Dari Atap Onigashima ke Jalanan Jakarta
GH News May 28, 2025 10:04 AM

TIMESINDONESIA, JEMBER – Menyoal film One Piece tentunya tak terlepas dari intrik politik di dalamnya, salah satu intrik yang menurut penulis menarik yakni konsep kaisar laut atau dikenal dengan sebutan Yonko. 

One Piece sendiri merupakan sebuah film animasi dan manga yang sangat terkenal di Jepang, diciptakan oleh Eiichiro Oda. Manga ini pertama kali diterbitkan pada Agustus 1997 di majalah Shonen Jump, yang diterbitkan oleh Shueisha.

Dalam salah satu episode arc Wano yang epik dan penuh pertarungan dua Yonko Big Mom dan Kaido yang selama ini dianggap tak terkalahkan, akhirnya tumbang. 

Namun menariknya, kejatuhan para Kaisar Laut ini bukan sekadar drama fiksi. Di baliknya, tersirat pesan tentang perubahan zaman, perebutan kekuasaan, dan determinasi generasi baru.

Fenomena ini seolah mencerminkan realitas yang sedang terjadi di Indonesia. Ketika suara anak muda mulai menggema, ketika dominasi politik tradisional dipertanyakan, dan ketika sistem lama mulai kehilangan relevansi. Apakah ini pertanda bahwa era baru benar-benar telah dimulai?

Kekuasaan Lama yang Runtuh

Di One Piece, Kaido dan Big Mom digambarkan sebagai simbol status quo. Mereka bukan hanya bajak laut paling kuat, tapi juga representasi sistem kekuasaan yang mapan dan sulit digoyahkan. Big Mom dan Kaido telah memegang kendali puluhan tahun, membangun imperium, dan menciptakan ketakutan.

Mereka kuat, menakutkan, memiliki sumber daya luar biasa, dan bahkan mereka memonopoli kekuasaan, wilayah, dengan narasi siapa yang pantas memimpin lautan harus menang melawan mereka yang sudah punya label besar.

Namun di episode One Piece tersebut, ada semangat baru yang datang. Bukan dari sistem yang lama. Tapi dari mereka yang disebut remeh-temeh, dikatai tidak punya pengalaman, atau bahkan dijuluki “bocah bengal” yang nekat menantang.

Komplotan bocah bengal yang nekat tapi idealistis tersebut tediri dari tiga kapten yaitu Luffy si Topi Jerami, Kid si Tangan Besi, dan Law Dokter Bedah Kematian. Mereka liar, sulit ditebak, dan terlalu jujur untuk politik. 

Tapi justru karena itu mereka ditakuti. Mereka tidak bermain dengan aturan lama. Mereka menciptakan aturan baru dengan idealisme dan tekad kuat. Luffy, Kid, Law dan sekutu-sekutu muda lainnya muncul sebagai simbol generasi pembaru. 

Mereka bukan tokoh mapan, bukan anak emas sistem. Tapi mereka punya satu hal yang tak bisa dibeli yaitu idealisme dan tekad. Dan bukankah ini yang sedang kita lihat di Indonesia?

Kita lihat juga bagaimana di Indonesia muncul generasi baru yang mulai lantang bicara. Mahasiswa, aktivis muda, hingga public figure dan konten kreator politik yang tak segan menyuarakan kritik. Mereka mungkin bukan bagian dari partai, tak punya jabatan resmi, tapi mereka hadir, mereka miris melihat keadaan, dan mereka tak takut bicara.

Ingat saat Luffy berdiri di atas atap Onigashima dan menyatakan perang terbuka kepada Kaido? Itu bukan hanya adegan keren. Itu simbol bahwa generasi baru berani bicara langsung ke wajah kekuasaan, bukan berbisik di belakang meja.

Runtuhnya Sistem Lama

Pemilu 2024 tahun kemarin menjadi salah satu titik kritis dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca reformasi. Alih-alih menjadi pesta rakyat yang menumbuhkan optimisme, gelaran ini justru meninggalkan jejak keprihatinan yang mendalam. 

Tuduhan praktik cawe-cawe dari elite kekuasaan, indikasi politik dinasti, hingga manipulasi regulasi demi menguntungkan pihak tertentu menimbulkan keresahan luas di tengah public khususnya kalangan muda.

Dalam survei dan diskusi publik pasca pemilu, terlihat bahwa banyak pemilih muda merasa suara mereka tak lagi punya daya. Mereka hadir di TPS, namun merasa hasilnya sudah ditentukan oleh kekuatan besar yang mengatur arah kontestasi sejak jauh hari. Ini menandai runtuhnya kepercayaan terhadap sistem demokrasi prosedural yang dianggap hanya formalitas belaka.

Tapi justru dalam kekecewaan itu muncul gelombang: gerakan sosial, media alternatif, hingga kampanye kesadaran politik yang masif di media sosial. Sebuah generasi yang bisa kita sebut sebagai “generasi emas” Indonesia mulai menyusun narasi sendiri. Mereka bukan lagi penonton. Mereka ingin menjadi penentu.

Dan seperti di One Piece, kekuatan mereka bukan pada senjata, melainkan pada keyakinan bahwa dunia bisa lebih adil, lebih bebas, dan tidak selamanya dikendalikan oleh mereka yang punya nama besar.

Menjemput Era Baru 

Eiichiro Oda Sang Sutradara One Piece, sejak awal sudah menanamkan pesan kuat: “perubahan tidak terjadi karena waktu berjalan, tapi karena ada orang-orang yang memutuskannya”.

Saat Luffy melawan Kaido, dia tidak hanya melawan fisik. Dia menantang sistem. Sama seperti anak muda di Indonesia yang hari ini mulai mempertanyakan ulang semua kebenaran lama tentang demokrasi, tentang kepemimpinan, tentang masa depan.

Determinasi Luffy dan kawan-kawan mencerminkan semangat baru. Tidak hanya ingin menumbangkan yang lama, tapi ingin membangun yang lebih baik. Ini yang harus menjadi pelajaran. Era baru bukan sekadar mengganti wajah pemimpin, tapi juga cara memimpin, cara berpikir, dan cara memperjuangkan keadilan. 

Pertanyaannya, siapa di antara kita yang siap jadi Luffy? Siapa yang berani, bukan hanya mengkritik, tapi juga membangun? Bukan hanya melawan, tapi juga memperjuangkan?

Di One Piece, Luffy tidak pernah sendirian. Ia punya kru, aliansi, dan rakyat yang mempercayainya. Di Indonesia, perubahan pun butuh kolaborasi, solidaritas, dan visi yang tidak hanya anti terhadap yang lama, tapi juga mendukung terhadap masa depan yang lebih baik. 

Mungkin benar, kita sedang hidup di tengah jatuhnya para Yonko lokal. Tapi seperti di anime, perubahan tidak akan otomatis menghadirkan kedamaian. Ia butuh waktu, perjuangan, dan arah yang jelas. Kalau tidak, kekuasaan baru hanya akan jadi reinkarnasi dari kekuasaan lama hanya berbeda nama.

Jadi, dari film animasi One Piece dan dalam kenyataan Indonesia hari ini dapat kita tarik benang merahnya: jangan remehkan bocah bengal. Mereka mungkin berisik, tak sabaran, dan tidak tunduk pada sistem lama. Tapi mereka punya harapan, dan itu lebih kuat dari apapun. 

Dan kadang untuk menciptakan dunia yang baru, yang dibutuhkan bukan kaisar tua dengan senjata besar, tapi sekumpulan bocah bengal dengan hati yang tak bisa dibeli. (*)

***

*) Oleh : Hidayat Norwahit, Mahasiswa UIN Khas Jember, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.