“Lewat setiap jahitan, setiap simpul benang, dan setiap warna yang dituangkan ke dalam karya, para crafter spesial di PUKA membuktikan: keterbatasan bukanlah hambatan untuk berkarya dan menginspirasi sesama manusia.”
Laporan wartawan Tribunnews.com, Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Di balik warna-warni kerajinan tangan kreatif yang ditawarkan PUKA, tersimpan kisah inspiratif tentang inklusi dan pemberdayaan.
Didirikan oleh Dessy Nur Anisa Rahma (33), PUKA bukan sekadar usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang bergerak di bidang kerajinan tangan.
Ia adalah ruang tumbuh, ruang bersenang-senang, sekaligus ruang berkarya bagi para penyandang disabilitas.
Passion become profession, kalimat itu dikatakan Dessy untuk menggambarkan titik awal lahirnya PUKA, yakni dari hobinya membuat tas berbahan karung goni dan benang wol, produk-produknya tersebut pun yang akhirnya menjadi cikal bakal PUKA.
Berawal dari usaha kecil yang diproduksi sendiri pada tahun 2015, UMKM asal Bandung, Jawa Barat ini akhirnya berkembang menjadi platform yang memberdayakan para penyandang disabilitas.
Semangat para penyandang disabilitas menjadi daya tarik tersendiri di balik deretan produk kerajinan tangan cantik milik UMKM PUKA, ada tangan-tangan istimewa yang kreatif dan penuh makna di baliknya.
Salah satunya kerajinan tangan karya Refa, seorang crafter spesial yang hidup dengan keterlambatan intelektual.
Menurut pengamatan Tribunnews, meski memiliki keterbatasan, Refa justru dapat berkembang lewat proses kreatif UMKM PUKA, mewakili semangat inklusivitas dan pemberdayaan kelompok disabilitas di ranah ekonomi kreatif.
Refa dikenal di lingkungannya sebagai sosok yang telaten dan penuh semangat.
Ia sangat senang meronce, aktivitas makrame atau membuat seni anyaman simpul dari bahan seperti tali atau benang, hingga aksesori dekoratif lainnya.
Kemampuannya yang berkembang lewat pembelajaran di ruang produksi PUKA membuktikan bahwa kreativitas tidak mengenal batas.
Semangat PUKA melaju menjadi UMKM inklusif rupanya tersirat lewat nama brand itu sendiri.
PUKA merupakan akronim dari Pulas Katumbiri, yang berarti ‘goresan pelangi’ dalam bahasa Sunda.
Ia mencerminkan semangat ceria, warna-warni kreativitas, serta keberagaman yang dirangkul PUKA.
Hingga akhirnya visi besar yang diusung Dessy adalah menciptakan ruang kerja ramah disabilitas serta wadah kreasi bagi para penyandang disabilitas lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memiliki minat di bidang kerajinan tangan.
“Saat ini ada sekitar 30 orang crafter disabilitas atau crafter spesial yang aktif berkarya di PUKA. Ada yang tuli, tunadaksa, down syndrome, autisme, dan tunagrahita, mereka kami sebut crafter spesial,” kata Dessy kepada Tribunnews.com, Jumat (23/5/2025).
Mereka tidak sekadar dilatih membuat produk, di PUKA, para crafter spesial juga menjadi tutor dalam workshop kerajinan yang dibuka untuk publik.
Beberapa dari mereka bahkan sudah tampil sebagai pembicara, mengajarkan teknik membuat aksesori dan tas handmade kepada peserta umum.
Misi sosial PUKA bermula dari kerja sama dengan SLB, di mana Dessy melihat potensi besar dari para siswa yang rutin mengikuti kelas vokasional seperti cooking class, make-up class, dan crafting class.
Dari situlah ia menjaring alumni-alumni SLB yang memiliki bekal dan ketertarikan di bidang kerajinan tangan.
“Yang bergabung di PUKA umumnya sudah punya kemampuan dasar dan passion. Kita tinggal mengasah dan memberi ruang,” ucapnya.
Menariknya, proses produksi di PUKA tidak memaksakan target kuantitas tinggi.
Jam kerja disesuaikan dengan ritme para crafter spesial, umumnya mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB, dengan fokus pada kenyamanan dan kualitas hasil karya.
“Kami bukan mengejar berapa banyak produk dibuat, tapi seberapa nyaman dan berkembang mereka saat berkarya,” tutur Dessy.
Sebagai UMKM yang bersaing di ranah fast fashion, PUKA tak lepas dari pentingnya adaptasi terhadap tren.
Tim Research and Development (R&D) mereka secara berkala memantau perkembangan pasar, lalu menciptakan desain baru yang kemudian diajarkan kepada para crafter untuk diproduksi.
Kini PUKA memiliki lebih dari 120 varian produk, mulai dari pouch, tempat pensil, dompet, scrunchie, hingga tas selempang.
Dalam sebulan, sekitar 1.000 hingga 2.000 produk berhasil diproduksi untuk memenuhi permintaan pelanggan, baik di dalam maupun luar negeri.
Ya, PUKA bukan lagi hanya milik Bandung, kreasi tangan para crafter spesial ini telah menjangkau pasar internasional, dari Malaysia, Singapura, hingga Amerika Serikat (AS).
Di pasar luar negeri, produk PUKA dipasarkan melalui sistem consignment dan e-commerce.
Salah satu langkah cerdas yang membawa PUKA melesat adalah pemanfaatan platform digital, khususnya Shopee.
“Lewat Shopee, rata-rata 200 produk terjual per bulan. Bahkan secara persentase penjualan meningkat sampai 50 persen secara tahunan (year-on-year),” kata Dessy.
Dessy memanfaatkan fitur iklan berbayar hingga konten visual yang menarik untuk memperkuat branding PUKA di marketplace tersebut.
Ia menyadari, e-commerce bukan hanya soal jualan, tapi juga membangun koneksi emosional dengan pelanggan.
“Segmentasi kami kebanyakan wanita, dan Shopee jadi pintu yang tepat buat menjangkau mereka. Operasional juga lebih murah dibanding toko offline,” tambahnya.
Dari omzet awal sekitar Rp 500 ribu–Rp 1 juta, kini PUKA bisa menghasilkan hingga Rp 50 juta per bulan.
Meski begitu, angka bukanlah segalanya bagi Dessy, impiannya kini adalah memperluas dampak sosial PUKA.
“Saya ingin membuat komunitas entrepreneur disabilitas. Supaya lebih banyak teman-teman difabel yang bisa mandiri lewat karya,” ujarnya penuh harap.
Dessy menekankan, PUKA hadir bukan hanya sebagai pelaku ekonomi kreatif, tapi juga pelopor dalam menghapus stigma terhadap disabilitas.
Lewat setiap jahitan, setiap simpul benang, dan setiap warna yang dituangkan ke dalam karya, para crafter spesial di PUKA membuktikan: keterbatasan bukanlah hambatan untuk berkarya dan menginspirasi sesama manusia.
Shopee Indonesia terus berkomitmen untuk membantu mempersolek eksistensi UMKM lokal di Indonesia.
Tujuan besarnya agar UMKM lokal beserta dengan produk kreatifnya tersebut dapat berkembang dan bersaing di pasar digital.
Berbagai program untuk membantu memperkuat pangsa pasar UMKM lokal ditelurkan, termasuk pada tahun 2025, Shopee meluncurkan Program Sukses UMKM Baru.
Program ini dirancang khusus untuk mendukung pelaku UMKM yang baru memulai bisnis online.
Ada juga program Program Ekspor untuk membantu UMKM menjangkau pasar internasional.
Program inovatif Shopee ini dilaporkan dapat meningkatkan pasar ekspor produk lokal, seperti halnya terdata saat momen puncak kampanye 11.11 Big Sale 2024, di mana UMKM dari berbagai daerah, termasuk Cirebon, Pekalongan, dan Mojokerto, mencatatkan peningkatan transaksi ekspor tertinggi.
Dengan berbagai inisiatif ini, Shopee berupaya menciptakan ekosistem digital yang inklusif, memberdayakan UMKM lokal untuk naik kelas dan berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian Indonesia.
Direktur Eksekutif Shopee Indonesia, Christin Djuarto menyebut Shopee berkomitmen untuk terus menjadi kawan dalam setiap perjalanan UMKM bertumbuh dan meraih kesuksesan.
“Sejalan dengan komitmen tersebut, kami berupaya untuk menghadirkan berbagai inovasi yang dapat menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan UMKM secara berkesinambungan di dalam maupun luar negeri,” ujar Christin Djuarto.
Pihaknya juga menyebut ke depannya, Shopee akan terus berupaya menghadirkan berbagai inovasi, program, dan fitur yang dapat mendorong pertumbuhan berkelanjutan UMKM dan produk lokal, ekonomi lokal, serta membangun ekosistem e-commerce yang lebih positif.
Sehingga harapannya dapat memberdayakan UMKM lokal untuk naik kelas dan berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian digital Indonesia.
Menurut data yang dihimpun Tribunnews dari Kementerian Koperasi dan UKM per 2024, terdapat sekitar 66 juta UMKM di Indonesia, namun baru sekitar 25 juta di antaranya yang telah mengadopsi teknologi digital.
Dan mempercepat digitalisasi UMKM di Indonesia rupanya menjadi sebuah urgensi tersendiri, termasuk untuk membuka peluang pasar yang lebih luas, dan meningkatkan daya saing produk lokal.
Sementara menurut data Bank Indonesia (BI), sektor UMKM menyumbang sekitar 64 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan 15,65 persen terhadap ekspor non-migas.
Dengan jumlah unit usaha mencapai 65,5 juta atau sekitar 99 persen dari keseluruhan unit usaha di Indonesia, UMKM juga menyerap hampir 97 persen tenaga kerja nasional, dengan 80 persen di antaranya adalah perempuan.
Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Lukman Hakim, mengatakan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara memperkuat UMKM lewat digitalisasi dan dampaknya pada kemajuan perekonomian Indonesia.
Dirinya mengatakan bahwa digitalisasi memungkinkan UMKM untuk memperluas pasar, meningkatkan efisiensi operasional, dan memperkuat interaksi dalam ekosistem bisnis.
Namun, tantangan utama saat ini adalah masih rendahnya literasi digital di kalangan pelaku UMKM, yang menghambat adopsi teknologi secara optimal.
Maka hal ini pun harus menjadi perhatian khusus, termasuk memperoleh solusi yang tepat.
“UMKM yang terhubung dengan platform digital memiliki peluang lebih besar untuk menjual produk secara nasional dan juga untuk mengekspor barang ke luar negeri,” ujarnya kepada Tribunnews, Sabtu (31/5/2025).
Adopsi teknologi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan bagi UMKM lokal untuk tetap kompetitif di pasar global.
Lukman menekankan dengan dukungan dari pemerintah, sektor swasta seperti Shopee, dan lembaga pendidikan, diharapkan UMKM di Indonesia dapat mengatasi tantangan digitalisasi dan memanfaatkan peluang untuk berkembang.
“Transformasi digital UMKM merupakan langkah strategis untuk memperkuat perekonomian Indonesia dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas,” tutupnya.
(*)