BELAKANGAN pemberitaan nasional diramaikan soal rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman merevisi aturan terkait luasan tanah dan bangunan rumah bersubsidi.
Sebelumnya luas tanah dan bangunan rumah subsidi minimal masing-masing 60 meter persegi dan 21 meter persegi.
Ini diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023. Sedangkan dalam wacana terbaru, luas minimal tanah rumah subsidi dipangkas menjadi 25 meter persegi dan luas minimal menjadi 18 meter persegi.
Terkait wacana aturan itu, banyak pihak yang menyoroti aspek kelayakan baik menyangkut privasi hingga ruang tumbuh kembang anak bagi masyarakat yang menghuni rumah subsidi.
Perlu diperhatikan, aturan tersebut mengatur soal batas minimal, artinya pengembang boleh saja membangun rumah subsidi dengan luas lahan dan bangunan di atas batas minimal selama tak melampaui batas maksimal.
Dimana batas maksimal rumah subsidi yakni luas lahan 200 meter persegi dan bangunan 60 meter persegi. Realita di lapangan, kebijakan demikian mungkin tak terlalu banyak berpengaruh pada perumahan subsidi di Kalimantan Selatan (Kalsel), berbeda dengan wilayah yang kepadatan penduduknya jauh lebih tinggi seperti Jabodetabek.
Tiap daerah juga punya kebijakan turunan berbeda-beda soal luasan minimal lahan dan bangunan rumah subsidi di dalam spektrum batas maksimal dan minimal yang diatur pemerintah pusat.
Di sisi lain ada faktor penting yang juga seharusnya jadi perhatian yakni harga rumah subsidi dan kapasitas finansial masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang jadi target penjualan rumah subsidi. Secara kumulatif rata-rata harga rumah subsidi dari tahun ke tahun terus naik dan lebih sering tak diiringi dengan rata-rata kenaikan upah. Belum lagi jika bicara soal pekerja serabutan yang punya upah tak menentu.
Di Kalsel saja, harga rumah subsidi bisa mencapai Rp182 juta pada 2025. Dengan bunga yang disebut ringan dan kredit tenor panjang pun, cicilan bulanan untuk bisa memiliki rumah subsidi bisa mencapai di atas Rp1 juta per bulan.
Namun di sisi lain, relatif jarang disorot soal berapa banyak pembeli rumah subsidi yang mangkrak bayar bahkan gagal bayar karena tekanan ekonomi yang tak pasti dan makin mencekik. Pemerintah selayaknya memerhatima pula realita kemampuan ekonomi MBR yang jadi target penjualan rumah subsidi. Jangan sampai upaya menekan angka backlog perumahan dengan program rumah subsidi justru menimbulkan persoalan lain. (*)