Dosen FH UWG Malang Tandatangani Petisi APHA Indonesia Menolak Tambang Nikel di Raja Ampat
GH News June 10, 2025 02:05 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Dosen Pengajar Hukum Adat dari Fakultas Hukum Universitas Widya Gama/ FH UWG Malang Dr. Purnawan Dwikora Negara, S.H., M.H., turut serta dalam gerakan nasional akademisi hukum adat untuk menyuarakan penghentian permanen aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Petisi tersebut ditandatangani bersama 20 dosen lainnya dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dalam pertemuan yang digelar di Jakarta, Senin (9/6/2025).

Petisi ini merupakan inisiatif dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia yang diketuai oleh Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., dengan Sekretaris Jenderal Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H. dari Universitas Trunojoyo Madura. Dalam siaran langsung yang disampaikan Senin malam, Prof. Dr. Dominicus Rato dari Universitas Jember dan Dr. Rina Yulianti menyatakan sikap tegas APHA untuk mendesak pemerintah menghentikan seluruh aktivitas tambang nikel yang dinilai bertentangan dengan hukum dan mengancam ekosistem serta hak-hak masyarakat adat di Raja Ampat.

Raja Ampat: Kawasan Sakral yang Terancam

Raja Ampat dikenal sebagai kawasan dengan nilai ekologis, spiritual, dan kultural tinggi, yang menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark. Wilayah ini juga menyumbang hingga Rp150 miliar per tahun terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor pariwisata, menurut Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2024. Sayangnya, aktivitas tambang nikel yang dilakukan di kawasan tersebut mengancam keberlanjutan lingkungan dan mata pencaharian masyarakat adat, yang bergantung pada pariwisata dan perikanan.

Menurut Dr. Purnawan, pulau Gag, meskipun berjarak 40 kilometer dari pulau utama Raja Ampat, tetap masuk dalam kategori kawasan lindung karena ukuran dan statusnya sebagai pulau kecil. “Lingkungan hidup tidak mengenal batas administrasi. Apa yang terjadi di satu titik bisa berdampak pada seluruh ekosistem,” ujar Purnawan.

Ia menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi rezim baru untuk tetap mempertahankan izin tambang yang dikeluarkan oleh rezim sebelumnya, karena izin tersebut bertentangan dengan prinsip ekologi, sosial, dan budaya masyarakat adat.

FH-UWG.jpg

Pelanggaran Hukum dan Hak Asasi

Petisi yang diteken para akademisi hukum adat ini mengungkap sejumlah pelanggaran hukum yang dilakukan dalam praktik tambang nikel di Raja Ampat. Di antaranya adalah:

  • Operasi tanpa izin penggunaan kawasan hutan (PPKH)

  • Penambangan di luar izin lingkungan

  • Pelanggaran terhadap UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 terkait larangan pertambangan di pulau kecil

  • Tidak adanya persetujuan masyarakat adat (melanggar prinsip FPIC)

  • Kerusakan lingkungan yang termasuk kategori serious and irreversible threat

  • Pelanggaran terhadap Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan MK No. 35/PUU-XXI/2023

Petisi juga menyebut bahwa aktivitas tambang tersebut mencederai berbagai regulasi nasional dan internasional, termasuk UUD 1945, UU HAM, UU Desa, Paris Agreement, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), Konvensi ILO No. 169, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).

Pernyataan Sikap APHA Indonesia

Dalam pernyataan resmi, APHA Indonesia menyampaikan lima poin sikap:

  1. Menuntut penghentian permanen aktivitas tambang nikel di Raja Ampat.

  2. Mendesak pencabutan seluruh izin tambang yang diterbitkan tanpa konsultasi publik dan persetujuan masyarakat adat.

  3. Menyerukan penegakan hukum terhadap perusahaan dan pejabat yang terlibat dalam penerbitan izin ilegal.

  4. Mendorong audit kebijakan investasi di pulau kecil dan kawasan konservasi.

  5. Menegaskan pentingnya penghormatan terhadap kearifan lokal masyarakat adat.

“Petisi ini bukan sekadar dokumen, tetapi suara nurani hukum, budaya, dan lingkungan. Demi generasi masa depan, kami menyerukan: HENTIKAN SELAMANYA TAMBANG DI RAJA AMPAT,” tegas Prof. Laksanto Utomo dalam penutupan petisi.

Penandatangan Petisi

Selain Dr. Purnawan, beberapa akademisi ternama lainnya yang ikut menandatangani petisi ini di antaranya Prof. Dr. Rosnidar Sembiring (FH USU Medan), Prof. Ari Atu Dewi (Bali), Prof. Dr. Sri Warjiyati (FH), Sulistyowati Irianto (FH UI), Dr. Amri P. Sihotang (Dekan FH USM), Catharina Dewi (Ketua Dewan Pembina APHA) dan sejumlah pengajar hukum adat dari berbagai universitas di Indonesia lainnya.

Dengan petisi ini, para akademisi berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan segala bentuk perusakan ekosistem dan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat di kawasan konservasi dunia Raja Ampat. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.