TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa negara di Asia Tenggara mulai mencatat peningkatan kasus COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir, memicu kekhawatiran akan gelombang baru pandemi. Di Indonesia, lonjakan subvarian baru seperti KP.2 dan KP.3 dilaporkan di beberapa daerah, meskipun tingkat rawat inap dan kematian masih relatif rendah dibandingkan gelombang sebelumnya.
Malaysia dan Singapura juga mengalami tren serupa, dengan pemerintah setempat memperketat pengawasan di bandara serta merekomendasikan vaksin booster bagi kelompok rentan. Sementara itu, Filipina dan Thailand mulai mengaktifkan kembali protokol kesehatan di tempat umum, meskipun tanpa lockdown ketat seperti masa puncak pandemi. Kenaikan kasus ini diduga dipicu oleh mobilitas tinggi selama musim liburan serta penurunan kekebalan tubuh masyarakat seiring waktu.
Menyikapi perkembangan terbaru ini, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah antisipasi awal. Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat untuk kembali memakai masker di ruang tertutup atau keramaian, terutama bagi yang memiliki komorbid. Fasilitas kesehatan diminta menyiagakan kembali ruang isolasi dan stok obat COVID-19. Selain itu, pemerintah mendorong vaksinasi booster kedua, khususnya untuk lansia dan tenaga kesehatan, meskipun respons masyarakat masih rendah akibat kelelahan pandemi (pandemic fatigue). Di sisi perbatasan, thermal scanner kembali diaktifkan di pintu masuk internasional, meski tanpa pembatasan perjalanan yang ketat. Yang patut diapresiasi, kali ini pemerintah lebih fokus pada pendekatan berbasis data dengan memantau perkembangan varian melalui whole genome sequencing, berbeda dengan respons lambat di awal pandemi.
Namun, kebijakan ini memicu pro dan kontra di masyarakat. Kelompok yang mendukung langkah antisipatif pemerintah berargumen bahwa kewaspadaan dini diperlukan untuk mencegah terulangnya tragedi gelombang Delta 2021 yang merenggut puluhan ribu jiwa. Mereka menekankan bahwa kenaikan kasus meski lambat harus direspons serius mengingat potensi mutasi virus yang tidak terduga. Para ahli epidemiologi juga mengingatkan bahwa sistem kesehatan Indonesia masih rentan jika terjadi lonjakan signifikan, mengingat banyaknya rumah sakit yang belum sepenuhnya pulih dari beban pandemi sebelumnya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di sisi lain, sebagian masyarakat menolak kembalinya pembatasan dengan alasan dampak ekonomi yang sudah terlalu parah. Pedagang kecil, pekerja informal, dan sektor pariwisata khawatir imbauan masker atau pembatasan kerumunan akan mengurangi mobilitas konsumen seperti yang terjadi sebelumnya. Kritik juga muncul terhadap efektivitas vaksinasi booster yang dianggap tidak sosialisasikan dengan jelas manfaatnya.
Banyak yang mempertanyakan mengapa program booster tidak disertai dengan edukasi masif seperti pada vaksinasi primer. Kekecewaan terhadap komunikasi pemerintah selama pandemi sebelumnya turut menciptakan skeptisisme, di mana sebagian warga menganggap isu kenaikan kasus hanya alat untuk proyek anggaran tertentu.
Persoalan utama yang mengemuka adalah kesenjangan informasi antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, otoritas kesehatan mengklaim telah menyampaikan perkembangan melalui konferensi pers, namun di lapangan banyak warga yang tidak memahami perbedaan varian baru atau pentingnya booster kedua.
Informasi teknis tentang subvarian KP.2 misalnya, hanya beredar di kalangan akademisi tetapi tidak sampai ke masyarakat umum dalam bahasa yang mudah dipahami. Media massa juga kerap menyajikan data kasus tanpa konteks memadai, antara lain tidak menjelaskan bahwa kenaikan kasus tidak selalu linear dengan tingkat keparahan.
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa pemerintah tidak boleh hanya fokus pada aspek teknis penanganan kesehatan, tetapi harus memperbaiki strategi komunikasi risiko secara menyeluruh. Pengalaman pahit selama pandemi menunjukkan bahwa kebijakan terbaik sekalipun akan gagal jika tidak disertai transparansi dan pendekatan partisipatif. Pemerintah perlu melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, bahkan selebritas untuk menyampaikan pesan kesehatan dalam narasi yang mudah dicerna. Kampanye booster misalnya, harus menjelaskan dengan data sederhana mengapa perlindungan perlu diperbarui, bukan sekadar imbauan normatif.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Yang lebih krusial, komunikasi harus menghindari kepanikan (panic mongering) tetapi juga tidak boleh menimbulkan kecerobohan. Masyarakat perlu memahami bahwa kewaspadaan COVID-19 tidak harus berarti lockdown, melainkan adaptasi gaya hidup seperti memakai masker saat flu atau bekerja dari rumah jika bergejala.
Transparansi data kasus per daerah juga penting agar publik bisa menilai risiko secara personal tanpa merasa dimanipulasi. Jika komunikasi buruk, bukan hanya kesehatan yang terancam tetapi juga stabilitas ekonomi. Contoh nyata adalah kepanikan pasar ketika muncul berita varian baru tanpa penjelasan memadai, yang bisa memicu pelaku usaha menunda investasi atau konsumen mengurangi pengeluaran.
Pada akhirnya, menghadapi potensi gelombang baru COVID-19 membutuhkan keseimbangan antara kesiapan medis dan kepercayaan publik. Pemerintah harus belajar dari kesalahan sebelumnya dengan mengedepankan pendekatan sains yang dijelaskan secara humanis, bukan sekadar jargon teknis. Masyarakat juga berhak mendapatkan informasi yang jelas tanpa distorsi politik atau kepentingan birokratis. Dengan komunikasi yang terarah dan konsisten, upaya pencegahan bisa berjalan tanpa perlu mengorbankan pemulihan ekonomi yang sudah mulai bergerak. Jika tidak, Indonesia akan menghadapi dua krisis sekaligus: kesehatan yang terabaikan dan kepercayaan publik yang semakin merosot. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id