TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kekecewaan menyelimuti sejumlah calon jemaah haji tahun ini. Harapan menunaikan rukun Islam kelima lewat jalur visa furoda kandas di detik-detik akhir. Di tengah derasnya keluhan dan tudingan, Dai Go Global LD-PBNU, Dr. H. Ahmad Shaleh Amin, Lc., M.A., angkat bicara.
Ia mengingatkan publik agar tidak gegabah menyalahkan pemerintah, terutama Kementerian Agama, atas batalnya keberangkatan jamaah pengguna visa furoda.
"Musim haji itu musim harap. Orang-orang tua, kadang dengan tubuh tak lagi tegak, datang ke Tanah Suci hanya dengan satu niat: menunaikan rukun Islam terakhir. Tapi kadang, harap itu tak sampai,” ujarnya, Rabu (11/6/2025).
Bukan Jalur Resmi
Visa furoda alias visa mujamalah, jelasnya, bukan jalur resmi yang diatur pemerintah. Ia merupakan bentuk penghormatan dari Kerajaan Arab Saudi, diterbitkan secara selektif, dan tidak masuk dalam sistem kuota nasional.
"Visa ini seperti pintu samping yang dibuka langsung oleh tuan rumah, bukan lewat meja resepsionis. Pemerintah Indonesia tidak mengatur pintu itu," tegasnya.
Yang perlu dipahami, kata Ahmad, pembatalan visa furoda diumumkan langsung oleh platform Nusuk Hajj pada 26 Mei 2025. Tak hanya Indonesia, semua negara terdampak.
"Yang aneh, kenapa pemerintah kita yang disalahkan? Ini seperti menyalahkan petugas bandara karena pesawat dari negara lain tak jadi mendarat. Salah alamat," katanya.
Masalah Tahunan
Menurut dia, polemik haji bukan barang baru. Hampir setiap tahun, ada saja catatan keluhan.
"Tahun 2010 tenda Mina tak cukup. 2013 kuota dipotong 20 persen. 2015 tragedi crane dan insiden Mina. 2022 ribuan lansia gagal berangkat karena pandemi. 2024 lorong Mina berubah jadi ruang tidur darurat," bebernya.
Ahmad menegaskan, pelaksanaan ibadah haji adalah pekerjaan logistik raksasa yang melibatkan lebih dari dua juta orang dari berbagai negara. Wajar jika selalu ada celah yang belum tertutup sempurna.
Sikap Dewasa
Pemerintah, menurut dia, sudah menjalankan diplomasi secara proporsional. Tapi karena ini wilayah kedaulatan Saudi, Indonesia tak bisa ikut campur.
"Kita bangsa besar, beradab. Politik luar negeri kita bebas aktif, tapi bukan berarti ikut ngatur negara orang," tegasnya.
Karena itu, Ahmad mengajak masyarakat lebih bijak dalam menyikapi informasi. Kritik boleh, tapi jangan asal tuduh. Apalagi jika belum tahu duduk persoalannya.
"Dunia nyata bukan cerita fiksi yang selalu butuh tokoh jahat. Jangan menghakimi sebelum paham situasinya," ucapnya.
Jaga Lisan, Jaga Nalar
Ahmad lalu mengutip ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12). Ia juga mengingatkan hadis Nabi yang melarang prasangka buruk dan mencari-cari kesalahan.
"Kadang kita tergoda bersuara sebelum mendengar lengkap. Padahal Al-Qur’an menyuruh tabayyun. Jangan tergesa-gesa," pesannya.
Sebagai penutup, ia menyitir pernyataan Imam Ibn al-Qayyim, “Termasuk kezaliman adalah menghakimi sesuatu sebelum memahami hakikatnya.” Lalu memberi sindiran tajam: “Saat kita menunjuk orang lain, empat jari lainnya menunjuk ke diri sendiri.” (*)