Dulu Nama Surabaya dari Hiu dan Buaya, Kini Seekor Buaya Nyaris Mangsa Tuannya di Manyar
Glery Lazuardi June 11, 2025 08:33 AM

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Kota Surabaya lahir dari legenda pertempuran sengit antara hiu (Sura) dan buaya (Baya), yang kemudian menjadi simbol keberanian dan ketangguhan.

Namun, di masa kini, kisah nyata dari seekor buaya justru menghadirkan ketegangan berbeda—bukan tentang perebutan wilayah seperti dalam dongeng, tapi tentang ketakutan manusia yang akhirnya menyerah pada hewan peliharaannya sendiri.

Itulah yang dialami Zainudin, warga Gang III, Manyar Sabrangan, Surabaya.

Pria ini memelihara seekor buaya selama enam tahun, hingga akhirnya ia merasa nyawanya sendiri tak lagi aman.

Buaya bernama Coki itu awalnya dipungut dari Sungai Kali Jagir, Wonokromo, saat masih mungil dan lucu. 

Namun seiring waktu, reptil tersebut tumbuh menjadi predator yang mengintimidasi, hingga harus dievakuasi oleh BPBD Kota Surabaya.

“Dulu karena ukurannya 60 cm, lucu begitu aja. Kan masih kecil, kan masih lucu, imut ya,” kata Zainudin, Selasa (10/6).

Buaya dari Sungai, Jadi Peliharaan, Kini Menakutkan

Semua berawal tahun 2019, saat Zainudin iseng memancing di Kali Jagir.

Ia melihat seekor bayi buaya yang menurutnya lucu. Tanpa berpikir panjang, buaya itu ia bawa pulang dan dinamai Coki, plesetan dari kata “crocodile”.

Selama enam tahun, Zainudin merawat Coki di kandang besi yang dilengkapi kolam. Dalam sehari, buaya itu diberi makan satu kilogram kepala ayam.

“Saya panggil Coki begitu ya, karena kan bahasa Inggrisnya crocodile,” ujarnya.

Namun, yang awalnya terasa menyenangkan berubah menjadi ketegangan.

Ukuran Coki membesar, gerakannya makin liar, dan nalurinya sebagai predator tak bisa ditekan.

Zainudin pun mulai dilanda rasa takut, apalagi ketika melihat mata buayanya yang tajam seakan mengawasi.

“Nah, setelah besar, kita ya was-was, takut berbuat, berbahaya gitu,” ucapnya, jujur.

Zainudin akhirnya memutuskan menghubungi pihak BKSDA dan BPBD Kota Surabaya untuk mengevakuasi Coki.

Ia sadar, memelihara buaya bukanlah perkara main-main, apalagi jika keselamatan diri dan keluarga menjadi taruhan.

BUAYA-
BUAYA- "Buaya muara (Crocodylus porosus) dikenal sebagai salah satu predator paling mematikan di dunia perairan tropis." (screenshoot video)

Evakuasi Dramatis, Emosi Tumpah Saat Perpisahan

Proses evakuasi berlangsung dramatis. Petugas dari BPBD lengkap dengan alat pengaman turun tangan pada Selasa (10/6) siang. Butuh 30 menit untuk mengendalikan Coki yang sudah tak lagi kecil dan sulit dikendalikan di dalam kolam sempit.

“Ya saya lega. Terima kasih sama teman-teman BKSDA, BPBD, teman-teman media juga. Berkat kalian semua, buaya ini bisa dievakuasi dengan aman dan lancar,” ujar Zainudin haru.

Di balik rasa lega itu, Zainudin mengaku memiliki ikatan emosional dengan Coki.

Selama enam tahun, buaya itu sudah menjadi bagian dari kesehariannya.

Namun, ia sadar bahwa kasih sayang tidak cukup untuk menjinakkan naluri liar seekor predator.

“Saya berharap nanti dia bisa hidup normal, umur panjang,” tuturnya pelan, menahan sedih.

Petugas BPBD Kota Surabaya, Krisna, menyebutkan bahwa ruang gerak yang terbatas menyulitkan proses evakuasi.

Namun dengan kerja sama tim, buaya itu berhasil diamankan dan dibawa ke tempat penangkaran yang lebih aman.

Netizen Heboh: “Siapa Suruh Piarabuaya?”

Kisah ini tak hanya mengguncang warga Manyar, tapi juga ramai jadi pembicaraan di media sosial.

Video evakuasi Coki yang diunggah kanal YouTube Kompas TV ditonton ribuan orang dan langsung dibanjiri komentar publik.

“Siapa suruh piarabuaya, klo udahbesar makan tuanya, biar itu kambing atau sapi boss,” tulis akun @PakWadi-k3f dengan nada nyinyir.

Warganet lain ikut menanggapi dengan campuran antara geli d

an khawatir, menyebut ini sebagai pelajaran bahwa buaya bukan hewan peliharaan biasa. Banyak yang menyarankan agar warga lebih bijak sebelum memutuskan memelihara satwa liar, apalagi yang berpotensi membahayakan nyawa.

Legenda Surabaya: Dulu Hiu dan Buaya, Kini Realita Menyentuh

Surabaya bukan sembarang kota. Di balik gemerlap sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, ada kisah rakyat legendaris yang hidup turun-temurun: Asal Usul Surabaya, dari kata “Sura” (hiu) dan “Baya” (buaya).

Konon, dua makhluk kuat ini bertarung demi memperebutkan wilayah perairan dan daratan. Mereka sepakat membagi wilayah kekuasaan: Sura di laut, Baya di darat.

Namun, Sura melanggar janji dan masuk sungai, membuat Baya murka. Pertarungan dahsyat pun terjadi hingga air memerah oleh darah.

Dari cerita itulah, nama Surabaya dikenal sebagai “selamat menghadapi bahaya”.

Kini, kisah itu seolah berulang.

Bukan dongeng, tapi kenyataan. Seorang manusia yang mencoba hidup berdampingan dengan buaya akhirnya menyadari bahwa alam tetap harus dihormati. Seekor buaya tetaplah buaya, bukan peliharaan seperti kucing atau anjing.

Profil Buaya: Reptil Purba Penguasa Perairan

Buaya adalah reptil besar yang hidup di perairan dan tergolong ke dalam famili Crocodylidae. Spesies ini dikenal sebagai predator puncak yang telah menghuni bumi sejak zaman dinosaurus.

Meski kerap ditemukan di sungai, danau, hingga rawa air tawar, beberapa jenis buaya seperti buaya muara juga dapat hidup di air payau.

Daya serang buaya sangat mematikan. Dengan tekanan gigitan mencapai 6.000 psi, buaya mampu mencabik mangsa dalam sekejap—jauh melampaui kekuatan gigitan singa maupun hiu.

Tubuhnya yang streamline dan kaki berselaput membuatnya bisa bergerak cepat di air dan menyergap tanpa terdeteksi. Selain gigi-gigi tajam, otot rahangnya yang kuat membuat buaya hampir mustahil dilepaskan jika sudah menggigit.

Buaya juga dikenal sangat agresif terutama saat musim kawin dan bertelur.

Mereka bisa menyerang manusia atau hewan yang dianggap mengganggu sarang. Telur buaya dijaga ketat oleh induknya, yang menguburnya di bawah tanah bercampur daun-daunan hingga menetas sekitar 80 hari kemudian.

Menariknya, jenis kelamin anak buaya bukan ditentukan oleh kromosom, melainkan oleh suhu sarang. Misalnya, suhu sekitar 31,6°C biasanya menghasilkan buaya jantan.

Beberapa spesies buaya tercatat bisa hidup hingga usia 70–100 tahun, bahkan ada yang mencapai lebih dari 115 tahundi penangkaran.

Ukurannya pun bervariasi. Bayi buaya hanya sekitar 20 cm saat menetas, namun buaya dewasa bisa mencapai lebih dari 6 meter dan berat lebih dari 1.000 kg.

Pelajaran dari Coki: Jangan Jinakkan Bahaya

Peristiwa ini mengajarkan banyak hal. Bahwa cinta dan niat baik tak cukup untuk menaklukkan alam.

Memelihara hewan liar seperti buaya bukan hanya soal memberi makan, tapi juga tentang tanggung jawab, pengetahuan, dan kesiapan menghadapi risikonya.

Zainudin sudah cukup berani mengakui bahwa ia tak sanggup lagi. Ia memilih menyerahkan Coki ke ahlinya, sebuah keputusan yang menyelamatkan nyawa—miliknya dan mungkin orang lain di sekitarnya.

Coki kini telah berpindah tangan, semoga benar-benar bisa hidup tenang di alam bebas. Sedangkan bagi kita, semoga kejadian ini tak cuma jadi tontonan viral, tapi juga pengingat bahwa batas antara manusia dan alam tetap harus dijaga.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.