TIMESINDONESIA, SEMARANG – Belakangan ini, kasus korupsi semakin meningkat. Bahkan, tak sedikit penegak hukum yang terlibat dalam pusaran kejahatan korupsi. Korupsi sudah menjadi persoalan kronis yang berdampak buruk bagi keberlangsungan praktik demokrasi.
Demokrasi tak akan berjalan baik apabila korupsi terus meningkat dan membudaya. Korupsi telah menjangkiti kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga telah menghancurkan peradaban dan pembangunan bangsa.
Di negeri ini, tonggak berdirinya gerakan melawan korupsi sudah dimulai pada era reformasi yang mengamanatkan adanya pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance).
Era Reformasi sudah berlangsung kurang lebih 27 tahun. Meski demikian, korupsi belum bisa diberantas ke akar-akarnya. Dari tahun ke tahun kasus korupsi justru semakin meningkat.
Di awal tahun 2025 publik dibuat geger dengan beragam korupsi besar seperti korupsi tata kelola minyak mentah yang merugikan keuangan negara Rp 193,7 triliun dan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang mencapai Rp 11,7 triliun.
Bila melihat sejumlah kasus korupsi tersebut, nampaknya pemerintahan Prabowo Subianto akan terus menghadapi tantangan yang cukup kompleks terkait perang melawan kejahatan korupsi.
Lemahnya sistem hukum dan pengawasan serta toleransi masyarakat terhadap perilaku korupsi ditengarai menjadi faktor semakin suburnya korupsi di negeri ini.
Kejahatan ini tidak hanya menyebabkan kerugian material berupa berkurangnya keuangan negara, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memperlambat pembangunan nasional, dan memperburuk ketimpangan sosial. Tentu saja ini menjadi ancaman serius bagi Indonesia yang beberapa tahun ke depan akan menghadapi bonus demografi.
Kejahatan korupsi di negeri ini sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Ibarat penyakit, korupsi akan terus menjalar dan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi suatu kebutuhan mendesak.
Tentu untuk meloloskan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang bukan perkara mudah. Dibutuhkan sinergitas semua aparat penegak hukum maupun lembaga lainnya yang memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi.
Presiden Prabowo Subianto pun telah menunjukkan keseriusannya terhadap Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar segera dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dukungan ini disampaikan dalam pidato peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 lalu. Presiden menilai, pengesahan RUU Perampasan Aset sangat penting untuk menarik kembali kekayaan negara yang diambil para koruptor.
Perampasan aset dalam hukum positif Indonesia merupakan instrumen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tujuan utamanya adalah mengembalikan kerugian keuangan negara dan memastikan bahwa pelaku tidak menikmati hasil dari perbuatannya. Namun, efektivitas mekanisme ini sering kali dipertanyakan, terutama dalam kaitannya dengan prinsip keadilan substantif (Dharma et al., 2025).
Dalam pandangan Reza & Yuliana (2025), RUU Perampasan Aset menggunakan konsep unexplained wealth yang telah diterapkan di negara-negara maju seperti Australia. Konsep ini memungkinkan negara untuk menyita aset yang tidak dapat dijelaskan secara sah asal-usulnya oleh tersangka.
Konsep ini memberikan berbagai efektivitas, salah satunya adalah diperluasnya cakupan subjek hukum yang dapat diperiksa, mencakup keluarga atau pihak lain yang secara rasional dapat dicurigai terlibat dalam kegiatan kejahatan terorganisir.
Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah membangun kerja sama internasional. Langkah ini sangat penting sebagai upaya untuk mengejar aset yang sengaja ditaruh di luar negeri. Kerja sama internasional ini akan sangat membantu penelusuran aset yang disembunyikan koruptor.
Akhirnya, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi peluang dalam memerangi kejahatan korupsi. Dengan adanya mekanisme perampasan aset, maka akan memberikan efek jera kepada para koruptor.
Semua dapat berjalan baik apabila pemerintah dan DPR RI saling mendukung dan bekerja sama dalam menciptakan proses legislasi yang didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
***
*) Oleh : Yudhistira Zia Ersyada, S.H., M.H., Praktisi Hukum & Wakil Ketua DPC Peradi Semarang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.