Spirit Idul Adha di Era Krisis Iklim
GH News June 07, 2025 01:05 PM

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Terus menggaungkan isu climate change menjadi keharusan. Upaya bersama menekan suhu bumi agar tidak melampai 1,5 derajat Celcius di tahun 2030 menjadi tugas berat bersama umat manusia. 

Langkah lebih agresif yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang climate change, apa penyebabnya, dan bagaimana penanganannya dalam skala individual. 

Membuka mata lebih banyak orang tentang isu global ini, mendedahkan bahwa isu climate change itu dekat bahkan membaluti kehidupan kita sehari-hari menjadi agenda bersama. Wake-up call perlu lebih keras lagi digaungkan.

Masih banyak orang mengira krisis iklim hanya berkaitan dengan industri dan kendaraan bermotor. Padahal, di atas meja makan kita pun terselip jejak karbon yang besar, terutama ketika daging merah yang dikonsumsi. Idul Adha 1446 H menjadi momentum merenungkan bahwa pilihan di piring kita berdampak pada pilihan bagi masa depan bumi.

Sektor peternakan (terutama hewan ruminansia: sapi, kambing, domba) merupakan penyumbang emisi besar. Metana (CH₄) dihasilkan dari fermentasi enterik (proses pencernaan hewan). 

1 ton metana setara dengan 25-28 ton CO₂ dalam potensi pemanasan global. Emisi dari kotoran hewan menghasilkan metana dan nitrous oxide (N₂O). 1 ton N₂O setara dengan 265-298 ton CO₂. 

Belum lagi deforestasi untuk membuka padang rumput atau lahan pakan ternak dan energi fosil yang digunakan untuk proses produksi pakan (pupuk kimia, pestisida, bahan bakar traktor), transportasi ternak & daging, dan pendinginan (refrigeration chain) daging.

Data global FAO dan IPCC mencatat total emisi gas rumah kaca dunia dari semua sektor sekitar 50-55 miliar ton CO₂-eq /tahun. Sektor peternakan/livestock menyumbang sekitar 14,5% dari total emisi global. 

Angka ini lebih besar dari seluruh sektor transportasi global multi moda yang menyumbang sekitar 14%. Peternakan bukan sektor kecil. Ia berada di papan atas emisi global bersama energi fosil, industri, dan transportasi.

Pada skala individu, apa yang bisa dikontribusikan? Hal paling mudah dilakukan adalah mengurangi frekuensi konsumsi daging merah, khususnya daging sapi dan kambing. Ini bukan sekadar soal gaya hidup, melainkan keputusan sadar yang berdampak besar bagi bumi, kesehatan, dan ekonomi. 

Secara ilmiah, 1 kg daging sapi menghasilkan emisi sekitar 27–60 kg CO₂-eq. Bandingkan dengan 1 kg ayam yang menghasilkan emisi hanya sekitar 6–7 kg CO₂-eq. Lebih ramah lingkungan lagi apabila kita memilih protein nabati seperti tahu dan tempe, yang hanya menimbulkan emisi kurang dari 3 kg CO₂-eq per kg. 

Dari segi kesehatan, terlalu banyak konsumsi daging merah (terutama yang diproses) telah terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit degeneratif, bahkan beberapa jenis kanker. Sebaliknya, pola makan yang lebih berbasis nabati memberikan asupan serat, vitamin, dan antioksidan yang sangat baik untuk metabolisme tubuh. 

Beralih ke sumber protein alternatif seperti ayam, telur, ikan, tempe tahu yang kaya gizi dan lebih murah menawarkan jejak karbon lebih rendah sekaligus menambah manfaat kesehatan.

Penting pula masyarakat tahu tentang produksi pangan. Mendorong praktik peternakan berkelanjutan menjadi krusial. Peternakan lokal berbasis agroekologi, yang mengintegrasikan ternak dengan sistem pertanian alami, memanfaatkan siklus hayati, serta mengurangi ketergantungan pada pakan impor dan input kimia, merupakan langkah konkrit menuju sistem pangan rendah emisi. 

Lebih jauh lagi, pendekatan regenerative farming menempatkan peternakan sebagai agen pemulih ekosistem melalui praktik yang memperbaiki kesehatan tanah, meningkatkan kapasitas penyerapan karbon, merestorasi keanekaragaman hayati, dan memperkuat ketahanan ekologi lokal. 

Dalam perspektif ini, kesadaran konsumen menjadi kekuatan transformatif: melalui pilihan yang cermat, bukan sekadar mengurangi jejak karbon pribadi, melainkan turut mendorong terbentuknya ekosistem pangan yang berpihak pada keberlanjutan bumi.

Kini, di tengah momentum Idul Adha dan kegentingan krisis iklim, pilihan ada di tangan kita. Mengurangi konsumsi daging merah, memilih protein yang lebih ramah lingkungan, mendukung peternakan berkelanjutan adalah kontribusi berarti dalam menjaga bumi. 

Saatnya menjadikan kesadaran iklim sebagai bagian dari laku hidup sehari-hari. Perubahan besar selalu bermula dari tindakan-tindakan kecil yang konsisten. Mulai hari ini, dari meja makan, kita buat pilihan terbaik untuk bumi senantiasa lestari.(*)

***

*) Oleh : Jani Purnawanty, Dosen & Peneliti FH Unair, Pulitzer Centre ISF 2022-2023 Grantee tema Climate Change.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.