Oleh: Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati Pendidikan
TRIBUNNERS- Setiap merayakan ulang tahun Perkumpulan Strada, di tanggal 24 Mei, penulis kerap terpikir dengan pendidikan yang memerdekakan. Saya merasa demikian karena ketika dulu masih belajar di SD dan SMP Strada turut dibebaskan dari belenggu penalaran sempit. Bernalar di sekolah Strada dibuka lebar agar para murid bertumbuh rasa berani, cerdas, berintegritas, dan kreatif.
Pendidikan dalam banyak peristiwa dipandang sebagai alat pembebasan dalam meraih kemajuan keutuhan manusia tapi kenyataan situasi menunjukkan sebaliknya, yakni paradoks kecemasan. Institusi pendidikan dalam aneka kasus malah menjadi ruang kebiri nalar, dan daya cipta peserta didik.
Berharap jadi arena pemekaran potensi, dalam praktik justru berbeda, sekolah berfungsi sebagai instrumen reproduksi sosial yang melanggengkan kepatuhan, ketakutan akan kesalahan, dan perhambaan terhadap otoritas pengetahuan yang tidak boleh digugat. Sungguh ironis, semua itu dibungkus dalam jargon kemajuan, mutu dan standar tinggi, padahal secara hakiki justru menjebak murid dalam struktur berpikir tertutup dan dangkal.
Sebagaimana dijelaskan Paulo Freire (2000), penindasan dapat berlangsung bukan karena kekerasan fisik belaka, melainkan melalui proses depersonalisasi yang menghilangkan kesadaran kritis. Kaum tertindas tetap tertekan karena mereka tidak menyadari keberadaan dirinya sebagai subjek teralienasi.
Dalam sistem pendidikan, keadaan serupa berlangsung saat murid diposisikan hanya sebagai tempat kosong yang harus diisi, bukan sebagai persona aktif berpikir dan mencipta. Mereka diajarkan untuk taat semata, bukan mempertanyakan.
Padahal Shaull (2005) secara eksplisit mengatakan “Education either functions as an instrument that is used to facilitate the integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity to it, or it becomes "the practice of freedom," the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.”
Dalam pernyataan itu, Shaull dengan tegas mengungkapkan bahwa pendidikan berfungsi sebagai instrumen yang digunakan untuk memfasilitasi integrasi generasi muda ke dalam logika sistem masa kini dan mewujudkan kesesuaian dengannya, atau menjadi "praktik kebebasan," sarana yang dengannya pria dan wanita menghadapi realitas secara kritis dan kreatif dan menemukan cara berpartisipasi dalam transformasi dunia mereka.
Akan tetapi dalam realitas, banyak murid yang dibentuk untuk menghafal bukan mengerti, untuk memenuhi target sasaran, bukan menemukan makna. Maka tidak heran, pendidikan yang seyogyanya mencerdaskan malah menghasilkan profil alumni yang terjebak dalam ilusi kesuksesan akademik, tetapi tidak memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas dunia yang terus berubah.
Lebih buruk lagi, sistem seperti ini dapat membunuh kreativitas, dan juga mematikan keberanian eksistensial untuk bertanya dan mengambil keputusan sendiri. Ketika pemikiran kritis tidak mendapat tempat, murid tumbuh dengan nalar tumpul dan hati tertenung atau tersirep dalam ketundukan Proses tersebut menghasilkan generasi sangat terdidik secara teknis, tetapi rapuh dalam spiritual dan intelektual.
Mereka barangkali mempunyai gelar, tetapi tidak mempunyai kompas etis, dan keberanian menghadapi ketimpangan. Mereka diajarkan menjadi sukses, namun tidak diajarkan hidup dalam keutuhan sebagai manusia. Dalam konteks seperti itu, pendidikan bukan lagi jalan pembebasan, melainkan alat yang mengabadikan ketakutan, imitasi, dan kepalsuan.
Sebaliknya, pendidikan yang memerdekakan menempatkan murid sebagai subjek berpikir, merasakan, dan bertindak. Pendidikan kreatif dan humanistik memungkinkan peserta didik melihat dunia sebagai sesuatu yang dapat mereka pahami dan transformasi secara aktif, bukan sekadar menerima apa adanya.
Masyarakat yang dihasilkan pun akan jauh lebih adaptif, inklusif, dan kreatif. Mereka memiliki imajinasi moral yang mampu membayangkan masa depan lebih adil dan indah. Dalam masyarakat semacam ini, perbedaan bukanlah ancaman, melainkan sumber kekayaan; kesalahan bukanlah cela, melainkan bagian dari proses belajar otentik.
Esensi dari pendidikan sejati terletak pada kemampuan mengembangkan akal dan memerdekakan nurani manusia. Pendidikan dapat menumbuhkan daya cipta, daya nalar, dan kepekaan etis. Tanpa dimensi tersebut, pendidikan hanya akan menghasilkan manusia yang kehilangan arah, mudah dibentuk oleh arus dominan, dan tidak memiliki kekuatan menentukan arah hidupnya sendiri. Pendidikan sejati tidak sekadar mengajarkan keterampilan teknis, tetapi membentuk manusia seutuhnya yang berani berpikir, merasa, dan mengambil sikap.
Namun realitas kita hari ini justru menunjukkan bahwa institusi pendidikan sering kali menjadi cermin dari sistem sosial represif. Ketika kurikulum terlalu padat dan berorientasi pada capaian kognitif semata, ketika evaluasi hanya terfokus pada nilai dan ranking, dan ketika guru dilihat sebagai sumber kebenaran tunggal, maka tak ada ruang yang tersisa bagi tumbuhnya semangat kritis dan daya cipta.
Pendidikan semacam itu, walau tampak modern dari luar, pada hakikatnya merupakan bentuk kolonialisasi baru terhadap pikiran para murid. Dalam sistem demikian, mereka tidak benar-benar tumbuh menjadi pribadi merdeka, melainkan menjadi pengikut patuh tanpa daya gugat.
Sudah saatnya para pendidik bertanya ulang, pendidikan macam apa yang sedang dibangun? Apakah sekolah-sekolah kita menjadi ruang di mana anak-anak belajar berpikir merdeka dan bertindak etis? Ataukah justru menjadi lumbung penghasil ijazah dan gelar, yang menghasilkan generasi terdidik tetapi tersesat dalam makna?
Jika para pendidik tidak segera menyadari ironi ini, mereka akan terus menyiapkan generasi masa depan hidup dalam kepatuhan, bukan kebebasan; dalam kompetisi semu, bukan kolaborasi sejati; dan dalam ketakutan, bukan keberanian bermakna.
Gerakan menuju pendidikan memerdekakan bukanlah sekadar reformasi kurikulum atau peningkatan kualitas guru, melainkan transformasi cara pandang terhadap hakekat manusia dan peran pendidikan dalam formasi hidup.
Para pendidik perlu mendekonstruksi sistem yang hanya menilai capaian dari angka-angka, dan mulai membangun pendekatan yang melihat murid sebagai makhluk utuh—yang berpikir, merasa, dan bermimpi. Hal demikian berarti membongkar dominasi narasi tunggal dan membuka ruang bagi dialog, ekspresi kreatif, dan keterlibatan aktif murid dalam proses belajar mandiri.
Jika pendidikan masih dimaknai sebagai proses pengalihan informasi dari atas ke bawah, maka selama itu pula pendidik akan gagal membangun masyarakat kritis dan berdaulat atas pikirannya sendiri. Pendidikan sejati justru tumbuh dari bawah, dari kesadaran, dari pengalaman, dan dari keberanian untuk bertanya. Maka, seperti disampaikan Freire (2000), pendidikan merupakan tindakan kultural dan politis. Dan dalam dunia yang terus diguncang oleh ketimpangan, manipulasi informasi, dan krisis identitas, hanya pendidikan memerdekakan yang mampu membentuk manusia sebagai subjek sejati dari sejarah dirinya sendiri.