Sejak penghujung tahun 2024 hingga sekarang, dunia anak digemparkan dengan munculnya berbagai fenomena aneh atau anomali digital yang tiba-tiba digemari anak-anak, khususnya pada usia sepuluh tahun ke bawah. Mulai dari tontonan animasi visual yang aneh, permainan online dengan suara berulang, hingga tren konten viral yang tidak memiliki konten edukatif, semuanya menyebar cepat dan menarik banyak perhatian anak-anak usia dini.
Di balik populernya fenomena tersebut, para ahli mulai mengkhawatirkan dampaknya terhadap perkembangan otak anak, terutama yang disebut dengan istilah “brain root disruption.” Istilah “brain root” merujuk pada bagian dasar dari sistem saraf pusat yang berperan dalam regulasi emosi, fokus, dan perilaku. Paparan berlebihan terhadap konten yang bersifat anomali, dalam arti tidak wajar atau tidak sesuai dengan tahap perkembangan, dikhawatirkan dapat mengganggu proses pembentukan struktur berpikir anak, di mana kemampuan kognitif pada anak menurun, seperti berkonsentrasi, mengingat, atau berpikir kritis, akibat paparan berlebihan terhadap konten digital yang tidak bermutu atau dangkal.
Perbesar
Contoh nyata adalah tren tontonan anak-anak di platform digital seperti di YouTube dan TikTok, yang menampilkan karakter dengan suara dan bentuk yang aneh, disertai gerakan hiperaktif dengan cerita tanpa alur yang jelas. Walaupun kelihatannya menghibur, beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap konten semacam ini bisa menyebabkan penurunan daya konsentrasi serta gangguan tidur dan perilaku.
Beberapa orang tua mulai menyadari perubahan perilaku pada anak mereka karena tontonan seperti ini. Salah satu orang tua, Cita (28), juga menyampaikan pengalamannya saat diwawancarai oleh salah satu mahasiswa, Arum (24):
“Awalnya saya kira itu cuma tontonan lucu-lucuan saja. Tapi makin ke sini, tingkah anak saya mulai berubah jadi lebih aneh dan mudah terdistraksi, terutama kalau mendengar suara-suara seperti Tung Tung Sahur, Ballerina Capuchina, dan lainnya. Saya sendiri awalnya tidak tahu apa itu, justru malah diberi tahu oleh anak saya. Setelah saya cari tahu, saya kaget karena visualnya menurut saya tidak masuk akal dan berpotensi merusak cara berpikir anak. Sejak saat itu, saya mulai sangat memperhatikan apa saja yang ditontonnya. Saya juga memberi edukasi pelan-pelan bahwa tontonan seperti itu bukanlah kenyataan dan tidak baik untuk dikonsumsi secara terus-menerus.”
Fenomena ini seolah menjadi “racun halus” yang sulit dikenali, karena datang dalam kemasan lucu dan menghibur. Namun, di balik layar, terjadi stimulasi berlebihan pada bagian otak tertentu yang belum siap menerima rangsangan ekstrem pada anak.
Penting bagi orang tua dan pendidik untuk lebih selektif dalam memilihkan tontonan dan aktivitas anak. Pendampingan yang bijak, pembatasan waktu layar, serta pengenalan pada aktivitas fisik dan sosial yang sehat menjadi kunci untuk mencegah dampak negatif dari fenomena ini.