TIMESINDONESIA, MALANG – Latar belakang rencana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Menteri Kebudayaan tidak lepas dari upaya pemerintah untuk menyajikan narasi sejarah yang lebih komprehensif dan inklusif.
Selama ini, banyak versi sejarah Indonesia yang dinilai terlalu terpusat pada perspektif tertentu, mengabaikan peran kelompok minoritas, atau bahkan mengandung bias politik Orde Baru.
Sejak reformasi, muncul tuntutan untuk merevisi sejarah agar lebih objektif, termasuk mengungkap peristiwa kelam seperti G30S, konflik sosial 1965, atau peran daerah dalam perjuangan kemerdekaan.
Menteri Kebudayaan berargumen bahwa penulisan ulang ini diperlukan untuk memperkuat identitas nasional dan memberikan pemahaman yang lebih utuh kepada generasi muda.
Namun, rencana ini memicu pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang setuju berpendapat bahwa sejarah Indonesia selama ini banyak dibentuk oleh kepentingan penguasa masa lalu, sehingga perlu dikoreksi untuk mencerminkan kebenaran faktual.
Mereka mencontohkan bagaimana peran perempuan, etnis Tionghoa, atau masyarakat adat sering diabaikan dalam buku-buku sejarah. Dengan penulisan ulang, diharapkan muncul narasi yang lebih adil dan berimbang.
Selain itu, generasi muda dianggap berhak mengetahui sejarah yang transparan, termasuk kegagalan maupun keberhasilan bangsa, sebagai bahan refleksi untuk membangun masa depan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di sisi lain, kritik tajam datang dari kalangan yang menilai rencana ini berisiko dimanipulasi untuk kepentingan politik kekuasaan. Sejarawan dan aktivis mengingatkan bahwa penulisan sejarah harus berdasarkan fakta empiris, bukan sudut pandang subjektif pemerintah.
Kekhawatiran terbesar adalah jika revisi sejarah justru digunakan untuk membentuk opini publik yang mendukung agenda tertentu, seperti glorifikasi rezim saat ini atau pengaburan kesalahan masa lalu.
Contohnya, upaya menghilangkan jejak pelanggaran HAM atau menonjolkan peran kelompok tertentu secara berlebihan. Hal ini berpotensi memecah belah masyarakat, terutama jika menyentuh isu-isu sensitif seperti agama, etnis, atau ideologi.
Polemik juga muncul terkait metode dan legitimasi proses penulisan ulang. Sejarawan menuntut agar proyek ini melibatkan akademisi independen, bukan hanya birokrat, untuk menjaga kredibilitasnya.
Masyarakat sipil mengusulkan adanya transparansi sumber data, peer review, serta dialog terbuka dengan berbagai stakeholders, termasuk korban sejarah.
Jika tidak, hasilnya dikhawatirkan hanya menjadi alat propaganda, bukan upaya sungguh-sungguh untuk merekonstruksi masa lalu. Kritik lain menyoroti anggaran besar yang mungkin dikeluarkan untuk proyek ini, sementara di saat bersamaan, banyak masalah kebudayaan seperti pelestarian cagar budaya atau kesenian tradisional justru terbengkalai.
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa ide penulisan ulang sejarah sebenarnya sangat baik jika tujuannya murni akademis dan edukatif.
Sejarah memang harus terus diperbarui seiring ditemukannya bukti-bukti baru, metode penelitian yang lebih canggih, atau perspektif yang lebih beragam.
Revisi sejarah bisa menjadi momentum untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, mengakui peran semua pihak, dan membangun rekonsiliasi nasional. Namun, syarat utamanya adalah kejujuran ilmiah dan niat tanpa pretensi politik. Sejarah tidak boleh dijadikan alat untuk mengukuhkan kekuasaan atau menciptakan mitos baru yang manipulatif.
Yang tak kalah penting, proses ini harus dijaga dari intervensi politik praktis. Pemerintah perlu membentuk tim sejarawan yang netral, melibatkan universitas, serta membuka ruang debat publik. Jika ada upaya untuk menambah atau mengurangi fakta hanya demi mendukung narasi tertentu, maka proyek ini justru akan merusak integritas bangsa.
Masyarakat juga harus aktif mengawasi agar hasil akhirnya benar-benar mencerminkan keadilan sejarah, bukan kepentingan sepihak.
Pada akhirnya, sejarah adalah fondasi identitas bangsa. Revisi bukanlah masalah selama dilandasi kebenaran, keadilan, dan semangat mempersatukan. Jika pemerintah serius dengan niat mulia ini, langkah pertama adalah menjauhkannya dari kepentingan politik jangka pendek.
Sebab, sejarah yang ditulis dengan tinta kepalsuan hanya akan melahirkan generasi yang buta terhadap realitas. Indonesia butuh sejarah yang jernih, bukan yang dikaburkan oleh agenda kekuasaan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id