Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH
Anggota Komisi III DPR RI dan Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI-Perjuangan
TRIBUNNEWS.COM - Dalam rangka merayakan hari kelahiran Pancasila dan bulan Bung Karno, beberapa catatan sejarah penting dan analisanya perlu dibuat untuk mengingatkan semua anak bangsa dewasa ini.
Konstitusi menjadi wujud kemerdekaan bangsa dan daulat rakyat; ia adalah political compact and contract.
Konstitusi merupakan dokumen kebersamaan dan keterikatan kita sebagai atau untuk menjadi satu bangsa.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 ditulis secara jelas: “ ... menyatakan kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia ...”. Keputusan untuk bersatu-berpadu dalam Indonesia direkam secara padat dalam Pembukaan UUD 1945: bahwa “perjuangan kebangsaan Indonesia telah … mengantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Kondisi di pintu gerbang kemerdekaan ini merupakan saat yang berbahagia.
Oleh Soekarno wujud dari perjuangan kebangsaan Indonesia dapat digambarkan sebagai pemikiran yang mendalam, strategis, dan berorientasi pada pembebasan total bangsa dari penjajahan dan pembentukan negara yang ideal.
Soekarno tidak hanya fokus pada aspek politik kemerdekaan, tetapi juga memiliki visi yang jelas tentang bagaimana bangsa Indonesia setelah merdeka harus bersatu, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (yang kemudian terangkum dalam konsep Tri Sakti).
Relevansi Tri Sakti dengan Perencanaan Pembangunan Nasional
Secara filosofis, Trisakti bukan sekadar tiga konsep yang terpisah, melainkan sebuah kesatuan dialektis yang saling memperkuat.
Kedaulatan politik menjadi prasyarat untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengembangkan kepribadian kebudayaan yang autentik.
Kemandirian ekonomi memperkuat posisi politik bangsa di kancah internasional dan memberikan landasan material bagi pengembangan kebudayaan. Kepribadian kebudayaan yang kuat menjadi landasan moral dan spiritual bagi pembangunan politik dan ekonomi yang berkelanjutan.
Konsep Trisakti Bung Karno berakar pada filosofi Pancasila sebagai weltanschauung (pandangan dunia) bangsa Indonesia. Setiap sila Pancasila memiliki keterkaitan erat dengan ketiga aspek Trisakti.
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara filosofis, kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian kebudayaan harus dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan, yang menekankan etika, moralitas, dan tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Implementasinya dalampembangunan seharusnya tercermin dalam penekanan pada pembangunan karakter bangsa yang berakhlak mulia dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Konsep ini mendasari tujuan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan sosial.
Kedaulatan politik harus menjamin hak-hak asasi manusia, kemandirian ekonomi harus mengurangi ketimpangan, dan kepribadian kebudayaan harus menghargai martabat setiap individu.
Secara filosofis, Trisakti bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang humanis dan berkeadilan.
Ketiga, Persatuan Indonesia. Trisakti secara inheren bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kedaulatan politik yang kuat menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan negara.
Kemandirian ekonomi yang merata memperkecil disparitas antar wilayah dan kelompok masyarakat. Kepribadian kebudayaan yang luhur menjadi perekat identitas nasional di tengah keberagaman. Filosofi persatuan tercermin dalam upaya pemerataan pembangunan dan penguatan identitas nasional.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kedaulatan politik dalam Trisakti mengedepankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Kemandirian ekonomi yang berbasis pada prinsip-prinsip kekeluargaan dan prinsip ekonomi kerakyatan.
Pengembangan kepribadian kebudayaan juga harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya. Filosofi kerakyatan tercermin dalam upaya memperkuat demokrasi dan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan.
Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini adalah muara dari seluruh konsep Trisakti. Kedaulatan politik harus mampu menciptakan kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial. Kemandirian ekonomi harus menghasilkan pemerataan kesejahteraan. Kepribadian kebudayaan harus menjamin akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya.
Perspektif Substansi Pembangunan Saat Ini
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 telah resmi ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025. Mengusung tema besar "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045," dokumen ini menjadi cetak biru krusial bagi arah pembangunan bangsa dalam lima tahun ke depan, sekaligus tahapan penting menuju visi jangka panjang satu abad kemerdekaan Indonesia.
Dengan struktur yang komprehensif, mulai dari Narasi (Batang Tubuh dan Lampiran I), Matriks Pembangunan (Lampiran II), Matriks Kinerja Kementerian/Lembaga (Lampiran III), hingga Arah Pembangunan Kewilayahan (Lampiran IV), RPJMN ini memaparkan ambisi dan target yang signifikan.
Jika melihat adagium “Fiat justitia ruat caelum” – Tegakkan keadilan, meskipun langit runtuh. Adagium klasik ini cocok menggambarkan bahwa pembangunan seharusnya tidak mengorbankan prinsip keadilan, hukum, dan nilai-nilai luhur bangsa.
Di tengah ambisi besar menuju Indonesia Emas 2045, pertanyaan mendasarnya adalah:
Apakah arah pembangunan ini benar-benar berakar pada nilai konstitusional dan ideologis bangsa, ataukah sekadar deretan target teknokratis yang belum tentu membumi?
Oleh karena itu, di balik struktur dan target yang terperinci dari sebuah rencana pembangunan sekaliber RPJMN, perlu diuji secara kritis dari berbagai dimensi fundamental: kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila, kekokohan landasan hukumnya, komitmennya terhadap prinsip keberlanjutan, serta relevansinya di tengah diskursus mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang digagas oleh MPR RI.
RPJMN, sebagai instrumen kebijakan strategis nasional, tidak bisa dipisahkan dari Pancasila. Sayangnya, banyak rencana pembangunan cenderung menjadikan Pancasila hanya sebagai pembuka dokumen, bukan fondasi kebijakan.
Di sinilah kita perlu menghidupkan adagium “Salus populi suprema lex esto” – keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, setiap program pembangunan harus dapat dijustifikasi dari segi keberpihakan terhadap rakyat dan nilai kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa seharusnya menjadi jiwa dan pemandu utama dalam setiap aspek perencanaan pembangunan. RPJMN 2025-2029 sehingga ditelaah apakah nilai-nilai Pancasila telah terinternalisasi secara substantif, bukan sekadar menjadi jargon pembuka.
RPJMN sebagai produk hukum (Peraturan Presiden) harus taat pada asas-asas hukum yang baik dan hierarki perundang-undangan, terutama UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Namun demikian, adagium “lex imperfecta” – hukum yang tidak memiliki sanksi – menjadi pengingat bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang tegas, bahkan dokumen hukum setebal apapun bisa kehilangan daya paksa.
1. Ketaatan Prosedural dan Substantif: Penyusunan RPJMN harus mengikuti tahapan yang diamanatkan UU SPPN. Secara substantif, RPJMN harus selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan serta Rencana Strategis (Renstra) K/L.
2. Kepastian Hukum dan Sinkronisasi Regulasi: Salah satu penyakit kronis pembangunan Indonesia adalah hiper-regulasi dan tumpang tindih peraturan. RPJMN yang baik harus mampu mendorong terciptanya kepastian hukum bagi pelaku ekonomi dan masyarakat. Apakah RPJMN ini memiliki strategi konkret untuk harmonisasi dan sinkronisasi regulasi yang mendukung pencapaian targetnya, atau justru berpotensi menambah kompleksitas baru?
3. Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi: Pembangunan tidak akan berjalan efektif tanpa penegakan hukum yang kuat dan upaya pemberantasan korupsi yang sistematis. Sejauh mana agenda reformasi hukum dan penguatan institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang juga tercantum sebagai pelaksana, terintegrasi secara nyata dalam prioritas dan program RPJMN? Tanpa ini, kebocoran anggaran dan penyalahgunaan wewenang akan terus menggerogoti sumber daya pembangunan.
4. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance): Transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan efisiensi birokrasi adalah prasyarat. Matriks Kinerja K/L (Lampiran III) adalah alat penting, namun efektivitasnya bergantung pada kualitas indikator, sistem monitoring-evaluasi yang independen, serta sanksi dan insentif yang jelas.
Aspek hukum seringkali dilihat sebagai pelengkap administratif, bukan sebagai fondasi esensial. RPJMN 2025-2029 perlu memastikan bahwa kerangka hukum tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga efektif dalam implementasi, terutama dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi yang bertanggung jawab dan partisipasi masyarakat yang luas, serta menutup celah korupsi.
Pembangunan Berkelanjutan: Menyeimbangkan Tiga Pilar Tri Sakti Soekarno dan Menjawab Tantangan Jaman
Konsep Tri Sakti Bung Karno memiliki keterkaitan yang kuat dan relevan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan saat ini. Konsep Tri Sakti mampu menjadi landasan strategis bagi pembangunan Indonesia. Sayangnya konsep tersebut diabaikan.
Dalam konteks Berdaulat secara Politik, seharusnya sebuah perencanaan pembangunan tidak berhenti pada ruang dan waktu (5 tahun) namun harus memulai keberanian menuliskan Kemampuan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi atau dominasi dari kekuatan asing.
Ini mencakup kedaulatan teritorial, kedaulatan hukum, kedaulatan kebijakan luar negeri, dan kemampuan menjaga stabilitas politik dalam negeri. Dalam pemikiran Soekarno, kedaulatan politik adalah fondasi utama bagi kemerdekaan yang sesungguhnya.
Beliau sangat menekankan bahwa bangsa Indonesia, setelah merebut kemerdekaan dari penjajahan, harus memiliki kemampuan penuh untuk menentukan arah dan kebijakan negaranya sendiri tanpa adanya campur tangan atau dominasi dari kekuatan asing dalam bentuk apapun.
Dalam konteks Berdikari secara Ekonomi, sudah seharusnya pembengunan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri dengan mengandalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam negeri.
Ini mencakup kemandirian pangan, energi, industri, keuangan, dan teknologi. Bagi Soekarno, kemerdekaan politik tanpa kemandirian ekonomi adalah kemerdekaan yang semu.
Beliau menyadari bahwa ketergantungan ekonomi pada bangsa lain akan membuat Indonesia rentan terhadap tekanan dan eksploitasi, sehingga cita-cita kedaulatan yang sesungguhnya tidak akan tercapai. Oleh karena itu, berdikari secara ekonomi menjadi imperatif dalam visinya tentang Indonesia yang maju dan berdaulat.
Prinsip ini harus tercermin dalam RPJMN sebagai akar dari pembangunan nasional, yakni:
1. Mengandalkan Kekuatan Sendiri. Esensi dari berdikari adalah keyakinan pada kemampuan bangsa Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan sumber daya manusia (SDM) yang potensial.
2. Swasembada Pangan. Kemandirian pangan menjadi prioritas utama. Soekarno menginginkan Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri tanpa harus bergantung pada impor. Ini terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional.
3. Kemandirian Energi. Soekarno juga menekankan pentingnya kemandirian dalam sektor energi. Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber energinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada energi impor.
4. Pengembangan Industri Nasional. Membangun industri yang kuat dan mandiri adalah kunci berdikari secara ekonomi. Soekarno mendorong pengembangan sektor industri yang mampu menghasilkan barang dan jasa bernilai tambah tinggi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada produk impor.
5. Kemandirian Keuangan. Soekarno menginginkan Indonesia memiliki sistem keuangan yang kuat dan mandiri, tidak didikte oleh kekuatan finansial asing. Ini mencakup pengelolaan keuangan negara yang prudent, pengembangan lembaga keuangan nasional, dan pengendalian modal asing yang bijaksana.
6. Kemandirian Teknologi: Dalam era modern, Soekarno juga menyadari pentingnya kemandirian teknologi. Indonesia harus berinvestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar tidak terus-menerus menjadi konsumen teknologi dari negara lain.
7. Menolak Neokolonialisme Ekonomi. Konsep berdikari secara ekonomi adalah wujud penolakan terhadap segala bentuk neokolonialisme ekonomi, di mana negara-negara maju secara tidak langsung mengontrol dan mengeksploitasi negara-negara berkembang melalui mekanisme ekonomi.
8. Ekonomi Kerakyatan. Meskipun menekankan kemandirian, Soekarno juga mengedepankan sistem ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir elite. Koperasi dan UMKM memiliki peran penting dalam mewujudkan berdikari secara ekonomi yang inklusif.
Untuk mengembangkan Berkepribadian dalam Kebudayaan, memiliki identitas nasional yang kuat yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa, adat istiadat, kearifan lokal, dan warisan budaya. Ini mencakup pembangunan karakter bangsa, pelestarian warisan budaya, pengembangan seni dan kreativitas, serta penguatan nilai-nilai toleransi dan gotong royong adalah prinsip utamanya.
RPJMN 2025-2029 dan Wacana PPHN: Sinergi atau Redundansi?
Berdasarkan hal di atas, ide dasar untuk tidak meninggalkan konsep Tri Sakti Soekarno menjadi kaharusan bagi landasan pemangunan ke depan. Wacana pengembalian Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui amandemen UUD 1945 yang digulirkan MPR RI menambah dimensi baru dalam diskusi perencanaan pembangunan.
Pertanyaannya: Apakah kita butuh PPHN atau cukup memperkuat RPJPN sebagai haluan jangka panjang?
1. Posisi RPJMN saat ini: RPJMN adalah turunan dari UU SPPN dan merupakan kewenangan Presiden. Ini memberikan fleksibilitas bagi Presiden terpilih untuk menerjemahkan visi-misinya ke dalam rencana konkret.
2. Potensi PPHN: Jika PPHN terwujud sebagai dokumen haluan negara yang ditetapkan oleh MPR (misalnya dalam bentuk TAP MPR), ia akan memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi dari UU dan Perpres. PPHN diharapkan menjadi panduan pembangunan jangka panjang (20-25 tahun atau bahkan lebih) yang lebih mengikat dan lintas periode kepresidenan.
Sinkronisasi dan Implikasi:
1. Jika PPHN ada sebelum RPJMN: Idealnya, RPJMN akan menjadi penjabaran dari PPHN.
2. Jika RPJMN ada sebelum PPHN (seperti kondisi saat ini): Maka ketika PPHN disahkan, RPJMN 2025-2029 (dan RPJPN yang ada) mungkin perlu disesuaikan atau setidaknya dipastikan selaras dengan PPHN. Ini dapat menimbulkan implikasi pada kontinuitas dan konsistensi perencanaan.
3. Substansi PPHN: Kualitas PPHN akan sangat menentukan. Jika PPHN hanya bersifat umum dan abstrak, ia mungkin tidak banyak memberi nilai tambah. Namun, jika terlalu detail, ia dapat membatasi ruang gerak eksekutif dan inovasi.
Kesimpulan: Menuju Implementasi yang Transformatif dan Akuntabel
RPJMN 2025-2029 adalah dokumen penting dengan ambisi besar. Namun, keberhasilannya tidak hanya terletak pada ketebalan dokumen atau rincian matriks, melainkan pada sejauh mana ia mampu diimplementasikan secara konsisten, akuntabel, dan transformatif.
Kritik dari perspektif Pancasila, hukum, keberlanjutan, dan keterkaitannya dengan PPHN bukanlah untuk menafikan upaya yang telah dilakukan, melainkan untuk memastikan bahwa arah pembangunan Indonesia benar-benar menuju cita-cita proklamasi dan visi Indonesia Emas 2045 yang adil, makmur, dan berkelanjutan.
Diperlukan pengawalan publik yang ketat, komitmen politik yang tak tergoyahkan, birokrasi yang profesional dan bersih, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu agar RPJMN ini tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh tumpah darah Indonesia.
Terakhir, dalam semangat proklamasi serta ideologi bangsa, kita tak boleh lupa pesan Bung Karno:
“Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”
RPJMN harus menjadi bukti bahwa pembangunan adalah alat untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan—bukan sekadar alat pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan segelintir elite.
Pembangunan yang adil, merata, dan berpijak pada nilai luhur kebangsaan harus menjadi kompas utama.