Pesan ayah, saya harus mempelajari bahasa Belanda secara sungguh-sungguh, agar tidak dibohongi oleh Belanda."

Dee Thamrin pun selalu ingat, ayahnya pernah berkata, "Kami harus rajin belajar di sekolah. Harus jujur, menepati janji, dan jangan sombong. Bantulah orang sebisa kamu, karena rakyat harus dibela," tutur Dee yang masih mengenang saatnya piknik ke salah satu pulau milik Hoesni Thamrin di Kepulauan Seribu, atau ke kebun buah keluarganya di Pasar Minggu.

"Saya sering diajak menonton di Bioskop Capitol, Globe, dan Krekot. Juga pernah nonton di Pasar Gambir Rumah kami di Jl. Sawah Besar sering dikunjungi tokoh pergerakan, termasuk Bung Karno yang menginap bersama Ibu Inggit Garnasih, dan Ratna Djuami."

Laporan palsu mata-mata?

Sifatnya yang ramah serta kemampuannya mengolah kata dalam beberapa bahasa asing membuat Hoesni populer di segala kalangan -- atas, menengah, sampai rakyat jelata. Sebagai pembicara, Hoesni amat tangguh. Anak Betawi yang "makan sekolahan" ini sempat mendirikan partai dan organisasi politik.

"Meski dalam politik ayah merupakan lawan dari Belanda, tetapi dalam pergaulan sehari-hari Belanda sangat menghargai ayah," tutur putri Hoesni Thamrin. "Ibu selalu mendampingi ke mana ayah pergi. Waktu lulus SD, kami diajak ayah ke Sumatera. Saya mendengar ayah berpidato di Padang, Medan, dan Aceh. Rupanya ayah membangkitkan semangat rakyat. Saat itu banyak orang tahu siapa Mohammad Hoesni Thamrin. Baru saat itu saya agak tahu, kalau ayah adalah orang besar."

Di ujung tahun 1935, Hoesni Thamrin membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra) bersama dr. Soetomo. Hoesni yang tulen pro gerakan kemerdekaan, sengaja menahan diri tak melebur dalam partai radikal yang dipimpin Sukarno dan Mr. R.M. Sartono.

"Ibarat mata uang yang nilainya ditentukan oleh dua sisinya, demikianlah pergerakan nasional di masa penjajahan tidaklah akan bertahan apabila terdiri atas mereka yang revolusioner saja, dan tak ada yang menempuh jalan lain secara evolusioner," tulis Surjomihardjo (1982).

Hoesni memilih menjadi wakil Betawi. Parindra dianggap partai yang cocok dengan semangat rakyat Indonesia. Tak aneh kalau beberapa perkumpulan kedaerahan melebur masuk Parindra.

"Di samping kecenderungannya untuk berbeda pendapat dalam kelompok dan partai politik lainnya, terdapat kecenderungan untuk usaha persatuan dengan sasaran utama kemerdekaan Indonesia," tulis Surjomihardjo.

"Jawara" politik Betawi ini diangkat lagi menjadi anggota Volksraad pada Mei 1938, lalu dirinya mulai menjadi incaran spion Belanda. Sebab di ujung tahun 1940, "jurang" pergerakan rakyat dan pemerintah Hindia Belanda semakin membesar.

“Bersamaan dengan penahanan rumah terhadap Thamrin, juga dilakukan penangkapan terhadap E.E.F.. Douwes Dekker dan dr. Sam Ratulangi," tulis Surjomihardjo.

"Penggeledahan di rumah pemimpin terkenal ini, sampai sekarang belum jelas. Pada saat itu Thamrin telah menjadi seorang pemimpin paling terkemuka dan terpandang di dalam masyarakat maupun Volksraad. Banyak yang menyangka pemerintah telah diperdayakan oleh laporan palsu mata-matanya ... Karena tak ada keterangan resmi pemerintah Hindia Belanda mengenai penahanan rumah dan meninggalnya Thamrin, maka ramailah desas-desus dan spekulasi di urat-surat kabar ... Penahanan polisi politik atas diri Thamrin beberapa hari sebelum dia meninggal … membawa kepanasan hati orang banyak ... Apalagi ketika itu para pemimpin Indonesia lainnya seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Mr. Koesoema Soemantri, dan lain-lainnya, masih dalam pembuangan," tulis Surjomihardjo lagi.

Puluhan ribu pelayat

"Pada jam 8 (11 Januari 1941, red) jenazah dibawa dari rumah ke masjid di Gang Wedana … setelah disembahyangkan … dimasukkan ke kereta dibalut kain putih, begitu pun enam ekor kudanya ditutup kain putih dan kusir-kusir pun berpakaian putih ... Keranda ditutupi dengan bendera Parindra ... Jam 9 kurang 15 menit, kereta mulai bertolak … Kalau ditotal ada kira-kira 200 oto yang mengiringkan ... kalau diukur maka rombongan yang mengiringkan kereta jenazah itu lebih kurang 3,5 kilometer panjangnya. ‘Kepalanya sudah melewati societet Harmoni, tetapi ‘ekornya’ masih belum bergerak di sepanjang Jalan Sawah Besar," tulis Matu Mona dalam Riwajat dan Perdjuangan Mohd. Husni Thamrin (1941).

"Rombongan berjalan dengan perlahan-lahan menurut suara trom (tambur - fled.) … Jumlah orang .. katakan saja puluhan ribu ... sehingga polisi bekerja mengatur lalu lintas ... anak-anak, orang dewasa, laki-laki, orang perempuan ... mulai dari penduduk kampung sampai mereka yang berdiam di jalan-jalan besar ... kelihatan semakin penuh sesak ... di tanah pekuburan Karet … beribu-ribu pula orang menanti ...."

Perjuangan lelaki ini cukup panjang untuk umur 47 tahun. Sebagai pahlawan kemerdekaan nasional (Keppres RI No. 175 Tahun I960), namanya bukan hanya terabadikan dalam buku sejarah, namun sosok Mohammad Hoesni Thamrin masih jelas dalam rupa patung torso perunggu berukuran 2,5 kali ukuran asli di Taman Monas Barat.

Hoesni makin jelas dengan kata-katanya yang diabadikan di tiang patungnya. Kutipan kata-kata itu terbaca:

"Setiap Pemerintah harus mendekati kemauan rakyat. Inilah sepatutnya dan harus menjadi dasar untuk memerintah. Pemerintah yang tidak mempedulikan atau menghargakan kemauan rakyat, sudah tentu tidak bisa mengambil aturan yang sesuai dengan perasaan rakyat."

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.