JI Sudah Bubar Setahun Lalu: Ustad Parawijayanto Tegaskan Aksi Kekerasan Salah
Garudea Prabawati June 04, 2025 05:33 PM

TRIBUNNEWS.COM - Ustaz Parawijayanto, amir atau pemimpin terakhir Al Jama'ah Al Islamiyah (JI) memastikan organisasi itu telah bubar sejak setahun lalu.

Ia menjawab keraguan publik atas ikrar para tokoh eks JI, dan ingin membuktikan ke depan semua eksponen JI bergabung dan berkarya untuk NKRI.

Pernyataan itu disampaikan Ustad Para dalam bedah buku "JI : The Untold Story" di Hall Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Ringroad Barat , Gamping, Sleman, DIY, Rabu (4/6/2025).

Tampil sebagai narasumber Prof Dr Greg Barton seorang peneliti terorisme dari Australia, Solahudin, peneliti NII dan JI dan juga penulis buku tentang terorisme.

Iqbal Anaf, peneliti dan pengajar UNU Yogyakarta, dan Khoirul Anam, Staf Khusus Kepala Densus 88/AT Irjen Pol Sentot Prasetyo. 

Membuka acara diskusi buku ini adalah Rektor UNU Dr Suhaidi Cholil dan AKBP Mayndra Eka Wardana SIK, mewakili Kadensus 88/AT.

Menurut Ustad Parawijayanto, JI telah menyadari kekeliruannya di masa lalu, terutama pemahaman tentang prinsip-prinsip daulah dalam konteks Indonesia.

Kemudian juga terjadi kesalahan pemahaman tentang dalil takfiri, yang dalam praktiknya di JI terjadi serangkaian kekeliruan fatal. 

"Pangkal kesalahan takfiri adalah munculnya pemahaman keliru, terutama ketika mengkafirkan sesama muslim yang tidak mengkafirkan orang kafir," kata Ustad Para.

BUKU KISAH JI - Amir atau pemimpin terakhir Al Jama'ah Al Islamiyah (JI) Ustad Parawijayanto dan sejumlah narasumber mengupas buku testimonial sejarah JI yang sudah bubar setahun lalu. Bedah buku digelar di kampus Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Gamping. (Kredit foto: Setya Krisna Sumarga)
BUKU KISAH JI - Amir atau pemimpin terakhir Al Jama'ah Al Islamiyah (JI) Ustad Parawijayanto dan sejumlah narasumber mengupas buku testimonial sejarah JI yang sudah bubar setahun lalu. Bedah buku digelar di kampus Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Gamping. (Kredit foto: Setya Krisna Sumarga) ((Kredit foto: Setya Krisna Sumarga))

Aksi kekerasan yang dilakukan juga sudah melebihi batas. Titik krusialnya terjadi saat anggota jaringan JI memutilasi siswi-siswi Kristen di Poso. 

Tindakan itu dianggap benar-benar menyimpang dari hukum perang secara Islam. Karena itu diskursus kemudian, apa yang dilakukan orang-orang JI ternyata mendatangkan mudarat daripada maslahat. 

"Harusnya menjaga dien, malah merusaknya. Semua akhirnya bertentangan dengan syariah," jelas Ustad Para.

Pertanyaan selanjutnya, menurut Parawijayanto, buat apa mempertahankan organisasi (JI) jika perjuangannya tidak sesuai.

"Karena dipertahankan juga sudah tidak mungkin, dan karena tidak sesuai, ya dibubarkan saja," tegasnya menjawab keraguan publik.

Tentang Negara Islam, menurutnya, hukum  syarii mensyaratkan minimal dan maksimal. Karena Indonesia memenuhi syarat sebagai negara muslim (Dasar Islam), makasih dari itu tidak boleh diperangi.

Ustad Para lantas menceritakan bagaimana para mujahidinnya masuk ISIS, ternyata menemukan isi ISIS berbeda dengan labelnya. Namanya betul, substansinya hilang. 

"Mestinya mewujudkan rasa aman, tapi malah meneror. Kaum muslimin pun diserang dan diperangi," ujar tokoh yang dipandang tak hanya ideologi tapi juga manajer yang baik selama memimpin JI.

Setelah bubar, maka langkah lanjut eks JI menurutnya harus ada terapi, obat untuk menyembuhkan, dan upaya penjelasan terus menerus tentang keputusan bubarnya JI. 

Sebab menurutnya masih ada anggota yang keluar penjara dan kembali ke habitatnya atau circle lamanya yang menolak heteroginitas atau keberagaman di NKRI.

JI secara umum dikenal sebagai elemen jaringan Al Qaeda yang didirikan Osama bin Laden. Banyak di antara anggota JI di masa lalu digembleng di medan perang Afghanistan.

Di Indonesia sejak tahun 2000an, sebagian anggota dan simpatisan organisasi ini mendalangi dan jadi pelaku bom teror. Paling fenomenal kasus bom Bali I di sentral turis asing Kuta dan Legian.

JI Indonesia secara historis didirikan duet ustad, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir di Johor Bahru, Malaysia. 

Cikal bakalnya dari gerakan usroh di Solo, Jakarta, dan Bandung, yang banyak dipengaruhi doktrin Dewan Dakwah Islamiyah yang didirikan tokoh Masyumi, M Natsir.

Aktifitas di gerakan radikal yang menantang negara itu membuat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Basyir diburu aparat keamanan. Keduanya ditangkap dan kemudian diadili.

Namun kedua tokoh ini kemudian kabur ke Malaysia, menghindari hukuman penjara. Di negeri jiran itulah Abdullah Sungkar dan Baasyir mengelola madrasah. Sebagian besar muridnya datang dari Indonesia.

Abdullah Sungkar dan jaringannya lantas memfasilitasi program jihad ke Afghanistan, yang diikuti banyak anggota JI, baik dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Peristiwa serangan 11 September 2001 ke New York dan Pentagon oleh kelompok Al Qaeda memicu invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Afghanistan.

Osama bin Laden lantas mengeluarkan fatwa mengajak umat Islam membalas serangan Amerika Serikat dan sekutunya itu di manapun mereka berada. 

Konflik sosial bernuansa sektarian di Jakarta, Maluku, dan kemudian Poso, turut memantik kemarahan anggota dan simpatisan JI Indonesia.

Mereka menggelar aksi teror, diawali serangan bom malam Natal 2000 di berbagai kota di Indonesia, disusul rentetan serangan bom mobil ke Kedubes Filipina di Jakarta, Kedubes Australia di Jakarta, bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta, bom Bali II, dan seterusnya.

BUKU KISAH JI - Amir atau pemimpin terakhir Al Jama'ah Al Islamiyah (JI) Ustad Parawijayanto dan sejumlah narasumber mengupas buku testimonial sejarah JI yang sudah bubar setahun lalu. Bedah buku digelar di kampus Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Gamping. (Kredit foto: Setya Krisna Sumarga) ((Kredit foto: Setya Krisna Sumarga))

Tiga tokoh utama bom Bali I yang dikenal murid Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir, yaitu Ali Ghufron, Amrozi, dan Abdul Azis alias Imam Samudera, telah dihukum mati di Pulau Nusakambangan. 

Sementara dua dedengkot JI asal Malaysia, Dr Azahari Husin dan Noordin Mohd Top ditewaskan dalam operasi perburuan oleh Densus 88/Anti-teror 

Noordin Mohd Top ditembak mati saat digerebek di rumah persembunyian di Mojosongo, Kota Solo. Sedangkan Azahari Husin tewas lebih dulu dalam operasi penggerebekan di Kota Batu, Jawa Timur.

Azahari Husin pernah jadi dosen di kampus ternama di Malaysia, dan ia dikenal sebagai otak pembuatan bom rakitan sepanjang aksi JI di Indonesia.

Sedangkan Noordin Mohd Top lebih dikenal sebagai perekrut dan pembimbing spiritual para eksekutor bom bunuh diri di Bali dan Jakarta.

Khoirul Anam, Staf khusus Kepala Densus 88/AT sekaligus editor buku yang dibedah secara ringkas menjelaskan buku ini memaparkan fakta baru.

Di antaranya tentang kisah di balik bom Bali I, yang selama ini selalu dibantah pelakunya JI. Di buku ini terungkap eks pimpinan JI mengakui operasi di Bali itu dijalankan JI.

Khoirul Anam juga menyebutkan secara DNA, ideologi JI mengadopsi Dewan Dakwah Islamiyah. 

AKBP Mayndra Eka Wardana SIK, yang memimpin bidang pencegahan dan deradikalisasi Densus 88/AT memaparkan ringkasan sejarah gerakan Islam di Indonesia sejak Semaun, DI/TII Kartosuwiryo, dan seterusnya di masa lalu.

Apa yang terjadi kemudian dan sekarang sebagian kelanjutan dari masa lampau. Hari ini yang harus sangat diwaspadai adalah paparan pemikiran lewat media sosial.

Upaya penindakan para terduga dan tersangka terorisme kalangan remaja terpapar lewat media sosial dan jaringan media nternet. Isu pemantik tak hanya lokal, tapi juga konflik internasional.

Belajar dari pengalaman di Eropa, menurut Mayindra saat ini terjadi pertumbuhan Islam luar biasa, tapi mereka tidak memiliki semangat kebangsaan seperti kaum Islam Indonesia.

Mengenai capaian saat ini, ketika aksi terorisme di Indonesia mencapai titik zero dalam dua tahun terakhir, bisa terwujud berkat revisi UU Antiterorisme.

"Pascabom Surabaya 2018 ada revisi UU terkait pencegahan dan ini sangat signifikan memberi ruang dialog dan berakhir konsensus pembubaran JI pada tahun 2024," kata Mayndra.

Pelaksana Harian Rektor UNU Dr Suhadi Cholil di pembukaan acara menunjukkan grafik yang memperlihatkan sejak 2021 hingga 2024 data act of terror di Indonesia turun drastis.

Sepanjang 2023 dan 2024  bahkan zero act of terrorism meski ada 196 orang yang ditangkap Densus 88/AT sepanjang periode itu. 

Suhaidi Cholil mengingatkan yang harus dicermati saat ini adalah cyber terrorism yang trennya semakin jamak dan terus meningkat. 

"Dari kasus sejak 2013 hingga 2022 ada 360 pelaku terpapar lewat platform digital. Ini ada di posisi kedua paparan setelah komunitas," kata Suhaidi Cholil.

(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.