Biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama setiap orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya. Pertimbangan tersebut bahkan dimulai sejak sekolah tingkat dasar. Berkat orang tua yang percaya bahwa pendidikan adalah pintu kebaikan dan kesuksesan anak di masa depan, biaya pendidikan yang mahal tetap dilaluinya, walaupun kadang berhutang demi biaya pendidikan anak. Ketika kondisi ekonomi orang tua sulit, anak-anak biasa menjadi korban dan kemudian putus sekolah.
Tahun ajaran 2024/2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat angka putus sekolah jenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 38.540 siswa (0,16%), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 12.210 siswa (0,12%), Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 6.716 siswa (0,13%), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 9.391 siswa (0,19%). Data anak putus sekolah jika dilacak ternyata terjadi di setiap tahun ajaran, alasan berhenti sangat beragam, tapi faktor kondisi ekonomi selalu menjadi alasan utama.
Pertanyaannya, di mana peran pemerintah untuk biaya pendidikan gratis atau cuma-cuma yang selama ini dikampanyekan? Secara normatif, negara telah memiliki UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pada Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar minimal pada pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Merujuk pada jaminan normatif di atas, pemerintah telah memiliki landasan hukum untuk alokasi anggaran agar akses pendidikan dapat tidak dipungut biaya, gratis atau cuma-cuma minimal pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan dasar sendiri Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Lewat regulasi ini, tidak ada alasan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk merumuskan program aksi beserta anggarannya agar sekolah pendidikan dasar dapat digratiskan dan berdampak pada tiadanya anak putus sekolah karena kondisi ekonomi.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Selama ini, pemerintah bisa dikatakan telah melakukan langkah-langkah berupa perumusan program dan anggaran untuk mendukung mandat Undang-Undang terkait pendidikan gratis lewat APBN dan APBD yang tersedia. Namun demikian, program dan anggaran tersebut masih tersentralisasi di lembaga pendidikan yang dijalankan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sedangkan anak-anak didik yang sekolah di lembaga swasta atau yang dikelola oleh masyarakat tidak mendapatkan sentuhan anggaran.
Akibatnya memang cukup serius. Anak-anak yang sekolah di lembaga swasta, khususnya dalam hal ini di jenjang pendidikan dasar (SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat) biayanya sangat mahal. Sedangkan biaya sekolah yang dikelola Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah relatif terjangkau, dan bahkan di beberapa daerah sudah berhasil pada level gratis. Kondisi ini memperlihatkan ketidakadilan, apalagi kuota di sekolah negeri kerap penuh, jauh dari tempat tinggal, dan memaksa anak didik mendaftar di sekolah swasta yang biayanya sangat mahal.
Situasi perlakuan yang tidak adil kepada sekolah swasta yang kering dari bantuan dana negara dan berakibat pada anak didik yang putus sekolah, mendorong Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Network Education Watch Indonesia) dan 3 (tiga) pemohon atas Fathiyah, Novianisa, dan Riris Risma Ajiningrum melaukan uji meteri Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemohon mempermasalahkan frasa "wajib belajar minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya". Menurut para pemohon, pasal terkait pendidikan gratis di jenjang pendidikan dasar tersebut tidak hanya berlaku untuk siswa di sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta yang dikelola oleh masyarakat.
Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat". Putusan ini menegaskan bahwa biaya untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat) harus bebas pungutan atau gratis.
Pemenuhan Bertahap
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding) setelah putusan dibacakan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Artinya, pemerintah harus tunduk pada putusan tersebut dan berkewajiban memperbaiki tata kelola program dan anggaran pada jenjang pendidikan dasar yang selama ini hanya difokuskan untuk sekolah negeri. Anak yang sekolah di lembaga swasta juga berhak untuk program pendidikan gratis dari pemerintah, baik pemerintahan tingkat pusat ataupun daerah
Pendidikan gratis jenjang pendidikan dasar yang diperluas untuk sekolah swasta tentu akan membutuhkan anggaran yang cukup besar, tetapi secara konsepsi kebijakan, pemenuhan hak pendidikan ini setidaknya bersandar pada 3 (tiga) dasar, pertama, kewajiban pemerintah untuk mengambi langkah-langkah (undertakes to take steps). Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan langkah dan upaya untuk pemenuhan pendidikan gratis, seperti mulai dari memperbaiki aturan, mempersiapkan program dan anggaran, serta memastikan dampak terhadap biaya pendidikan anak. Kedua, memaksimal sumber daya negara yang tersedia (to the maximum of tis available resources). Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan alokasi anggaran yang maksimal untuk biaya pendidikan anak didik sehingga tidak mahal dan bahkan bisa gratis. Ketiga, mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak (to achieving progressively the full realization of the rights). Dalam hal ini, pemenuhan pendidikan gratis memang mempertimbangkan ketersediaan anggaran sampai pada akhirnya biaya pendidikan dapat gratis sepenuhnya. Ketiga konsep ini merujuk pada kesepakatan hukum internasional yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang Indonesia ratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.
Pemenuhan hak pendidikan gratis bagi anak didik di jenjang pendidikan dasar, baik sekolah negeri atau swasta sudah selayaknya dilakukan. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah yang terukur dengan melakukan harmonisasi aturan, pendiskusian program, serta alokasi ketersediaan anggaran APBN dan APBD agar pendidikan gratis secepatnya dapat terpenuhi di semua sekolah. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penegas bahwa pemerintah wajib hadir di tengah persoalan biaya pendidikan yang semakin tak terjangkau.
M Syafi'ie, Dosen Fakultas Hukum UII, Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII