Etika Bisnis Pengusaha Kuliner di Indonesia
GH News June 01, 2025 12:04 PM

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam beberapa dekade terakhir, sektor kuliner di Indonesia telah berkembang pesat. Pertumbuhan kelas menengah, tren pariwisata, dan kekayaan budaya kuliner Nusantara telah menjadikan industri makanan dan minuman sebagai salah satu sektor yang paling dinamis dan menguntungkan. 

Dari warung tenda hingga restoran fine dining, pelaku bisnis kuliner bermunculan dengan inovasi dan kreativitas. Namun, di balik gemerlapnya dunia kuliner ini, muncul pertanyaan yang mendasar: sejauh mana etika bisnis diterapkan oleh para pelaku usaha kuliner di Indonesia?

Etika bisnis, secara sederhana, merujuk pada prinsip moral yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonominya. Ini mencakup kejujuran, transparansi, tanggung jawab sosial, keberlanjutan lingkungan, hingga perlakuan adil terhadap pekerja. 

Di sektor kuliner, penerapan etika bisnis menjadi krusial karena menyangkut kesehatan konsumen, keamanan pangan, kesejahteraan tenaga kerja, dan bahkan pelestarian budaya lokal.

Masalah paling mendasar dalam etika bisnis kuliner adalah kejujuran terhadap konsumen. Banyak kasus ditemukan, terutama pada usaha kecil dan menengah, di mana informasi mengenai bahan baku disembunyikan atau dimanipulasi. Contohnya, penggunaan bahan pengawet berbahaya atau pewarna tekstil pada makanan masih terjadi, meskipun sudah ada regulasi yang melarangnya.

Kasus terbaru yang menyita perhatian publik adalah penggunaan bahan baku non-halal dalam proses pengolahan makanan pada rumah makan legendaris di Solo dengan menu utama ayam goreng. Restoran ini sebelumnya dikenal luas sebagai tempat makan keluarga yang dikunjungi berbagai kalangan, termasuk umat Muslim. 

Kekecewaan publik sangat besar karena tidak adanya transparansi mengenai penggunaan bahan non-halal tersebut. Kasus ini bukan hanya mencederai kepercayaan konsumen, tapi juga membuka mata akan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam dunia bisnis kuliner, terutama di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia.

Pemalsuan atau penyembunyian informasi seperti ini bukan hanya melanggar etika, tapi juga bisa menjadi pelanggaran hukum. Dalam konteks yang lebih luas, tindakan semacam ini merusak reputasi sebagian atau bahkan seluruh sektor kuliner karena menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pelaku usaha.

Etika bisnis tidak hanya berkaitan dengan konsumen, tetapi juga pekerja. Banyak pekerja di sektor kuliner, khususnya di warung makan, kafe, dan restoran kecil, tidak mendapatkan hak-hak dasar mereka, seperti upah minimum, jam kerja yang wajar, dan jaminan kesehatan. Praktik kerja informal yang tanpa kontrak kerja membuat para pekerja rentan terhadap eksploitasi.

Di sisi lain, ada pula tren restoran besar yang memanfaatkan pekerja magang atau "anak training" dengan beban kerja setara karyawan tetap namun tanpa kompensasi yang layak.

Dalihnya adalah untuk "melatih" mereka, namun pada kenyataannya, ini adalah bentuk eksploitasi tenaga kerja murah. Dalam konteks etika bisnis, hal ini sangat problematis karena mengabaikan prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Industri kuliner juga memiliki tanggung jawab besar terhadap lingkungan. Penggunaan plastik sekali pakai, limbah makanan, dan konsumsi energi menjadi isu yang semakin relevan.

Banyak restoran di kota-kota besar Indonesia masih mengabaikan pengelolaan limbah yang baik. Tidak sedikit dari mereka yang membuang limbah cair langsung ke selokan tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Selain itu, tren konsumsi makanan cepat saji dan produk impor juga mengancam keberlanjutan pangan lokal. Banyak pelaku usaha yang lebih memilih bahan impor dengan alasan kualitas atau citra, padahal produk lokal bisa menjadi alternatif yang jauh lebih berkelanjutan dan mendukung petani Indonesia. Mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam rantai pasok bukan hanya soal etika, tetapi juga strategi bisnis jangka panjang.

Ditambah lagi, Indonesia memiliki kekayaan kuliner tradisional yang luar biasa. Namun dalam beberapa tahun terakhir, terjadi fenomena di mana makanan tradisional "diangkat" oleh pelaku usaha besar tanpa memberikan kredit atau manfaat ekonomi bagi komunitas asalnya.

Misalnya, resep makanan khas daerah dimodifikasi lalu dijual dengan harga tinggi di kota besar, sementara pembuat asli di daerah tertinggal tetap hidup dalam kemiskinan.

Etika bisnis seharusnya mendorong para pelaku usaha untuk memberikan penghargaan terhadap sumber budaya dan komunitas asal. Ini bisa diwujudkan melalui kerja sama langsung dengan komunitas lokal, memberikan royalti, atau mencantumkan informasi asal-usul resep secara jujur. Dengan demikian, pelestarian budaya tidak hanya menjadi jargon pemasaran, tetapi menjadi bagian dari komitmen etis perusahaan.

Di tengah persaingan yang semakin ketat di industri kuliner, mudah bagi pelaku usaha untuk tergoda pada jalan pintas demi keuntungan cepat. Konsumen juga kini semakin kritis, terutama generasi muda yang menaruh perhatian besar pada isu keberlanjutan, keadilan sosial, dan transparansi.

Etika bisnis bukanlah penghalang inovasi, melainkan fondasi untuk menciptakan usaha kuliner yang berkelanjutan, adil, dan dipercaya oleh masyarakat. Pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha harus bekerja sama membangun ekosistem bisnis kuliner yang sehat, yang bukan hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga bermartabat secara moral. (*)

***

*) Oleh : Antonius Satria Hadi, PhD., Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.