Kontestasi Pemilihan dan Keadilan Sosial
Eko Sutriyanto June 01, 2025 03:33 PM

Oleh:  Benny Sabdo, anggota Bawaslu DKI Jakarta; Pengajar Hukum Kepemiluan Pendidikan Khusus Profesi Advokat PERADI Pergerakan  

TRIBUNNERS - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk mendiskualifikasi semua pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.

MK menyatakan diskualifikasi terhadap Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 1, yaitu H. Gogo Purman Jaya, S.Sos dan Drs. Hendro Nakalelo, M.Si, serta Pasangan Calon Nomor Urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah, S.E., B.A dan Sastra Jaya dari kontestasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara tahun 2024 (KOMPAS.com, 15 Mei 2025).

MK menegaskan bahwa kedua pasangan calon tersebut terbukti terlibat dalam praktik politik uang yang meluas, yang berpotensi merusak demokrasi di Indonesia.

Menurut MK, langkah diskualifikasi ini adalah tindakan yang adil dan tepat, mengingat kedua pasangan calon telah melakukan praktik politik uang yang melanggar prinsip-prinsip pemilu yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, praktik tersebut telah merusak integritas pemilihan yang semestinya berlangsung secara jujur dan adil.

Politik uang kerap kali menjadi jalan pintas bagi para kandidat untuk memenangkan konstestasi pemilihan kepala daerah. Dominasi politik uang menjadi strategi andalan dalam kampanye elektoral saat ini. 

Wajah otentik demokrasi elektoral Indonesia kini dikorupsi oleh praktik jual beli suara.

Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dalam pranata demokrasi daya rusak kekuasaan memang tidak dapat ditaklukkan secara absolut, karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah menghadapi godaan kenikmatan. 

Demokrasi bukan hanya sekadar membangun sistem, mekanisme dan prosedur politik, melainkan juga harus membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol itu dapat berfungsi dengan baik, seperti partai politik, lembaga peradilan, aparat penegak hukum dan penyelenggara pemilu.

Namun upaya lain yang tidak kalah penting, yakni menanamkan tata nilai yang dapat menghadirkan roh yang menghidupkan, sekaligus menguatkan demokrasi. Tiadanya sukma dalam tatanan demokrasi hanya akan menjadikan sistem tersebut rapuh sehingga mudah ambruk, bahkan menjadi anarkis.
 

Kehidupan politik kita harus lebih bermartabat dan berkeadilan sosial. Di masa depan diharapkan, mereka yang akan terjun ke medan politik harus berbekal niat untuk berjuang bagi kepentingan bangsanya; bukan mencari gelimang kemewahan dan kekuasaan.

Pendidikan ideologi Pancasila harus diterapkan kepada para kader calon pemimpin bangsa. Mereka inilah harus menjadi sasaran prioritas, sebab merekalah yang akan memiliki kewenangan yang setiap keputusannya mengikat seluruh warga masyarakat. Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila, maka kehidupan politik menjadi lebih mulia dan bermartabat.   

Jika kehidupan politik kita sudah bermartabat, maka keadilan sosial mestinya lebih mudah diwujudkan. Keadilan sosial sebagai diksi dalam politik, lahir dari pemikiran mendalam Bung Karno.

Keadilan sosial menjadi imajinasi tentang tatanan masyarakat Indonesia yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan. Keadilan sosial menjadi muara dari Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan dan Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan. Dalam konsepsi demokrasi Indonesia, keadilan sosial inilah yang membedakan antara demokrasi Barat yang menitikberatkan pada demokrasi politik. Sintesis antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi dalam kebudayaan melahirkan cita-cita tidak ada kemiskinan dalam bumi Indonesia Merdeka. 

Sila keadilan sosial berangkat dari pandangan kritis. Keadilan sosial mengandung sikap kritis di dalam melihat struktur sosial yang tidak adil akibat penjajahan.

Dalam konteks kekinian, misalnya kasus pemilihan kepala daerah yang penuh traksaksi politik uang seperti yang terjadi di Kabupaten Barito Utara, kita mesti mendesak DPR dan Pemerintah dalam hal pembahasan RUU Pemilu agar memikirkan solusi praktis dalam penegakan hukum pemilu dan pemilihan.

Selama ini pembahasan RUU Pemilu biasanya lebih berkutat pada urusan daerah pemilihan dan alokasi pembagian kursi. Sehingga perihal penegakan hukum pemilu terkesan diabaikan. 

Dalam perkara politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) sebenarnya Bawaslu memiliki kewenangan menindak dan jika terbukti, maka Bawaslu dapat menjatuhkan sanksi diskualifikasi terhadap calon kepala daerah.

Pada pemilihan kepala daerah tahun 2020, Bawaslu Provinsi Lampung pernah menjatuhkan putusan diskualifikasi kepada pasangan calon Walikota Bandar Lampung nomor urut 3, Eva Dwiana dan Dedy Amarullah.

Namun demikian, Mahkamah Agung justru membatalkan keputusan KPU Kota Bandar Lampung yang mendiskualifikasi Eva Dwiana-Deddy Amarullah. Dengan demikian, putusan Bawaslu Provinsi Lampung perihal diskualifikasi kandidat menjadi tidak berkekuatan hukum. 

Akhirkata, perihal penegakan hukum perkara politik uang mesti mendapatkan perhatian serius pembuat undang-undang. Sebab perkara politik uang dalam pemilihan kepada daerah dapat diselesaikan secara hukum pidana pemilihan dan penyelesaian pelanggaran administratif pemilihan TSM.

Sebaiknya pembuat undang-undang berpikir, tidak semua hal harus diselesaikan di MK. Dengan demikian, keadilan pemilu dapat ditegakkan Bawaslu selama proses tahapan pemilihan.

Sejatinya kontestasi pemilihan kepala daerah merefleksikan asas jujur dan adil. Putusan MK yang mendiskualifikasi seluruh kontestan pada pemilihan Kabupaten Barito Utara, telah sesuai dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.