TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Ketika pemerintah mengumumkan rencana untuk memperpanjang kebijakan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 2026, berbagai respons bermunculan. Dari sisi fiskal, langkah ini mencerminkan kehati-hatian pemerintah dalam menjaga stabilitas anggaran pasca-pandemi dan menghadapi ketidakpastian global.
Namun di sisi lain, bagi negara berkembang seperti Indonesia yang tengah berada dalam bayang-bayang middle income trap, perpanjangan efisiensi anggaran justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Middle income trap merupakan kondisi di mana suatu negara gagal naik kelas menjadi negara maju karena pertumbuhan ekonominya terjebak pada tingkat pendapatan menengah. Indonesia telah berada di kelompok ini selama dua dekade terakhir.
Dalam situasi ini, pertumbuhan ekonomi tidak lagi dapat mengandalkan upah murah atau eksploitasi sumber daya alam semata. Dibutuhkan investasi besar dalam inovasi, infrastruktur, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ironisnya, justru aspek-aspek inilah yang paling rentan terkena dampak efisiensi anggaran.
Perpanjangan efisiensi APBN berpotensi memangkas belanja strategis jangka panjang, terutama di sektor pendidikan, riset, dan infrastruktur. Efisiensi memang penting, tapi efisiensi tanpa selektivitas dapat menjadi kontraproduktif.
Ketika anggaran riset dan pengembangan dipangkas, kapasitas inovasi nasional akan mandek. Ketika belanja modal ditekan, proyek infrastruktur yang menopang konektivitas dan produktivitas akan terhambat. Padahal, inilah fondasi yang dibutuhkan untuk keluar dari middle income trap.
Tak hanya itu, tekanan efisiensi juga berisiko meningkatkan ketimpangan sosial. Ketika belanja perlindungan sosial atau subsidi produktif dikurangi, kelompok masyarakat berpendapatan rendah semakin rentan.
Ini berbahaya karena pertumbuhan ekonomi inklusif adalah syarat mutlak untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Tanpa inklusi, pertumbuhan hanya dinikmati segelintir, sementara daya beli mayoritas stagnan atau bahkan menurun.
Pemerintah perlu meninjau ulang pendekatan efisiensi yang terlalu menyamaratakan. Efisiensi seharusnya tidak diartikan sebagai pemangkasan belanja secara linear, melainkan optimalisasi alokasi.
Dengan kata lain, belanja yang boros, tidak produktif, dan tidak berdampak jangka panjang memang perlu dipangkas, tapi bukan berarti seluruh belanja publik harus ditekan. Justru dalam konteks ancaman middle income trap, APBN harus diarahkan sebagai instrumen transformasi struktural.
Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Jika hanya berfokus pada menjaga defisit tanpa menimbang arah pembangunan jangka panjang, maka peluang untuk keluar dari jebakan kelas menengah akan semakin menyempit.
Momentum bonus demografi yang akan puncak pada dekade ini pun bisa terbuang sia-sia. Oleh karena itu, efisiensi fiskal harus ditempatkan dalam kerangka besar strategi pembangunan nasional, bukan sekadar penghematan anggaran.
APBN bukan sekadar buku kas negara. Ia adalah cermin prioritas bangsa. Dalam menghadapi perpanjangan kebijakan efisiensi hingga 2026, pemerintah perlu lebih jeli dalam memilah mana yang bisa dihemat, dan mana yang harus terus diperkuat.
Jika tidak, kita bisa efisien secara angka, tapi stagnan secara ekonomi. Dan itulah definisi nyata dari middle income trap. (*)
***
*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.