Sayyidah Hajar: Perempuan yang Mengubah Pengabaian Menjadi Warisan
Raden Siska Marini June 08, 2025 06:20 PM
Setiap Iduladha tiba, perhatian kita nyaris selalu tertuju pada sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail—dua tokoh utama dalam kisah pengorbanan agung yang mewarnai sejarah keimanan. Namun ada satu nama yang kerap hanya disebut selintas, padahal jejaknya begitu dalam dan menentukan: Sayyidah Hajar.
Ia bukan sekadar ibu dari Ismail. Ia adalah fondasi spiritual yang menjadi titik tolak ritual sa’i dalam ibadah haji. Ia adalah narasi awal tentang keberanian seorang perempuan yang ditinggalkan di tengah padang gersang, namun memilih untuk tidak menyerah pada sunyi.
Hajar bukan hanya ibu. Ia adalah gerakan. She was not just a mother. She was the movement. Ia menjadikan keterbatasan sebagai lompatan, dan pengabaian sebagai warisan.
Dari Padang Gersang ke Ritus Suci
Bayangkan: seorang perempuan yang baru saja menjadi ibu, ditinggalkan oleh suaminya—bukan karena tidak cinta, melainkan karena menjalankan perintah Tuhan. Di hadapannya, hanya hamparan tanah kering dan langit tanpa bayangan. Tak ada logistik, tak ada jaminan keselamatan, bahkan tak ada janji untuk kembali.
Namun Hajar tidak bertanya mengapa. Ia tidak mengeluh. Ia berlari. Dari bukit Shafa ke Marwah, lalu kembali, hingga tujuh kali. Sebuah langkah yang lahir dari keputusasaan, tetapi disambut dengan kemuliaan. Allah mengabadikan geraknya menjadi bagian dari ibadah umat Islam sepanjang masa.
Tanpa langkahnya yang penuh harap di tengah ketidakpastian, tidak akan ada zamzam yang menyegarkan. Tidak akan ada syariat sa’i. Dan mungkin kita tidak akan pernah memahami makna pengorbanan yang sebenarnya—yang tidak selalu bersimbah darah, tetapi cukup berisi air mata dan kepercayaan yang teguh.
Hajar-Hajar Masa Kini
Apa yang dilakukan Hajar tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan banyak perempuan hari ini. Berjuang dalam keterbatasan. Bertahan di tengah sistem yang tidak ramah. Menjadi tiang keluarga, sekaligus mesin keberlanjutan peradaban. Dari lorong rumah tangga hingga ruang publik, perempuan tetap melangkah, bahkan saat dunia enggan menoleh.
Banyak perempuan hari ini adalah Hajar: berjalan sendiri, tapi menyalakan obor untuk banyak orang. Ia bisa jadi ibu rumah tangga, aktivis, buruh migran, dosen, atau pelajar. Mereka adalah perempuan-perempuan yang, meski tak selalu disambut panggung dan pujian, terus memberi hidup pada banyak hal yang tak kasat mata.
Sayangnya, sebagaimana dalam sejarah, narasi perempuan kerap ditempatkan di pinggir. Namanya disebut, tapi jarang dimuliakan setara. Padahal Hajar tidak sedang melengkapi kisah Ibrahim dan Ismail; ia justru lebih dulu menguji keimanan dengan tubuh dan jiwanya. Ia berdiri bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai fondasi.
Iman yang Bertindak, Bukan Hanya Pasrah
Yang membedakan Hajar adalah: ia tidak sekadar patuh. Ia bertindak. Ketika ditinggal, ia tidak diam. Ia mencari. Ia berusaha. Dalam dirinya, iman tidak diam di langit. Iman turun ke bumi dalam bentuk langkah kaki yang berdebu dan napas yang terengah. Inilah yang menjadikan kisahnya relevan sepanjang zaman.
Spirit Hajar adalah semangat iman yang tidak pasif, tetapi aktif. Inilah bentuk keberagamaan yang tidak menunggu mukjizat, tapi bergerak dalam harap. Tidak menuntut, tapi terus mencari. Dan perempuan hari ini pun memerlukan ruang yang memungkinkan spiritualitasnya tumbuh seperti itu: tidak ditahan dalam batas domestik, tapi diberi tempat di pusat pengambilan keputusan, termasuk dalam tafsir dan arah pembangunan.
Refleksi Iduladha: Mengakui Peran, Memberi Ruang
Iduladha bukan hanya tentang menyembelih hewan kurban, tetapi juga menyembelih ego dan cara pandang lama yang masih menempatkan perempuan sebagai figur pelengkap. Kisah Hajar mengajarkan bahwa perempuan punya peran utama dalam sejarah agama. Maka sudah seharusnya, perempuan juga memiliki ruang utama dalam sejarah sosial hari ini.
Untuk setiap Hajar yang terus berlari dalam diam, yang terus mencari jalan di tengah ragu, kami ingin berkata: kami melihatmu. Kami mendengarmu. Kami mengakui jejakmu sebagai warisan. Karena dari keberanianmu, kita semua bisa bertahan.
Selamat Iduladha 1446 H.
Semoga semangat pengorbanan dan keikhlasan Sayyidah Hajar selalu menyertai langkah perempuan di mana pun berada. Dari langkahmu, peradaban bermula. Dari keteguhanmu, iman menemukan bentuknya yang paling nyata.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.