Eks PM Israel: Serangan ke Gaza Biadab, Netanyahu Harus Segera Lengser dari Pemerintahan
Nuryanti May 30, 2025 05:32 PM

TRIBUNNEWS.COM – Mantan Perdana Menteri (PM) Israel, Ehud Olmert, melayangkan kecaman keras atas tindakan politik dan perilaku militer yang dilakukan pemerintahan Benjamin Netanyahu di Jalur Gaza.

Kecaman ini dilayangkan Olmert sambil mendesak rezim Netanyahu agar segera runtuh demi masa depan yang lebih baik bagi Israel dan kawasan.

Menurutnya tindakan militer yang dilakukan Netanyahu terhadap Gaza sudah menyalahi aturan.

Bahkan masuk kedalam kategori kejahatan perang yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum internasional.

Adapun tindakan yang dimaksud merujuk pada aksi blokade bantuan kemanusiaan Israel selama 11 minggu ke Gaza dan melonjaknya jumlah warga Palestina yang terbunuh.

“Apa lagi kalau bukan kejahatan perang?, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan anggota sayap kanan pemerintahannya telah melakukan tindakan yang tidak dapat ditafsirkan dengan cara lain." ujar Olmet.

"Saya berharap pemerintahan (Netanyahu) ini segera tumbang," imbuhnya kepada CNN International.

Selain mengecam Netanyahu, Olmert juga secara khusus melayangkan kritik tajam terhadap dua menteri sang PM yakni Itamar Ben Gvir dan Bezalel Smotrich.

Sejak dimulainya perang, Olmert berulang kali membela Israel di luar negeri terhadap tuduhan genosida dan pembersihan etnis di Gaza.

Ketika wanita dan anak-anak terbunuh, Olmert mengatakan ia memberi tahu pejabat dan pewawancara bahwa Israel tidak akan dengan sengaja menargetkan warga sipil.

Namun, setelah 19 bulan perang yang menurut Olmert seharusnya berakhir setahun lalu, ia yakin ia tidak dapat lagi mempertahankan argumen itu.

Olmert menyatakan penyesalannya atas tingginya korban sipil yang jatuh akibat serangan militer Israel di Gaza.

Dimana total korban tewas di Gaza dilaporkan mencapai lebih dari 54.000 jiwa sejak dimulainya perang, termasuk sedikitnya 28.000 wanita dan anak-anak.

 “Serangan ini bukan hanya penghancuran fisik, tetapi juga sebuah luka mendalam pada kemanusiaan,” kata Olmert dalam wawancara dengan media setempat.

Seruan untuk Perubahan Kepemimpinan di Israel

Selain mengecam tindakan militer, Olmert juga menyerukan perubahan dalam kepemimpinan di Israel.

Menurutnya, kepemimpinan Netanyahu telah gagal mengelola konflik Israel-Palestina dengan cara yang damai dan berkelanjutan.

Ia mengatakan bahwa kebijakan keras dan pendekatan militer yang terus menerus hanya memperburuk situasi dan mengisolasi Israel secara diplomatik.

“Rezim Netanyahu telah membawa Israel ke jalan buntu. Kita butuh kepemimpinan baru yang mampu membuka jalan dialog dan perdamaian,” ujar Olmert.

Kecaman mantan PM Ehud Olmert terhadap agresi Gaza dan harapannya agar rezim Netanyahu segera runtuh menambah tekanan politik dalam negeri Israel serta menggarisbawahi tantangan berat yang dihadapi dalam mencari solusi damai.

70 Persen Warga Israel Ingin Netanyahu Lengser

Ketidakpuasan terhadap kinerja Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang terus meningkat, mendorong masyarakat Israel untuk mendesak Netanyahu mundur dari kursi pemerintahan.

Survei terbaru dari Israel Democracy Institute yang dikutip dari The Atlantic mengungkapkan bahwa 87 persen warga Israel menganggap Netanyahu bertanggung jawab atas kegagalan keamanan pada 7 Oktober 2023.

Sementara 73 persen lainnya menginginkan ia mundur, baik segera maupun setelah perang di Gaza berakhir.

Adapun penyebab utama ketidakpuasan ini adalah kegagalan pemerintahannya dalam mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang dianggap sebagai kegagalan keamanan terbesar dalam sejarah Israel.

Selain itu kegagalan perang, Pemecatan Yoav Galant, Menteri Pertahanan yang memiliki dukungan publik luas karena sikap moderatnya, membuat posisi Netanyahu makin goyah.

Pemecatan Menteri Pertahanan Yoav Galant oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjadi salah satu titik balik yang memperparah krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Netanyahu.

Langkah ini dinilai tidak hanya kontroversial, tetapi juga melemahkan stabilitas politik internal di tengah konflik berkepanjangan di Gaza.

Ini lantaran Gallant merupakan sosok tokoh senior dan moderat di kabinet, yang secara terbuka menentang beberapa kebijakan kunci Netanyahu.

Termasuk menentang reformasi peradilan dan mendukung wajib militer bagi ultra-Ortodoks, serta gencatan senjata untuk menyelamatkan sandera.

Ketika Gallant menyuarakan kritik terbuka dan menyerukan perubahan arah kebijakan, Netanyahu merespons dengan memecatnya.

Tindakan ini justru memperkuat persepsi publik bahwa Netanyahu mengutamakan kekuasaan politik ketimbang stabilitas nasional.

(Tribunnews.com / Namira)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.