TIMESINDONESIA, MALANG – Di ujung timur Indonesia, Tampak laut membentang biru tak bertepi. Karang berwarna-warni hidup di dasar air sebening kristal. Ikan-ikan berenang bebas, berteman dengan hiu karpet dan pari manta.
Di sinilah Raja Ampat tempat di mana alam seperti belum mengenal luka. Tapi kini, luka itu sedang disiapkan, perlahan dan sistematis, dalam bentuk izin tambang nikel.
Respon Negara seakan tidak peduli terhadap alam dan menyebutnya bagian dari masa depan. Nikel adalah bahan penting untuk baterai dan kendaraan listrik, serta dianggap sebagai kunci transisi menuju energi hijau.
Tapi di balik nama besar "kemajuan", ada sesuatu yang sering diabaikan ialah mereka yang tinggal di tanah ini. Mereka yang hidupnya terikat dengan laut, hutan, dan batu karang. Mereka yang tidak pernah meminta perubahan sebesar ini.
Pulau Kawe adalah wilayah konservasi yang masuk dalam kawasan Raja Ampat yang akan ditambang. Hutan tropis akan dibabat, tanah akan dilubangi, dan sisa galian akan mengalir ke laut. Ikan-ikan bisa hilang. Karang bisa mati. Dan yang tersisa hanya cerita tentang sebuah surga yang pernah ada.
Sebenarnya masyarakat tidak menolak akan perkembangan teknologi. Atau bahkan percaya bahwa dunia memang harus bergerak menuju energi bersih. Tapi membersihkan dunia dengan mengorbankan surga? Apakah itu benar-benar bersih?
Kita terlalu sering melupakan bahwa nikel bukan tumbuh dari pohon. Ia diambil dari perut bumi dengan cara yang hampir selalu menyakiti alam. Di Sulawesi, Halmahera, dan Maluku, kita telah menyaksikan semuanya: lumpur masuk ke sungai, logam berat mencemari laut, dan masyarakat adat kehilangan tanah tempat mereka berdiri.
Dengan pola yang sama kini telah sampai ke Raja Ampat. Dan masyarakat adat Maya yang menjaga laut dan hutan selama ratusan tahun, kembali tidak dianggap.
Saya pernah menyaksikan perbincangan masyarakat suku Maya di media sosial. Yaitu Lelaki tua yang hidup dari hasil memancing dan menyelam, yang hafal letak setiap karang di sekitar pulau.
Ia tak paham soal kendaraan listrik, tapi ia tahu bahwa ketika air keruh dan ikan menghilang, hidup pun akan terancam ikut hilang. Dan ia berkata: "Kami tidak pernah minta tambang. Kami hanya minta jangan rusak laut ini”. Kalimat itu sederhana, tapi lebih jujur dari seribu halaman dokumen perizinan.
Mereka tidak ingin jadi korban dari revolusi yang tidak mereka mulai. Mereka tidak anti-kemajuan, tapi mereka paham betul bahwa tidak semua pembangunan adalah kemajuan.
Pemerintah menyebut tambang ini bagian dari strategi nasional. Tapi apa arti nasional jika masyarakat setempat tidak diikutsertakan, Apa artinya pembangunan jika yang dibangun hanya pabrik, tapi rumah-rumah warga roboh oleh debu dan limbah.
Hal ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang secara jelas menyebut bahwa pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian bukan untuk pertambangan.
Di banyak tempat, tambang selalu datang dengan janji: lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan tanggung jawab sosial. Tapi seringkali yang tinggal hanya jalan rusak, air keruh, dan luka sosial. Kita sudah terlalu sering melihatnya, dan terlalu sering melupakannya.
Raja Ampat bukan hanya soal keindahan alam. Ia adalah tempat di mana manusia dan alam hidup berdampingan, dalam cara yang sulit dijelaskan dengan angka ekonomi.
Masyarakat adat Maya punya sistem kearifan lokal yang menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka punya zona larangan tangkap, tradisi menanam pohon bakau, dan aturan adat yang lebih ketat dari undang-undang.
Jika negara mengaku ingin menjaga lingkungan, maka masyarakat adat seharusnya jadi sekutu pertama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: suara mereka dikecilkan, kadang diintimidasi, kadang diabaikan.
Sebagian bahkan merasa takut bersuara, khawatir dianggap melawan pembangunan. Ini bukan sekadar soal tambang. Ini soal cara kita melihat alam, cara kita memandang orang kecil, dan cara kita memaknai kemajuan.
Raja Ampat terlalu berharga untuk dipertaruhkan. Tidak hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia. Ini adalah salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di bumi.
Sekali rusak, tak ada teknologi yang bisa mengembalikannya. Tak ada cara “memindahkan” karang. Tak ada “restorasi” laut yang benar-benar berhasil bila tubuh bumi sudah dieksploitasi.
Saya ingin kita semua bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari tambang ini? Siapa yang mengantongi hasil, dan siapa yang akan hidup di atas tanah yang hancur? Apakah kita akan terus menukar kehidupan anak cucu demi investasi hari ini?
Pemerintah masih punya pilihan. Izin bisa dicabut. Konservasi bisa ditegakkan. Pilihan ada di tangan mereka yang duduk di kantor, tapi dampaknya akan dirasakan oleh mereka yang tinggal di kampung-kampung kecil, jauh dari pusat kekuasaan.
Kita tidak bisa bicara tentang energi bersih kalau proses mendapatkannya justru kotor. Kita tidak bisa mengklaim mencintai bumi jika yang kita korbankan adalah bagian terbaik dari bumi itu sendiri.
Raja Ampat tidak meminta banyak. Ia hanya ingin dibiarkan hidup. Ikan-ikan ingin tetap berenang, karang ingin tetap tumbuh, dan masyarakat ingin tetap memancing seperti biasa. Itu saja. Dan itu seharusnya cukup.
Pemerintah pusat, dalam segala retorikanya tentang “ekonomi hijau”, tampak lupa bahwa tidak ada masa depan hijau yang dibangun di atas puing-puing ekosistem yang hancur.
Mengizinkan tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap komitmen lingkungan, tapi juga pengabaian terang-terangan terhadap nalar sehat dan nurani publik.
Apa gunanya berkoar soal keberlanjutan di forum-forum internasional, jika di rumah sendiri, surga alam seperti Raja Ampat dijadikan korban pertama dari ambisi tambang?
Apakah Indonesia sedang membangun peradaban yang berpihak pada kehidupan, atau sekadar mempercepat keruntuhannya atas nama pertumbuhan?
Jika negara terus mendahulukan investor dibanding warga, mengabaikan ilmu pengetahuan demi angka-angka jangka pendek, dan menindas suara-suara adat dengan dalih pembangunan maka negeri ini bukan sedang menuju masa depan, melainkan sedang menggali liang kuburnya sendiri.
Raja Ampat bukan proyek. Ia adalah warisan. Dan sejarah akan mencatat siapa yang menjaga, dan siapa yang menjualnya.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penggiat Lingkungan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.