Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID - “ISTRI saya sudah berangkat haji, tetapi saya tidak bisa,” katanya. Dia adalah seorang pengusaha kaya yang sudah tua. Bukan hanya umrah, haji pun dia sudah berkali-kali. Tahun ini, dia dan istri kembali ingin berhaji melalui jalur khusus yang disebut “furoda”. “Berapa biaya furoda itu, Pak?” tanyaku penasaran. “Antara Rp 400 juta hingga Rp 900 juta,” katanya. Mendengar kabar bahwa visa furoda tahun ini tidak dikeluarkan pemerintah Saudi, dia pasrah. Banyak calon haji furoda lain yang senasib dengannya. Dia masih bersyukur bahwa istrinya berhasil melalui “jalan lain”, entah apa itu.
Jalur furoda memang istimewa. Tak seperti haji jalur pemerintah yang harus antre bertahun-tahun, jalur ini cepat, langsung berangkat. Namun, ada barang, ada harga. Barang bagus, harganya mahal. Karena itu wajar jika ada sebagian orang cemburu. Haji yang seharusnya mencerminkan kesetaraan manusia, justru memamerkan perbedaan dan kesenjangan. Perhatikanlah ocehan warganet saat berita kegagalan visa furoda beredar. “Itulah bukti, haji tidak ditentukan oleh uang, tapi atas izin Allah. Orang kaya, jangan sombong. Tak semua hal di dunia ini bisa kau beli,” katanya.
Dalam bahasa Arab, furada artinya sendiri-sendiri, satu-satu, seorang-seorang. Dalam Al-Qur’an, kata ini hanya disebutkan dua kali. Pertama: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanya ingin menasihatimu tentang satu hal, yaitu agar kamu berdiri karena Allah, baik berdua-berdua ataupun sendiri-sendiri, kemudian memikirkan (perihal Muhammad). Kawanmu itu tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu bahwa di hadapanmu ada siksa yang keras” (QS 34: 46). “Kamu” di ayat ini merujuk kepada manusia sebagai pribadi (sendiri) dan kelompok (berdua).
Jika ayat di atas tentang kejadian di dunia ini, maka ayat kedua tentang furada menggambarkan kehidupan di akhirat. Allah berfirman: “Kini kamu benar-benar datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami ciptakan kamu kali pertama. Kamu telah meninggalkan di belakangmu apa yang telah Kami karuniakan kepadamu. Kami tidak melihat bersamamu para penolong yang kamu sangka adalah sekutu-sekutu. Sungguh telah terputus (semua hubungan) di antara kamu, dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu sangka (sebagai sekutu Allah)” (QS 6:94).
Ayat yang kedua di atas menunjukkan bahwa kelak setelah mati, kita akan menghadap Allah furada, sendiri-sendiri, seorang-seorang, untuk mempertanggungjawabkan pilihan moral, sikap dan tindakan kita selama di dunia. Semua karunia Allah selama kita hidup di dunia seperti harta, keluarga, teman-teman, jabatan dan kekuasaan, semua tak bisa membantu kita. Kita datang sendiri-sendiri tanpa apa-apa, mirip seperti kita mula-mula lahir ke dunia, telanjang tanpa busana. Yang kita bawa hanya amal perbuatan kita, yang akan menentukan nasib kita, bahagia atau derita, surga atau neraka.
Pemikir Iran modern, Murtadha Mutahhari, menjelaskan bahwa salah satu perbedaan kehidupan dunia dan akhirat adalah, di dunia ini hidup manusia lebih bersifat sosial, kelompok atau kolektif, sedangkan di akhirat sebaliknya, sendiri-sendiri, individual. Dalam hidup di dunia ini, manusia saling memengaruhi satu sama lain. Perbuatan baik atau buruk seseorang akan berpengaruh pada kehidupan bersama. Orang-orang jahat mendapatkan keuntungan dari kebaikan orang-orang baik, dan sebaliknya, orang-orang baik akan menerima akibat buruk dari kejahatan orang-orang jahat.
Karena itu, dalam kehidupan dunia, setiap orang wajib bertanggung jawab atas kehidupan bersama. Hal ini sama dengan para penumpang yang naik perahu. Jika salah seorang penumpang melubangi perahu itu, maka yang lain wajib menegur. Jika tidak, maka semuanya akan tenggelam. Jika semua orang diam melihat satu kezaliman, maka mereka semua akan menerima akibatnya. Nabi bersabda, “Siapa di antara kamu menyaksikan kejahatan, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa, dengan lidahnya. Jika tidak bisa, dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman".
Sebaliknya, di akhirat kelak, kita hidup sendiri-sendiri dalam arti mewujud sebagai pribadi-pribadi sesuai dengan perbuatan kita di dunia, apa adanya. Kita tak lagi memengaruhi dan dipengaruhi oleh keluarga, teman, pemimpin, atau siapa pun. Dalam istilah filsafat, kehidupan akhirat itu adalah kondisi aktual murni. Tak ada lagi yang tersembunyi sebagai potensi. Ini berbeda dengan kehidupan dunia yang bercampur antara potensi dan aktualitas. Sebagian akibat perbuatan baik dan buruk dapat kita saksikan di dunia ini, sebagian lagi tidak. Di akhirat, semuanya nyata dan aktual.
Dengan demikian, furada yang hakiki hanya ada di akhirat. Di dunia ini, manusia tak bisa hidup sendirian. Manusia secara alamiah adalah makhluk sosial. Hanya saja, dia terlena dengan ilusi yang diciptakannya sendiri. Ilusi itu antara lain mengatakan bahwa sebagai pribadi, manusia itu bebas. Padahal, kebebasannya itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Ilusi lainnya adalah pandangan bahwa persaingan, kalah mengalahkan, adalah keniscayaan. Padahal, manusia tak bisa bahagia tanpa kerja sama. Bahkan tak bisa menang tanpa ada yang dikalahkan.
Dalam kaitan itulah, kita bisa memahami, mengapa Nabi mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Di dunia ini, yang paling bermanfaat adalah yang paling mendatangkan kebaikan, dan kebaikan adalah kebahagiaan. Nabi tak pernah bilang, sebaik-baik manusia adalah yang selalu menang, mengalahkan orang lain, paling unggul, dan hebat sendiri. Manusia seharusnya mengutamakan kolaborasi, bukan kompetisi. Kompetisi hanya bermakna jika bertujuan untuk membangun kebaikan bersama, bukan menghinakan sesama.
Saya menduga, kebijakan pemerintah Arab Saudi tidak mengeluarkan visa furoda tahun ini bukan untuk kepentingan orang perorang, melainkan untuk kepentingan bersama, jemaah haji sedunia! (*)