Harapan Baru Indonesia di Hari Lingkungan Hidup Sedunia
Kuntoro Boga Andri June 07, 2025 07:20 PM
Setiap tahun, 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day). Bukan sekadar seremoni, momen ini menjadi pengingat bahwa bumi sedang dalam kondisi genting dan butuh aksi nyata dari semua pihak. Di tengah ancaman krisis iklim global, degradasi lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati, sektor perkebunan Indonesia memegang peran strategis, dimana kegiatan sektor ini bukan hanya sebagai motor ekonomi, tetapi juga sebagai penentu arah masa depan lingkungan.
Sebagai produsen utama berbagai komoditas dunia, dari kelapa sawit, karet, kakao, hingga kopi, Indonesia memikul tanggung jawab besar. Sayangnya, sejarah panjang ekspansi perkebunan tidak lepas dari bayang-bayang deforestasi dan kerusakan ekosistem. Studi menunjukkan bahwa sekitar 57% deforestasi di Indonesia disebabkan oleh pembukaan lahan sawit, sementara 20% berasal dari industri pulp dan kertas. Meskipun ekspansi lahan sawit kini mulai melambat, dampak akumulatifnya tetap nyata, berupa hilangnya tutupan hutan, rusaknya gambut, dan melebarnya jejak karbon.
Tantangan ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2023, yang menyebut kenaikan suhu global telah mencapai 1,1°C dibandingkan era pra-industri. Tanpa langkah mitigasi yang serius, suhu bumi bisa melonjak hingga 2,8°C pada 2100, melampaui ambang batas aman 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Indonesia termasuk negara yang paling rentan terhadap dampaknya. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan meningkat signifikan dan berdampak langsung pada wilayah perkebunan dan masyarakat sekitar.
Membangun Ulang dengan Agroforestri
Namun, sektor perkebunan juga bisa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penyumbang masalah. Kuncinya adalah perubahan paradigma dari pendekatan eksploitatif menuju pengelolaan berbasis keberlanjutan, salah satunya melalui agroforestri. Agroforestri merupakan sistem budidaya yang menggabungkan tanaman komoditas dengan pepohonan dan vegetasi lain dalam satu lahan. Contohnya, menanam kopi di bawah pohon mahoni, atau menyelingi kebun sawit dengan tanaman tumpang sari seperti durian, petai, atau tanaman buah lokal lainnya.
Keunggulan agroforestri terletak pada manfaat ganda yang dihasilkannya. Dari sisi ekologi, kehadiran pohon-pohon keras memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya serap air, menstabilkan iklim mikro, dan menyerap karbon lebih besar. Dari sisi ekonomi, petani mendapatkan pendapatan tambahan dari hasil pohon naungan, seperti kayu, buah, dan hasil tanaman lainnya, sekaligus memperkuat ketahanan mereka terhadap fluktuasi harga satu komoditas.
Contoh konkret keberhasilan agroforestri dapat ditemukan di Desa Kayupuring, Jawa Tengah, di mana ratusan petani kopi mengelola lahan dengan pendekatan kopi-hutan menggunakan pohon asli lokal seperti jati dan kruing. Hasilnya bukan hanya peningkatan mutu dan harga jual kopi, tetapi juga pelestarian kawasan hutan Petungkriyono dan perlindungan habitat satwa liar seperti owa Jawa. Merek lokal seperti Owa Coffee menjadi simbol keberhasilan model perkebunan hijau berbasis komunitas.
Perbesar
Edukasi lingkungan dan regenerasi petani muda (Foto: Dokpri)
Momentum Hari Lingkungan
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia seharusnya menjadi momentum strategis untuk menata ulang masa depan sektor perkebunan di Indonesia. Transformasi ini membutuhkan keterlibatan multipihak, terutama pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk membangun lanskap produksi yang ramah lingkungan. Agroforestri hanyalah salah satu pendekatan dalam spektrum luas yang dikenal sebagai nature-based solutions (NBS).
NBS mencakup berbagai upaya restorasi ekosistem, seperti rehabilitasi lahan gambut, penanaman mangrove di kawasan pesisir, serta penguatan hutan adat dan desa. Dalam konteks iklim, NBS menawarkan triple wins: menyerap karbon, menjaga keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Diperkirakan, Indonesia menyimpan 15% potensi global NBS, menjadikan negeri ini kunci penting dalam agenda pemulihan lingkungan dunia.
Oleh karena itu, kebijakan dan insentif yang mendukung agroforestri dan perkebunan hijau perlu diperluas. Misalnya, pemberian akses lahan melalui skema hutan kemasyarakatan (HKm), bantuan teknis, pelatihan agroekologi, hingga akses pembiayaan berbunga rendah bagi petani yang menerapkan praktik berkelanjutan. Insentif fiskal dan kredit hijau menjadi alat yang efektif untuk mendorong perubahan di lapangan.
Sertifikasi, Rantai Pasok, dan Tanggung Jawab Bersama
Transformasi sektor perkebunan tidak akan berhasil tanpa tata kelola yang transparan dan akuntabel. Standar seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) merupakan langkah awal penting untuk memastikan bahwa produk perkebunan Indonesia berasal dari proses yang tidak merusak lingkungan dan menghormati hak masyarakat lokal. Namun, pelaksanaan sertifikasi di tingkat tapak masih menghadapi tantangan seperti minimnya pengawasan, ketimpangan informasi, dan belum meratanya akses petani terhadap skema ini.
Selain itu, transparansi rantai pasok menjadi tuntutan pasar global. Konsumen di Eropa dan Amerika kini menuntut produk yang bebas deforestasi, berjejak lingkungan rendah, dan memiliki nilai sosial yang kuat. Ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi industri perkebunan nasional. Program sertifikasi berjenjang, sistem rotasi kebun, dan kolaborasi koperasi-swasta menjadi contoh praktik baik yang dapat diperluas. Beberapa koperasi sawit rakyat di Sumatera bahkan mulai menerapkan agroforestri sawit-durian dengan dukungan pupuk kompos, sebagai bentuk pertanian regeneratif.
Tak hanya sektor publik, swasta juga punya peran besar. Perusahaan besar di bidang sawit dan pulp kini mulai mengintegrasikan kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan petak gambut berkelanjutan, serta pelepasliaran satwa liar di kawasan konsesi restoratif. Ini adalah langkah awal menuju model bisnis hijau yang bertanggung jawab.
Dari Perkebunan Eksploitatif ke Lanskap Berkelanjutan
Indonesia tidak kekurangan regulasi dan komitmen. Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) menargetkan penurunan emisi 29–41% pada 2030, sementara strategi FOLU Net Sink 2030 menjadi tonggak untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Namun, implementasi di tingkat lapangan masih lemah. Diperlukan penguatan pengawasan, penegakan hukum, dan pemberdayaan petani agar prinsip keberlanjutan benar-benar dijalankan.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia harus dimaknai sebagai awal perubahan sistemik. Sektor perkebunan, yang selama ini dikenal dengan intensitas tekanan ekologisnya, justru dapat menjadi pionir restorasi lanskap. Jika didukung dengan kemauan politik, insentif kebijakan, inovasi teknologi, dan partisipasi aktif masyarakat, maka transformasi menuju perkebunan hijau bukan lagi sekadar wacana.
Kita perlu menggeser narasi dari perkebunan sebagai penggerus lingkungan, menjadi penggerak pemulihan ekosistem. Dengan menanam kembali harapan melalui pohon-pohon agroforestri, membangun rantai nilai yang adil, serta memulihkan hubungan antara manusia dan alam, maka masa depan yang hijau bukanlah utopia. Ia adalah hasil dari keputusan yang tepat, dimulai dari sekarang.
Mari kita jadikan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini sebagai momentum untuk memulai dari akar, menanam perubahan, dan menuai keberlanjutan.