Urgensi Upaya Paksa dalam Penegakan Hukum
GH News May 31, 2025 01:04 PM

TIMESINDONESIA, KEDIRI – Dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel, setiap tindakan dan keputusan badan serta pejabat pemerintahan haruslah berlandaskan pada peraturan perundang-undangan serta prinsip-prinsip Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan hadir untuk menjamin adanya perlindungan hukum yang seimbang, baik bagi masyarakat maupun pejabat pemerintahan.

Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit warga masyarakat yang justru dirugikan oleh keputusan atau tindakan administratif. Ketika hak mereka tercederai, masyarakat berhak menggugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Sayangnya, meskipun gugatan dikabulkan dan putusan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), tidak semua pejabat pemerintah bersedia atau mampu melaksanakan isi putusan tersebut. Di sinilah problem utama penegakan hukum administrasi bermula: lemahnya pelaksanaan putusan PTUN.

Masalah ini bukan baru. Sejak awal berdirinya PTUN, rendahnya angka pelaksanaan putusan menjadi sorotan. Berdasarkan penelitian Irfan Fachruddin (2004) di wilayah PTUN Bandung, hanya 32% putusan yang benar-benar dijalankan. 

Penelitian Supandi (2005) menunjukkan bahwa 70% pejabat di wilayah PTUN Medan mengabaikan putusan pengadilan. Teranyar, laporan KPK tahun 2020 mencatat rata-rata pelaksanaan putusan hanya 34,92%. Data ini konsisten menunjukkan persoalan struktural yang serius.

Beberapa akademisi dan pengamat luar negeri seperti Simon Butt dan Adriaan Bedner pun mengkritik lemahnya daya paksa PTUN terhadap pejabat eksekutif.

Meskipun ada ketentuan hukum yang memandatkan pelaksanaan putusan, praktiknya masih jauh panggang dari api. Bahkan tidak jarang terjadi gesekan antara pengadilan dan pemerintah.

Setidaknya terdapat tiga kemungkinan sikap pejabat terhadap putusan PTUN:

Pertama, Tunduk sukarela, yakni pejabat secara sadar melaksanakan putusan tanpa paksaan. Namun, karena tidak ada kewajiban melaporkan pelaksanaan, pengadilan sering kali tidak mengetahui apakah putusan telah dijalankan.

Kedua, Tidak mampu melaksanakan putusan, misalnya karena perubahan regulasi atau situasi objektif yang berbeda saat proses hukum berjalan.

Ketiga, Tidak mau melaksanakan putusan, kondisi paling problematik. Dalam banyak kasus, keputusan yang sudah dibatalkan oleh PTUN tetap dijalankan atau dibiarkan berlaku.

Padahal, UU PTUN telah mengatur langkah lanjutan jika pejabat tidak menjalankan putusan. Pasal 116 UU PTUN mengatur sanksi administratif, denda (uang paksa), pengumuman di media massa, hingga pelaporan ke Presiden dan lembaga legislatif. 

Sayangnya, aturan ini tidak dapat diimplementasikan secara optimal karena ketiadaan peraturan pelaksana, khususnya untuk mengatur besaran denda dan mekanisme penerapannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 ayat (7).

Ketua Pengadilan pun terkesan hanya berwenang "mengimbau", bukan memaksa. Dalam praktik, penetapan eksekusi yang dikeluarkan hanya bersifat administratif, tanpa sanksi lanjutan. Situasi ini jelas melemahkan kewibawaan hukum dan memperbesar ruang impunitas bagi pejabat.

Pemerintah seolah menutup mata. Padahal, persoalan ini menyangkut marwah kekuasaan kehakiman itu sendiri. Mahkamah Agung sebagai institusi yudisial tertinggi tidak memiliki kewenangan untuk mendesak pembentukan regulasi pelaksana. Di sisi lain, lembaga eksekutif enggan membentuk aturan yang berpotensi mengikat dan "memaksa" anak buahnya sendiri.

Situasi ini menggambarkan adanya kekosongan mekanisme pemaksa yang efektif dalam sistem hukum administrasi kita. Tanpa itu, putusan PTUN tak lebih dari simbol tanpa daya, dan hukum kehilangan taringnya.

Sudah saatnya pemerintah dan DPR bergerak cepat menyusun peraturan pelaksana UU PTUN, khususnya Pasal 116 ayat (7). Instrumen pemaksa harus tegas: uang paksa yang nyata, sanksi administratif yang jelas, serta sistem pelaporan pelaksanaan putusan yang terstruktur.

Jika tidak, maka kita akan terus menyaksikan ironi: pengadilan memutus, tetapi negara membiarkan pejabatnya mengabaikan. Dan ketika putusan tak dijalankan, siapa sebenarnya yang kalah? Bukan hanya warga yang menggugat, tapi seluruh sendi penegakan hukum di negeri ini.

***

*) Oleh : Rendra Putra Karista, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Negeri Surabaya & Kepala Subseksi Perdata dan TUN Kejari Kabupaten Kediri.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.