Provinsi Bali tampil menonjol sebagai daerah dengan angka stunting terendah di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan hasil survei status gizi indonesia (SSGI) 2024, prevalensinya menurun di angka 8,7 persen, saat wilayah timur lain seperti NTB hingga Sulawesi masih berjuang dengan angka 30 persen.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan, Asnawi Abdullah, keberhasilan Bali dalam menurunkan angka stunting tidak lepas dari pendekatan menyeluruh yang mencakup berbagai faktor, baik dari sektor kesehatan maupun non-kesehatan.
"Stunting ini disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). Karena itu, tidak bisa ditangani hanya dari sisi kesehatan saja. Kita perlu sadar bahwa indikator-indikator seperti sanitasi, akses pangan, pendidikan, hingga faktor sosial ekonomi juga berpengaruh," kata Asnawi dalam konferensi pers, Kamis (5/6/2025).
Ia menegaskan kondisi prevalensi stunting bisa sangat berbeda antar daerah karena variabel yang memengaruhinya juga bervariasi. Namun, Bali dianggap berhasil karena mampu mengidentifikasi dan merespons faktor-faktor kunci tersebut secara terintegrasi.
Platform Digital dan Fokus pada Data
Salah satu inovasi andalan Bali adalah peluncuran platform Sinenting (Sistem Informasi Stunting Terintegrasi). Platform ini memungkinkan pendataan, pemantauan, hingga evaluasi perkembangan stunting secara real time di seluruh wilayah Bali. Data yang diperoleh dari Sinenting kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan intervensi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Sinenting itu ibarat dashboard. Ada indikator seperti lampu merah dan hijau yang menunjukkan wilayah mana yang perlu perhatian atau intervensi segera. Ini memudahkan gubernur, sekda, dan seluruh pemangku kebijakan dalam merespons dengan cepat," jelas Asnawi.
Perhatian Khusus untuk Kelompok Rentan
Keberhasilan Bali juga ditopang oleh perhatian yang besar terhadap kelompok miskin dan rentan. Berdasarkan data nasional, anak yang lahir dari keluarga miskin memiliki risiko 2,5 kali lipat mengalami stunting lebih tinggi dibandingkan dari keluarga sejahtera. Karenanya, Bali secara aktif menyasar kelompok sosial ekonomi rendah dengan program-program yang menyentuh langsung kebutuhan dasar mereka.
Bentuk intervensinya konkret. Pemerintah Bali secara rutin menyalurkan bantuan untuk balita stunting, termasuk paket sembako dan pangan bergizi. Bantuan ini diharapkan bisa menutupi kekurangan asupan gizi anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Rembuk Stunting hingga ke Tingkat Desa
Pemerintah daerah di Bali juga menggelar Rembuk Stunting, forum tahunan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota hingga desa. Dalam forum ini, para pihak berdiskusi, menganalisis permasalahan, dan menyusun langkah strategis percepatan penurunan stunting di wilayah masing-masing.
"Rembuk ini sangat penting karena pendekatannya bottom-up. Desa-desa juga dilibatkan untuk mengenali permasalahan unik mereka dan menyusun solusi yang paling relevan," ujar Asnawi.
Tak hanya itu, banyak kabupaten/kota di Bali yang memberikan insentif fiskal sebagai bentuk penghargaan atas kinerja dalam menurunkan stunting dan penghapusan kemiskinan ekstrem. Kebijakan ini mendorong persaingan sehat antar daerah dan meningkatkan komitmen aparat daerah.
NEXT: Layanan Kesehatan Dasar Merata dan Aktif
Layanan Kesehatan Dasar Merata dan Aktif
Dari sisi pelayanan kesehatan, Dirjen Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes, Maria Endang Sumiwi, menyatakan tingginya cakupan layanan dasar di Bali menjadi faktor penentu menurunnya angka stunting. Hampir semua segmen sasaran intervensi di Bali terlayani secara maksimal.
"Stunting akan turun kalau cakupan pelayanan tinggi. Dan Bali itu cakupan layanannya sangat tinggi, mulai dari remaja putri, ibu hamil, hingga balita," kata Endang, dalam kesempatan yang sama.
Data SSGI menunjukkan sekitar 90 persen remaja putri di Bali menerima tablet tambah darah, dan hampir 80 persen telah melalui skrining status gizi.
Selain itu, posyandu-posyandu di Bali tergolong sangat aktif dan hidup. Dengan dukungan masyarakat yang solid dan adanya kohesi sosial yang tinggi, distribusi layanan gizi dan kesehatan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
"Kalau di Bali, menyampaikan layanan itu relatif lebih mudah karena struktur sosialnya mendukung. Sementara di beberapa daerah lain, tantangannya bisa berupa geografis, akses layanan, atau sumber daya manusia yang terbatas," ujar Endang.
Pelajaran bagi Daerah Lain
Bali kini menjadi model yang dapat dijadikan rujukan bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Meskipun tiap daerah memiliki tantangan unik, namun pendekatan berbasis data, keterlibatan lintas sektor, dan pelayanan kesehatan yang merata terbukti memberikan dampak signifikan.
"Tidak bermaksud membandingkan langsung dengan daerah lain, tapi kita semua bisa belajar. Prinsip dasarnya adalah cakupan layanan tinggi, perhatian pada kelompok rentan, dan keterlibatan semua pihak," tutup Endang.