TIMESINDONESIA, MALANG – Sebuah penelitian mendalam mengenai strategi peningkatan kesejahteraan petani padi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, telah berhasil dirampungkan oleh Yuni Arba’atun, mahasiswa Program Doktor Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam disertasinya yang berjudul "Rekayasa Sosial Ekonomi Terintegrasi dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Kabupaten Bojonegoro," Yuni mengungkap pentingnya pendekatan kolaboratif dan berkelanjutan dalam mengatasi problematika petani padi yang selama ini terjebak dalam siklus ketergantungan bantuan dan minimnya inovasi.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun kenyataan di lapangan menunjukkan kemerosotan partisipasi masyarakat dalam sektor pertanian. Di tengah industrialisasi dan urbanisasi, jumlah petani terus menurun, terutama petani muda. Kabupaten Bojonegoro sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur, juga tidak luput dari persoalan serupa.
Melalui penelitian ini, Yuni melihat adanya kesenjangan antara tujuan kebijakan pertanian daerah dengan hasil riil di lapangan. Salah satu kebijakan yang diteliti adalah Program Petani Mandiri (PPM), yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sebagai upaya untuk memberdayakan petani melalui bantuan modal dan dukungan usaha tani. Namun, realisasinya belum sepenuhnya menyentuh aspek sosial petani.
Disertasi ini menemukan bahwa meskipun PPM telah memberi manfaat tertentu, seperti peningkatan akses modal, dampak jangka panjangnya belum signifikan. Data menunjukkan bahwa selisih produktivitas antara petani PPM dan non-PPM hanya berkisar 5–6 kuintal per hektare. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, produktivitas mengalami penurunan meski bantuan tetap disalurkan.
Yuni menyoroti bahwa PPM cenderung berorientasi pada output ekonomi semata dan belum menyentuh aspek sosial petani, seperti perubahan perilaku, kemandirian, dan kesadaran kolektif. Program ini juga belum memiliki indikator keberhasilan yang sistematis, sehingga evaluasinya kurang objektif.
Dalam konteks inilah, Yuni merumuskan perlunya rekayasa sosial ekonomi terintegrasi yang menggabungkan pendekatan pembangunan sosial dan strategi pemberdayaan ekonomi secara bersamaan. Pendekatan ini tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada proses transformasi sosial yang mendorong petani menjadi lebih aktif, kreatif, dan mandiri.
Model yang diusulkan Yuni melibatkan empat tahapan utama:
1. Identifikasi Sosial Ekonomi: Menggali kebutuhan, kondisi, dan hambatan sosial ekonomi petani secara partisipatif.
2. Perencanaan Intervensi: Merancang strategi bantuan dan pendampingan yang sesuai dengan konteks lokal.
3. Pelaksanaan Terpadu: Menggabungkan bantuan modal, pelatihan, pendampingan sosial, dan perlindungan hasil tani dalam satu paket kebijakan.
4. Evaluasi dan Monitoring: Menggunakan indikator kualitatif dan kuantitatif yang mencerminkan perubahan sosial dan peningkatan kesejahteraan secara komprehensif.
Model ini juga menekankan pentingnya partisipasi petani dalam setiap proses. Petani tidak lagi hanya sebagai objek kebijakan, melainkan subjek aktif yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
Disertasi ini menyimpulkan bahwa pendekatan konvensional dalam kebijakan pertanian yang hanya mengandalkan bantuan modal tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani secara menyeluruh. Rekayasa sosial ekonomi terintegrasi menawarkan pendekatan yang lebih sistematis, adaptif, dan berkelanjutan.
Yuni menyampaikan bahwa, “Keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya diukur dari hasil panen, tetapi juga dari transformasi sosial yang terjadi di kalangan petani. Petani yang sejahtera adalah mereka yang mandiri, berdaya, dan mampu mengambil keputusan terbaik untuk usahanya.”
Dari hasil penelitiannya, Yuni memberikan beberapa rekomendasi penting:
• Pemerintah daerah perlu menyusun ulang program pemberdayaan petani dengan pendekatan integratif dan berbasis kebutuhan nyata petani.
• Indikator keberhasilan program harus mencakup aspek sosial dan perilaku petani, bukan hanya produktivitas dan serapan dana.
• Pendekatan partisipatif dan pemberdayaan lokal perlu menjadi prinsip utama dalam setiap tahapan kebijakan.
• Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan kelompok tani harus diperkuat untuk memperluas dampak kebijakan.
Harapan Yuni, disertasi ini dapat menjadi referensi akademik maupun praktis bagi pengambil kebijakan dalam merancang program pembangunan pertanian yang lebih humanistik dan berkelanjutan.
“Peningkatan kesejahteraan petani harus berangkat dari pendekatan yang menyentuh struktur sosial dan sistem ekonomi mereka secara bersamaan. Kita butuh sistem yang membangun, bukan sekadar bantuan yang melemahkan ketergantungan,” ujarnya.
Penelitian ini menjadi pengingat bahwa pembangunan pertanian bukan hanya tentang produktivitas dan swasembada pangan, tetapi juga tentang kehidupan petani yang lebih baik. Melalui disertasi ini, Yuni Arba’atun menghadirkan alternatif pendekatan baru yang relevan dengan kebutuhan masa kini: kolaboratif, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan pelaksanaan yang konsisten, model rekayasa sosial ekonomi terintegrasi ini berpotensi mengubah wajah pertanian di Indonesia menjadi lebih adil, berdaya, dan berkelanjutan.
***
*) Oleh: Yuni-Arba'atun, Mahasiswa Doktor Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id