TIMESINDONESIA, WONOGIRI – Hari-hari besar keagamaan seringkali menjadi momen reflektif bagi masyarakat. Di antaranya, Iduladha atau Hari Raya Kurban menyimpan pesan sosial dan ekonomi yang dalam. Di balik ritual penyembelihan hewan kurban, tersimpan semangat solidaritas, redistribusi, dan keberpihakan kepada yang lemah.
Namun, pertanyaannya: apakah nilai-nilai luhur ini hanya berhenti sebagai simbol tahunan, atau bisakah kita mengalihkannya menjadi landasan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak?
Dalam praktik kurban, terdapat prinsip keadilan distributif. Hewan yang disembelih oleh orang mampu, dagingnya dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Ini adalah bentuk nyata transfer kekayaan dari kelompok yang lebih kaya ke kelompok yang kurang beruntung.
Tidak hanya sebagai ibadah, kurban menyampaikan pesan bahwa keberlimpahan tidak boleh dinikmati sendiri, melainkan harus dibagikan. Bayangkan jika semangat ini dijadikan model dalam perumusan kebijakan ekonomi nasional.
Kebijakan fiskal, subsidi, hingga program jaminan sosial bisa disusun dengan filosofi serupa: bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk mengalirkan kesejahteraan dari pusat-pusat akumulasi modal ke pelosok-pelosok kebutuhan. Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, tetapi simbol pengorbanan, empati, dan keadilan dalam skala sosial.
Sayangnya, sistem ekonomi kita masih lebih sering berpihak kepada pemilik modal besar daripada masyarakat rentan. Akses terhadap lahan, modal usaha, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan belum merata.
Subsidi seringkali bocor ke kelompok yang tidak seharusnya, sementara masyarakat bawah tetap bergelut dengan harga kebutuhan pokok yang tinggi.
Di sinilah perlunya transformasi paradigma: dari simbolis menuju sistemik. Kurban sebagai praktik tahunan belum cukup jika tidak diiringi dengan kebijakan berkelanjutan yang memperjuangkan keadilan struktural.
Pemerintah harus berani merumuskan kebijakan redistributif yang lebih tajam—mulai dari reformasi perpajakan, anggaran yang pro-rakyat miskin, hingga intervensi terhadap ketimpangan digital dan ekonomi yang berpihak bukan berarti anti-pasar atau anti-investasi.
Sebaliknya, ekonomi yang berpihak berarti menciptakan ruang agar setiap warga negara, tanpa terkecuali, punya peluang yang adil untuk tumbuh. Dalam hal ini, pemerintah perlu memainkan perannya sebagai penyeimbang: menjembatani kepentingan pemodal dengan kebutuhan rakyat.
Contohnya, dukungan terhadap UMKM tidak bisa setengah hati. Harus ada keberpihakan nyata dalam bentuk akses pembiayaan yang mudah, pelatihan berkualitas, dan perlindungan terhadap persaingan yang tidak adil. Sektor informal, yang selama ini jadi penyerap tenaga kerja terbesar, juga perlu diangkat harkatnya melalui legalisasi dan perlindungan sosial.
Begitu pula dalam sektor pangan. Jika dalam kurban daging dibagikan agar semua merasakan kecukupan, dalam kebijakan pangan seharusnya negara memastikan distribusi bahan pokok yang adil, harga yang stabil, dan kedaulatan petani.
Kurban mengajarkan bahwa perut kenyang adalah hak, bukan kemewahan. Spirit kurban juga mengandung makna pengorbanan. Dalam konteks negara, ini bisa diartikan sebagai keberanian untuk mengambil kebijakan yang tidak populis, tetapi strategis dan berdampak jangka panjang.
Misalnya, menaikkan pajak untuk kelompok ultra-kaya, atau mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk daerah tertinggal. Ini bukan keputusan mudah secara politis, tetapi inilah wujud “kurban” dalam kebijakan publik demi tercapainya keadilan ekonomi yang lebih merata.
Dalam konteks global yang semakin kompetitif, negara yang mampu membangun ekonomi berpihak akan lebih stabil dan berkelanjutan. Ketimpangan ekstrem tidak hanya merugikan moralitas sosial, tetapi juga menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi.
Iduladha bisa menjadi titik tolak untuk membangun narasi baru tentang ekonomi Indonesia: ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga adil dan manusiawi. Dari kurban ke kebijakan, dari simbol ke sistem, kita ditantang untuk mentransformasikan nilai-nilai spiritual menjadi instrumen struktural.
Saatnya mengangkat semangat kurban ke dalam ruang-ruang kebijakan: agar keberpihakan bukan lagi sekadar jargon, melainkan kenyataan yang bisa dirasakan oleh setiap rakyat.
***
*) Oleh : Ruslina Dwi Wahyuni, S.Sos., M.A.P., CPM., Dosen Hukum Tata Negara STAI Mulia Astuti Wonogiri dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.