TRIBUNNEWS.COM - PDI Perjuangan (PDIP) mewanti-wanti agar penulisan ulang sejarah yang tengah dilakukan pemerintah sesuai dengan fakta.
Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat bahkan meperingatkan agar penulisan sejarah itu bukan berdasarkan cerita atau pengalaman pihak yang "menang".
Djarot tidak menjelaskan secara detail maksud perkataannya itu.
Diduga pihak yang dimaksud adalah orang-orang yang kini sedang berada di pemerintahan, Presiden Prabowo Subianto dan orang-orang di belakangnya.
"Maka dari pada itu penulisan sejarah itu tolong benar-benar sesuai dengan fakta sejarah, bukan history bukan story mereka yang menang tetapi betul-betul story cerita perjuangan bangsa kita ini," kata Djarot seusai peringatan Hari Lahir Pancasila di halaman Masjid At Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (1/6/2025).
Lebih lanjut, PDIP meminta agar penulisan sejarah harus dilakukan secara terbuka.
"Janganlah kemudian sejarah itu ditutup-tutupi, janganlah sejarah itu disimpang-simpangkan, maka kita harus benar-benar ketika ada penulisan sejarah itu harus dilakukan dengan terbuka," ucap Djarot.
Ia lalu mencontohkan ketika pemerintahan Presiden Soeharto dulu melarang peringatan Hari Lahir Pancasila.
"Karena pemerintah waktu itu berdasarkan tulisan dari Prof. Nugroho Notosusanto, mengatakan Hari Lahir Pancasila bukan 1 Juni, itu dilawan dan itu diluruskan oleh para sejarawan," kata Djarot.
Oleh karena itu, Djarot mengingatkan agar penulisan ulang sejarah yang tengah dilakukan pemerintah harus berdasarkan fakta.
Peringatan PDIP itu langsung ditanggapi Menteri Kebudayaan RI (Menbud) Fadli Zon.
Fadli menyatakan, dalam penulisan sejarah ulang ini, pemerintah menjamin akan mengedepankan amanat presiden pertama RI, Ir. Soekarno atau Bung Karno.
"Saya kira sejak awal juga di DPR saya menyatakan bahwa kita ingin menulis sejarah ini karena sejarah itu penting, justru apa yang disampaikan oleh Bung Karno jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah, melupakan sejarah, itu sangat relevan," kata Fadli saat ditemui awak media di Kawasan Taman Sriwedari, Minggu (1/6/2025).
Menurut Fadli Zon, penulisan ulang sejarah Indonesia saat ini memiliki urgensi.
Terlebih, sudah 26 tahun lamanya pembaruan soal sejarah Indonesia tidak dilakukan.
"Bahkan pemilu yang terakhir yang ditulis dalam sejarah kita itu pemilu tahun 97. Di pemilu 99 di era reformasi itu sama sekali tidak ada."
"Jadi justru kita harus menulis sejarah itu sebagai bagian bagi memori kolektif bangsa," ujar Fadli Zon.
Fadli Zon juga menegaskan pemerintah akan menjamin soal pelibatan partisipasi publik dalam penulisan sejarah ini.
Bahkan, kata dia, saat ini tercatat ada lebih dari 100 sejarawan yang dipastikan akan terlibat.
"Siapa yang menulis sejarah? Ya tentu adalah ahli-ahlinya, sejarawan yang menulis sejarah. Dan kita ada 113 sejarawan dari 34 perguruan tinggi yang mempunyai kompetensi di bidang sejarah dan keahlian masing-masing yang sudah teruji," kata Fadli Zon.
"Mereka adalah guru besar, doktor, Ph.D. yang memang membidangi sejarah."
"Jadi tidak perlu khawatir dan tentu kita akan melakukan uji publik nanti setelah ditulis," kata Fadli Zon.
Saat ini sebanyak 113 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional.
Fadli Zon mengatakan, proyek ini bertujuan membangun kembali penulisan sejarah nasional yang selama ini dinilai masih banyak dipengaruhi perspektif kolonial.
Dengan melibatkan akademisi dari berbagai daerah, dia berharap sejarah dapat ditulis dengan pendekatan Indonesia sentris.
“Jadi kita ingin sejarah ini ditulis secara inklusif dengan Indonesia sentris. Jadi perspektif Indonesia, kalau perspektifnya Belanda tidak ada penjajahan, ya mereka melihatnya beda,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).
(Tribunnews/Galuh Widya Wardani)