TIMESINDONESIA, GIANYAR – Di tengah kompleksitas permasalahan sampah yang semakin menumpuk, harapan baru justru muncul dari sebuah desa di Bali. Desa Taro, Kabupaten Gianyar, memulai sebuah langkah penting: mengajak warganya menjadi agen perubahan dalam pengelolaan sampah rumah tangga.
Gerakan ini bukan sekadar ajakan seremonial. Pada Jumat (30/5/2025), Desa Taro menjadi tuan rumah Program Kemitraan Masyarakat hasil kolaborasi Prodi Agroteknologi Universitas Warmadewa (Unwar) dengan Prodi Ilmu Tanah Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta. Di sinilah titik tolak perubahan itu dimulai — dari desa untuk Indonesia.
“Kami butuh metode pengolahan sampah yang sederhana, mudah diterapkan, dan sesuai dengan kehidupan masyarakat,” tegas I Wayan Warka, Kepala Desa Taro.
Warka tak menampik bahwa selama ini masyarakat telah berinisiatif membuang sampah organik ke kebun atau belakang rumah. Namun untuk sampah plastik, belum ada solusi mandiri yang efektif. “Sampah plastik masih diangkut Yayasan Eco Bali dan dikirim ke Jawa. Kami ingin belajar dan mandiri mengelolanya di sini,” ucapnya.
Di balik keresahan itu, hadir semangat perubahan yang digaungkan oleh akademisi. Prof. Dr. Ir. Susila Herlambang, M.Si. dari UPN “Veteran” Yogyakarta menyatakan bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar tanggung jawab, melainkan peluang.
“Sampah bukan musuh. Ia bisa menjadi sahabat jika kita mampu mengolahnya. Bahkan bisa jadi emas hitam,” ujarnya, merujuk pada kompos yang dihasilkan dari sampah organik.
Hal serupa disampaikan Dr. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si., akademisi dari Universitas Warmadewa. Menurutnya, masyarakat tak hanya butuh edukasi, tetapi juga model yang variatif, inspiratif, dan aplikatif.
“Bayangkan jika kulit salak bisa jadi teh, sisa sayur jadi eco-enzyme, atau kulit apel jadi keripik. Itu bukan hanya mengurangi sampah, tapi juga menciptakan nilai tambah,” katanya.
Muliarta menambahkan bahwa teknik pengomposan pun harus disesuaikan dengan kondisi lokal. Tak semua masyarakat bisa menerapkan metode yang sama. Mereka perlu dibekali pilihan: vermikompos, Takakura, heap, Indore, Bangalore, atau metode lainnya yang sederhana namun berdampak nyata.
Gerakan yang dimulai di Desa Taro ini menjadi miniatur harapan untuk masa depan pengelolaan sampah Indonesia. Ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi soal perubahan pola pikir—bahwa solusi tak harus selalu datang dari kota, tetapi bisa lahir dari desa yang punya semangat mandiri dan kolaboratif.
Program ini sekaligus mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam pengelolaan sampah berbasis sumber. Namun lebih dari itu, ia menjadi inspirasi: ketika desa bergerak, perubahan pun nyata.(*)