TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) kembali menjadi perhatian publik dengan pendekatan tak biasa dalam menangani anak-anak yang dicap “nakal”. Alih-alih dibina melalui mekanisme pendidikan formal atau konseling psikologis, KDM menawarkan pendekatan alternatif yaitu mengirim mereka ke barak militer.
Barak dalam konteks ini bukan sekadar tempat pelatihan fisik. Ia menjadi simbol dari disiplin, keteraturan, dan kepatuhan. Bagi KDM, barak adalah ruang pemulihan moral. Akan tetapi, di balik kebijakan ini, sejumlah pihak menilai bahwa yang sedang berlangsung bukan sekadar eksperimen pendidikan, melainkan bagian dari strategi populisme moral yang lebih besar.
Dalam literatur politik kontemporer, populisme tidak hanya dimaknai sebagai mobilisasi dukungan rakyat melawan elite. Menurut Benjamin Moffitt dalam The Global Rise of Populism (2016) ada bentuk yang disebut populisme moral yakni ketika pemimpin tampil sebagai figur penyelamat moral masyarakat dari degradasi nilai-nilai yang dianggap merusak bangsa.
KDM membingkai barak bukan hanya sebagai solusi teknis, melainkan simbol penyelamatan. Dalam berbagai pernyataannya, ia menyatakan bahwa banyak orang tua dan guru yang sudah tidak sanggup mendidik anak-anak.
Maka, negara dalam hal ini turun tangan. Retorika ini selaras dengan pola populisme moral yang memposisikan pemimpin sebagai pelindung nilai dan pengemban otoritas moral.
Kritik terhadap pendekatan ini muncul karena ia cenderung mengesampingkan proses deliberatif, menggantinya dengan tindakan langsung yang mengesankan ketegasan dan efisiensi. Namun sebagaimana dikemukakan Nadia Urbinati dalam Democracy Disfigured (2014), populisme sering kali menekan proses demokratis dan menggantinya dengan logika penyelamatan instan bahkan dalam urusan moral.
Dalam kebijakan ini, barak difungsikan bukan sekadar sebagai tempat belajar, tetapi simbol dari keteraturan yang hilang. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977), di mana institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan barak militer menjadi mekanisme untuk mendisiplinkan tubuh dan pikiran.
Namun pendekatan ini problematik ketika digunakan terhadap anak-anak. Alih-alih membentuk karakter secara reflektif, barak cenderung memproduksi ketaatan melalui latihan fisik, simbol, dan otoritas tunggal.
Dalam kerangka pendidikan kritis Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (2005), hal ini disebut sebagai pendidikan gaya bank, di mana peserta didik dianggap pasif dan harus menerima nilai dari luar tanpa proses dialog.
KDM mungkin bermaksud menanamkan nilai seperti tanggung jawab, hormat, dan kedisiplinan yang sejalan dengan gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character (1991). Namun perbedaannya terletak pada metode.
Lickona menekankan bahwa pendidikan karakter harus dibangun melalui penguatan relasi empatik dan partisipatif, bukan semata melalui pelatihan keras atau pemaksaan.
Kebijakan ini juga perlu dibaca sebagai respons terhadap keresahan sosial masyarakat. Ketika publik merasakan krisis otoritas—baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat—maka muncul kerinduan terhadap simbol ketertiban. Politik membaca itu. KDM menawarkan “solusi cepat” yang bukan hanya fungsional tetapi juga simbolik: disiplin melalui barak.
Ernesto Laclau dalam On Populist Reason (2005) menyebut populisme sebagai strategi diskursif yang mengartikulasikan ketegangan masyarakat ke dalam figur atau kebijakan yang terlihat konkret.
Dalam hal ini, barak bukan hanya kebijakan tetapi menjadi representasi dari tatanan yang dirindukan. Simbol tegas, cepat, dan “non-debatable”.
Namun simbol tidak selalu menyelesaikan substansi. Kekhawatiran muncul ketika kebijakan barak justru menjadi legitimasi untuk menormalisasi kegagalan sistem pendidikan.
Alih-alih memperbaiki sekolah atau memperkuat peran guru dan psikolog, barak tampil sebagai solusi tunggal. Jika ini dibiarkan, maka peran pendidikan sebagai ruang transformasi nilai akan tergantikan oleh mekanisme koreksi berbasis kekuatan.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah KDM terlalu militeristik, ataukah ini bentuk protes simbolik terhadap sistem pendidikan yang gagal?
Seperti yang ditulis oleh Peter Mayo dalam Liberating Praxis: Paulo Freire’s Legacy (2004), ketika sistem pendidikan gagal mengangkat martabat manusia, maka rakyat atau pemimpin lokal akan mencari bentuk pembelajaran alternatif. Dalam hal ini, barak bisa dibaca sebagai reaksi terhadap sistem yang tidak efektif, bukan sekadar kecenderungan ideologis.
Namun kritik harus diarahkan pada cara kita memahami pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal hasil anak menjadi patuh atau tertib tetapi juga proses apakah nilai-nilai itu tumbuh dari pemahaman atau rasa takut? Apakah disiplin dibangun dari internalisasi atau sekadar respons terhadap tekanan?
Program barak, dalam segala pro dan kontranya adalah cermin dari kegelisahan publik sekaligus kekosongan sistemik. Ia menyimpan potensi sebagai metode experiential learning jika didesain dengan prinsip pedagogis dan didampingi profesional. Namun jika tidak, ia bisa menjadi arena militerisasi sipil dan pelanggaran hak anak.
Sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO dalam Learning: The Treasure Within (1996), pendidikan yang ideal harus mengembangkan empat pilar: learning to know, to do, to live together, and to be. Barak, jika dijalankan tanpa kurikulum yang jelas, refleksi kritis, dan pendampingan psikologis, justru bertentangan dengan keempat prinsip tersebut.
Oleh karena itu, publik perlu keluar dari dikotomi setuju atau tidak setuju. Yang lebih penting adalah mengajukan pertanyaan kritis, siapa mendampingi? apa kurikulumnya? apa indikator keberhasilannya? dan bagaimana dampaknya dalam jangka panjang terhadap psikologi dan masa depan anak?
Barak bisa menjadi momentum refleksi, tapi tidak boleh menjadi jalan pintas. Pendidikan harus tetap menjadi ruang yang membebaskan, bukan menundukkan.
***
*) Oleh : Muhammad Rafi Fadilah, Mahasiswa S2 Fisipol Universitas Gadjah Mada.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.