TIMESINDONESIA, MALANG – Lombok memang dikenal sebagai surga wisata alam—dari pantai-pantai eksotis hingga pegunungan megah yang menyejukkan mata. Tapi di balik pesona alam itu, tersimpan warisan budaya yang tak kalah memikat: Tenun Sasak.
Kontributor TIMES Indonesia, Nazriel Maulana Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unmer Malang, melaporkan kain tenun khas suku Sasak ini bukan sekadar pelengkap pakaian adat. Ia adalah hasil ketekunan, keindahan, dan nilai tradisi yang dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat Lombok. Tak heran jika kain ini menjadi kebanggaan warga setempat, sekaligus daya tarik yang mengundang kekaguman para wisatawan.
Proses pembuatan Tenun Sasak tidak bisa dipandang remeh. Dimulai dari pemintalan benang secara manual, lalu lanjut ke tahap mengani, menggulung benang, membuat motif, dan mengegun. Semua proses ini dilakukan secara tradisional—tanpa mesin otomatis. “Satu kain bisa selesai dalam waktu sebulan,” ujar Khairun Nisa, salah satu penenun lokal yang kini menjadi inspirasi banyak orang.
Motif-motif Tenun Sasak sendiri bukan hanya cantik, tetapi sarat makna dan filosofi lokal. Setiap helai benang adalah bagian dari narasi budaya yang terpatri dalam bentuk visual. Inilah yang membuat banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, tertarik menjadikannya oleh-oleh istimewa dari Lombok.
Tak hanya menjadi kebanggaan lokal, kain ini kini mulai menembus pasar global. “Alhamdulillah, sekarang hasil tenun sudah mulai diekspor ke berbagai negara seperti Australia, China, Jepang, sampai ke negara-negara Eropa,” ujar Nisa dengan penuh rasa syukur.
Namun, di tengah pengakuan itu, ada tantangan besar yang dihadapi para penenun. Persaingan di era digital membuat produk tenun lokal harus berhadapan dengan harga pasar yang tidak selalu adil. “Banyak yang jual tenun dengan harga sangat murah, bahkan di bawah standar,” keluh Nisa. Padahal, di balik sehelai kain tenun, ada ketelatenan yang tak bisa disamakan dengan produk instan atau buatan pabrik.
Karena itu, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Bukan hanya dalam bentuk promosi budaya, tapi juga perlindungan harga dan kesejahteraan para pengrajin. Menurut Nisa, melestarikan tenun bukan hanya tentang mempertahankan tradisi, tapi juga menghargai kerja keras para perempuan desa yang menjadikan setiap helai benang sebagai karya budaya yang hidup.
Tenun Sasak adalah bukti bahwa warisan budaya bukan sekadar benda masa lalu, melainkan identitas yang terus berkembang dan layak diapresiasi di era modern. Di tangan para pengrajin seperti Khairun Nisa, benang-benang itu menjalin cerita—tentang tanah, ketekunan, dan impian yang menembus batas-batas geografis. Dari desa kecil di Lombok, tenun Sasak kini menjelma menjadi duta budaya Indonesia di mata dunia. (*)