Nama Amien Rais semakin dikenal menjelang Soeharto lengser pada Mei 1998 dan sejak itulah dia dikenal sebagai oposan politik. Inilah cerita Ny. Kus Amien, istri Amien Rais, mendampingi sang suami.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Siapa tak kenal Prof. Dr. H.M. Amien Rais? Wajah tokoh satu ini sering disorot televisi, terutama menjelang Pak Harto lengser pada Mei 1998 lalu itu. Tapi, wanita manakah yang mengelola "urusan dalam negerinya"? Berikut hasil perbincangan Intisari dengan Ny. Kus Amien, menjelang pemungutan suara Pemilu 1999 dulu.
“Insya Allah saya siap jadi presiden!" demikian pernyataan Amien Rais dalam wawancara dengan SCTV pada 22 Agustus 1998. Dengan pernyataannya itu, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944, itu masuk dalam daftar calon presiden RI bersama beberapa tokoh besar lainnya menjelang Pemilu 1999.
Tak pelak, setelah pernyataannya, Amien Rais yang ketika itu masih ketua umum Partai Amanah Nasional (PAN) yang amat vokal itu —ketika itu terutama soal mengusut harta kekayaan Soeharto - jadi makin sibuk saja. Jadwalnya padat. Sebentar dia bisa ada Bandung, tidak lama kemudian sudah ada di Depok.
"Delapan puluh persen kegiatan Bapak dipakai di luar," begitu pengakuan Kusnasriyati Sri Rahayu, yang lebih dikenal sebagai Ny. Kus Amien, saat itu. Bagi Kus, kesibukan sang suami ketika itu bukan barang baru.
Dari sebelum-sebelumnya, perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 28 Juni 1950, itu sudah terbiasa dan terlatih ditinggal-tinggal sang suami pergi-pergi. "Dulu, Bapak juga suka ceramah ke mana-mana atau ikut diskusi panel,” katanya.
Sejak mereka berkenalan, putri ketiga dari enam bersaudara pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Kusmardinah itu juga sudah paham betul akan kegiatan Amien Rais muda. Maklum saja, mereka memang bertetangga. Kalau Ny. Kus tinggal di RT 13, Amien Rais di RT 11, Kampung Kepatihan Kulon, Solo.
Konon dari dulu Amien Rais muda sudah aktif ke mana-mana. Selain berkuliah di Yogyakarta, dia juga aktivis berbagai organisasi kepemudaan macam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam Indonesia, sampai jarang pulang ke Solo.
Mereka mulai berpacaran saat Kus berusia 17 tahun. "Kami jarang surat-suratan. Wong rumahnya dekat saja. Kalau dia pulang, pasti ke rumah saya," kenang Ny. Kus.
Secara kebetulan mereka berdua berasal dari keluarga aktivis Muhammadiyah. Bahkan ketika belum menikah Kus aktif di Aisyiah ranting Kepatihan, Solo.
Dia ditempatkan di bagian pendidikan untuk mengurusi taman kanak-kanak, pengajian, dan sebagainya. Karena sudah terbiasa mengurusi TK, dia pun pernah bercita-cita, bila telah berumah tangga kelak, alangkah idealnya bila di dekat rumah ada TK-nya.
Cita-cita itu memang terwujud. Sejak 1987, dia beserta lima orang ibu lainnya mengelola TK Budi Mulia di Yogyakarta. TK yang dibangun di halaman rumahnya itu berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Salahuddin.
Nggopek nggo
"Kami tidak dijodohkan, tetapi mungkin witing tresno jalaran saka kulino selain nggopek nggo (tonggo ngepek tonggo, Red.) alias ‘tetangga dapat jodoh tetangga!’" kenang wanita yang usianya berselisih enam tahun dari suaminya ini.
Ny. Kus masih ingat betul kata-kata Amien Rais ketika melamarnya, "Bagaimana kalau kita melaksanakan harapan orang tua kita?" Pada 19 Februari 1969 mereka pun menikah saat Kus baru saja lulus dari Madrasah Mualimat Nahdlatul Muslimat - setingkat SMA.
Dalam menjalankan rumah tangga, tampaknya mereka masih menganut "tatanan lama". Sejak awal pernikahan mereka punya komitmen bahwa istri akan mengelola urusan "dalam negeri", sedangkan Amien Rais urusan "luar".
“Kami baru dikaruniai anak setelah perkawinan berusia 11 tahun," kenang ibu Ahmad Hanafi, Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasniem Fauzia, serta Ahmad Baihaqi (10) ini.
Untungnya, saat melahirkan semua anaknya, sang suami selalu mendampinginya. "Kalau sudah dekat-dekat saat melahirkan, saya minta Bapak untuk tidak jauh-jauh perginya. Alhamdulillah, setiap melahirkan, saya ditunggui meskipun sehabis itu Bapak pergi lagi."
Dapat dibayangkan betapa sibuknya dia membesarkan kelima anaknya sementara sang kepala keluarga lebih sering berada di luar rumah. Toh masa itu hampir tak ada masalah yang tak dapat diselesaikan.
Rupanya, dia punya kiat dalam mengelola "urusan dalam negeri" ini. Kalau ada persoalan yang membutuhkan konsultasi segera dengan Pak Amien, ia tak segan-segan datang ke kantor suami atau cukup menelepon. Jadi, ia tidak menunggu sampai Pak Amien pulang.
Sejak dini dia telah memberikan pengertian kepada anak-anak tentang arti hidup dan perjuangan. "Tentu kepada masing-masing anak cara penyampaiannya berbeda, sesuai dengan tingkat usianya. Tapi, saya berharap mereka setidaknya memahami." Selain itu, menurutnya, anak-anak harus tahu apa yang dilakukan orangtuanya.
Ny. Kus selalu menanamkan kejujuran kepada anak-anaknya. Selain itu, dia juga selalu wanti-wanti agar anak-anaknya bersungguh-sungguh dalam menekuni bakat dan minatnya. Kalau minta dibelikan alat musik, umpamanya, mereka harus bertanggung jawab untuk bisa memainkannya dengan baik. Bukan asal punya piano, misalnya. "Kalau sampai tidak bertanggung jawab, lebih baik dijual lalu digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Bukankah hidup ini tidak dijalani dengan asal-asalan?"
Rambut ala Tony Blair
Menurut pengakuan Ny. Kus, Amien Rais jarang marah di rumah. Malah sebaliknya, dia senang gojeg (bergurau). Mungkin itu sebabnya, keakraban terjalin begitu erat antara orang tua dan anak maupun sesama anak. Semua anak dekat dengan bapaknya dengan caranya masing-masing.
Menurut Ny. Kus Amien, begitu ayahnya pulang, ada yang langsung mengajaknya cerita. Ada yang cium tangan lalu pergi main lagi seperti si bungsu!
Cuma dalam soal musik, antara bapak dan anak sering tidak klop. Amien Rais suka lagu-lagu Said Effendi seperti Seroja atau lagu-lagunya Ismail Marzuki seperti Melati di Tapal Batas, sementara anak-anak suka lagu-lagu yang lebih belakangan. "Wah, Bapak ini kuno!" protes anak-anak.
Keterbukaan juga menjadi ciri keluarga ini. Ambil contoh, ketika sang ayah ada di rumah, anak-anak bisa langsung mengomentari penampilan ayahnya ketika sedang berkegiatan di luar. Mulai dari mengkritik Amien Rais yang tampil kurang seru di sebuah diskusi atau debat di televisi, sampai komentar soal gaya sisiran rambut ayah mereka. "Sudah bagus begitu, kayak Tony Blair PM Inggris!" kata anak-anaknya.
Sebaliknya, Amien Rais yang mantan ketua umum PP Muhammadiyah periode 1995 - 1998 ini juga tidak tabu bercerita tentang kegiatannya kepada anak-anak. Bahkan saat dia "diminta mundur" sebagai ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), anak-anak langsung memberi dorongan semangat. "Sudah Pak, mundur saja! Jangan takut!" dorong anak-anak seperti ditirukan Ny. Kus Amien yang menyukai wayang kulit ini.
Sebagai istri, Ny. Kus sering diajak berdiskusi tentang berbagai hal. Kadang-kadang pendapatnya diterima, tapi tak jarang pula ditolak. "Perkara diterima atau tidak, pasti hal itu tidak karena permintaan istri. Pastilah itu karena cocok (atau tidak cocok) saja," kata penyuka lukisan natural alias yang gamblang-gamblang saja.
Ketika sang suami mendirikan PAN, Ny. Kus juga bersedia membantu apa pun untuk mengkampanyekan partai itu —meskipun ketika itu dia tidak masuk dalam jajaran kepengurusan partai. Terlebih ketika masa-masa kampanye Pemilu 1999. Saat itu, dia memang juru kampanye PAN. Konon latihan sebagai jurkam dilakukan hanya dengan melihat Pak Amien berkampanye.
Selain mengelola Taman Kanak-kanak (TK), pada 1993 Ny. Kus membuka warung tepat di samping rumahnya di Pandeansari, Sleman, Yogyakarta – meskipun dia mengaku tak suka memasak. Awalnya bangunannya sederhana saja, tapi seiring waktu berkembang jadi semipermanen.
Pelanggannya warga sekitar sampai mahasiswa. Harga per porsinya ya menyesuaikan dengan kantong mahasiswa. Kalau malam menjadi warung bakmi goreng atau godok. Ketika Ny. Kus ikut mendampingi sang suami, warung diserahkan kepada adik iparnya.
Santai tapi serius
Santai tapi serius adalah kesan yang bisa ditangkap dari sosok perempuan ini. Itu semua, menurut dia, tak lepas dari pengaruh suaminya.
"Kalau ada masalah atau kesulitan, ya, diatasi. Tapi tidak semua pikiran jadi tersita oleh masalah itu saja. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Saya banyak terpengaruh dengan style suami saya dalam menghadapi hidup ini. Maklum puluhan tahun bergaul, jadi ketularan," katanya.
Apa yang bisa dia petik dari Amien Rais yang menyukai tokoh wayang Kresna yang tegas dan Bima yang jujur itu antara lain adalah sikapnya yang sabar dan tidak mudah marah. Itu sebabnya saat naik haji tahun 1978, dia berdoa dan memohon agar dia bisa menjadi orang sabar dan dikaruniai anak.
Sementara kepada sang suami, dia juga menularkan kebiasaannya. "Yang berhasil saya tularkan tidak terlalu banyak. Misalnya, datang tepat waktu atau mengembalikan gunting atau alat potong kuku pada tempatnya agar mudah dicari; hal yang juga saya ajarkan pada anak-anak," kata Ny. Kus tanpa bermaksud menyindir suami sendiri yang pernah datang terlambat dalam sebuah acara debat calon presiden. (Anglingsari SI SK/Shinta Teviningrum)