TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ibrahim Arief, eks anak buah Mendikbudristek era Nadiem Makarim, selesai diperiksa penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Kamis (12/6/2025) malam.
Pantauan Tribunnews.com, Ibrahim bersama kuasa hukumnya, Indra Haposan Sihombing keluar dari gedung Jampidsus Kejagung sekitar pukul 23.30 WIB.
Adapun dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan chromebook atau laptop dalam program digitalisasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019-2022.
Dalam hal ini, Indra mengklarifikasi soal jabatan kliennya yang selama ini disebut mantan staf khusus (stafsus) Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek saat itu.
"Kami luruskan satu hal dulu. Ini Mas Ibam (Ibrahim), Mas Ibam ini adalah bukan seorang stafsus," kata Indra kepada wartawan, Kamis malam.
"Mas Ibam ini konsultan individu kementerian. Jadi tolong dibantu diuruskan karena beliau bukan staf sus, beliau konsultan individu yang ditunjuk untuk bekerja, memberikan masukan-masukan terhadap teknologi kementerian," sambungnya.
Ibrahim, kata Indra, dikontrak oleh Direktorat yang ada di kementerian untuk menjadi konsultan individu pada 2020 bukan dikontrak langsung oleh Nadiem Makarim.
Indra mengatakan dalam pemeriksaan selama kurang lebih 12 jam, penyidik bertanya terkait tugas pokok dan fungsi kliennya dalam kasus yang tengah disidik tersebut.
Menurutnya, sesuai tugasnya, Ibrahim saat itu hanya seorang konsultan yang memberi masukan soal barang yang akan jadi pengadaan oleh kementerian.
"Kemudian nanti yang menentukan kementerian sendiri. Jadi beliau ini tidak terlibat dalam sistem pengadaan (Chromebook), bukan. Jadi dia hanya sebagai tim pemberi masukan," jelasnya.
Indra mengatakan kliennya itu hanya membeberkan soal alat-alat yang dipakai untuk pengadaan. Masukan ini pun bisa ditolak atau diterima pihak kementerian.
"Tidak ada lebih memilih Windows ataupun Chromebook. Hanya beliau memberikan masukan. Kalau menggunakan Chromebook, ada sistem-sistem yang begini, dengan biaya segini. Kalau memilih Windows, ada sistem-sistem yang begini, dengan biaya begini," ungkapnya.
"Jadi dia ini bukan cenderung untuk menganalisa Chromebook, ataupun memilih Chromebook, tidak. Hanya memberikan masukan, dan bisa diterima dan bisa ditolak," imbuhnya.
Lebih lanjut, Indra mengatakan Ibrahim belum rampung dalam pemeriksaan itu. Nantinya, penyidik Kejagung akan kembali menjadwalkan pemeriksaan lanjutan.
Awal Mula Kasus Dugaan Korupsi Laptop
Seperti diketahui Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tengah mengusut perkara dugaan korupsi pengadaan chromebook atau laptop dalam program digitalisasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019-2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan, bahwa penyidik telah meningkatkan status perkara tersebut dari penyelidikan ke penyidikan.
"Penyidik pada Jampidsus telah menaikkan status ke tahap penyidikan terkait penanganan perkara dugaan korupsi pada Kemendikbudristek dalam program digitalisasi pendidikan tahun 2019-2022," kata Harli dalam keteranganya, Senin (26/5/2025).
Lebih jauh Hari pun menjelaskan bahwa pengusutan kasus itu bermula pada tahun 2020 ketika Kemendikbudristek menyusun rencana pengadaan bantuan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi satuan pendidikan mulai dari dasar hingga atas.
Hal itu bertujuan untuk pelaksanaan asesmen Kompetensi Minimal (AKM).
Padahal saat pengalaman uji coba pengadaan peralatan TIK berupa chromebook 2018-2019 hal itu tidak berjalan efektif karena kendala jaringan internet.
"Bahwa kondisi jaringan internet di Indonesia sampai saat ini diketahui belum merata, akibatnya penggunaan Chromebook sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) pada satuan pendidikan berjalan tidak efektif," katanya.
Berdasarkan pengalaman uji coba tersebut dan perbandingan beberapa operating system (OS), tim teknis yang mengurus pengadaan itu pun membuat kajian pertama dengan merekomendasikan penggunaan spesifikasi OS Windows.
Akan tetapi saat itu Kemendikbudristek justru malah mengganti spesifikasi pada kajian pertama itu dengan kajian baru dengan spesifikasi OS berbasis Chromebook.
"Diduga penggantian spesifikasi tersebut bukan berdasarkan atas kebutuhan yang sebenarnya," katanya.
Lebih jauh Harli menuturkan, bahwa diketahui Kemendikbudristek mendapat anggaran pendidikan total sebesar Rp Rp9.982.485.541.000 atau Rp 9,9 triliun 2019-2022.
Yang dimana jumlah tersebut diantaranya dialokasikan sebesar Rp3.582.607.852.000 atau Rp 3,5 triliun untuk pengadaan peralatan TIK atau chromebook tersebut dan untuk dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp6.399.877.689.000 atau Rp 6,3 triliun.
Atas dasar uraian peristiwa yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya, ditemukan adanya tindakan persekongkolan atau permufakatan jahat.
Yang dimana kata Harli hal itu dilakukan dengan cara mengarahkan kepada tim teknis yang baru agar dalam pengadaan TIK untuk menggunakan laptop dengan Operating System Chromebook dalam proses pengadaan barang dan jasa.
"Dan bukan atas dasar kebutuhan ketersediaan peralatan TIK yang akan digunakan dalam rangka pelaksanaan Asesment Kompetensi Minimal (AKM) serta kegiatan belajar mengajar," jelasnya.