Kendali Aksi Iklim di Indonesia
GH News June 10, 2025 04:04 PM

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Di tengah panggung global, Indonesia memproyeksikan citra sebagai negara yang berkomitmen pada aksi iklim. Namun, di balik layar diplomasi, pertarungan sesungguhnya justru terjadi di dalam negeri. Agenda hijau nasional kini tidak lagi didikte secara mutlak dari pemerintah pusat.

Sejak era Reformasi yang menggulirkan otonomi daerah, kekuasaan telah terdistribusi. Pemerintah daerah kini menjadi aktor politik dengan kepentingan dan kalkulasinya sendiri. 

Desentralisasi telah menciptakan sebuah arena politik iklim baru di daerah. Kebijakan lingkungan bukan lagi sekadar instruksi teknis, melainkan menjadi objek negosiasi, tawar-menawar, dan bahkan pertarungan pengaruh antara pemerintah pusat dan para elite lokal. 

Pertanyaannya bukan lagi apakah agenda hijau akan dijalankan, melainkan bagaimana ia akan ditafsirkan dan dieksekusi oleh para pemegang kuasa di daerah?

Negosiasi Pemerintah 

Pasca-1998, kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri secara fundamental mengubah dinamika kekuasaan yang ada di daerah. Kepala daerah, yang dipilih langsung oleh rakyatnya, memiliki legitimasi politik yang kuat. 

Di satu sisi, fenomena ini adalah sebuah peluang. Di sisi lain, hal ini adalah tantangan bagi agenda iklim. Kepentingan ekonomi lokal sering kali berbasis ekstraksi sumber daya dan kalkulasi elektoral jangka pendek kerap lebih menggoda daripada komitmen lingkungan jangka panjang. 

Target ambisius seperti FOLU Net Sink 2030 memaksa pemerintah pusat untuk beradaptasi dan menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi hanya memerintah. Mereka harus merayu, meyakinkan, dan bernegosiasi dengan daerah. Inilah titik di mana kebijakan iklim bertransformasi menjadi seni politik.

Untuk memenangkan pertarungan pengaruh ini, pemerintah pusat menggunakan kombinasi instrumen kekuasaan: insentif finansial dan kerangka regulasi. Kementerian Keuangan dan KLHK menawarkan 'tawaran' yang menarik. 

Skema seperti Dana Insentif Daerah (DID) berbasis lingkungan dan pembayaran karbon melalui program FCPF adalah alat tawar yang kuat. Pesannya sangat jelas: daerah yang kooperatif dan menunjukkan kinerja lingkungan yang baik akan diganjar dengan anggaran. 

Sementara itu, Bappenas dan Kemendagri memegang 'cambuk' regulasi. Melalui proses integrasi aspek ekonomi hijau ke dalam dokumen perencanaan nasional (RPJPN) dan memastikan Peraturan Daerah (Perda) selaras dengan kebijakan pusat, mereka menetapkan ‘aturan main’. 

Langkah ini merupakan cara pusat untuk memastikan otonomi daerah tidak melenceng terlalu jauh dari koridor nasional.

Kalkulasi Politik 

Respon daerah terhadap permainan politik ini sangat bervariasi dan menyesuaikan pada kalkulasi politik di masing-masing daerah. Beberapa daerah tampil sebagai pionir strategis seperti Kalimantan Timur, dengan visi “Kaltim Green”. 

Visi tersebut bukan hanya sekadar berbuat baik bagi lingkungan, akan tetapi juga sebagai manuver politik cerdas untuk memposisikan diri sebagai mitra ideal bagi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Papua Barat melangkah lebih jauh dengan mendeklarasikan diri sebagai “Provinsi Konservasi”. 

Deklarasi bukan hanya soal memperjuangkan aspek ekologis, melainkan sebuah pernyataan identitas politik yang kuat. Status ini menjadi modal tawar yang unik dalam negosiasinya dengan pemerintah pusat. 

Di Jambi dan Bali, agenda hijau diselaraskan dengan basis ekonomi lokal, seperti perhutanan sosial dan pariwisata berkelanjutan, sebuah langkah pragmatis yang mengamankan dukungan politik dari masyarakat.

Arena Politik yang Menentukan

Keberhasilan agenda iklim Indonesia pada akhirnya tidak ditentukan oleh seberapa canggih kebijakan yang dirancang di Pusat. Agenda tersebut akan ditentukan oleh hasil dari ribuan negosiasi politik yang terjadi di arena daerah. 

Kolaborasi dengan aktor non-negara seperti CSO dan akademisi juga menjadi faktor penting yang dapat memperkuat posisi tawar yang dimiliki oleh daerah. Desentralisasi telah memastikan bahwa masa depan hijau Indonesia akan menjadi produk dari sebuah proses politik yang dinamis dan terkadang konfliktual. 

Inilah realitas baru politik lingkungan di Indonesia, yakni sebuah pertarungan terus-menerus antara ambisi pusat, kepentingan daerah, dan tekanan global. Siapa yang paling lihai memainkan kartunya akan menentukan rupa Indonesia di masa depan. (*)

***

*) Oleh : Farah Rahmadhani, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.