TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks staf khusus (stafsus) Kemendikbud Ristek era Nadiem Makarim, Fiona Handayani akhirnya rampung diperiksa penyidik Kejagung terkait dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook.
Adapun Fiona telah diperiksa sebanyak dua kali yakni hari ini Jum'at (13/6/2025) dan Selasa (10/6/2025) lalu terkait program digitalisasi pendidikan di Kemendikbud Ristek periode 2019-2022.
Usai diperiksa, Fiona sama sekali tidak memberikan keterangan kepada awak media baik pada pemeriksaan pertama maupun pemeriksaan kedua.
Ketika coba ditanya oleh awak media, Fiona lebih memilih menyerahkan kepada kuasa hukumnya, Indra Haposan Sihombing untuk menjawab setiap pertanyaan.
Sementara Fiona terlihat hanya melempar senyum dan sesekali mengangguk ketika Indra memberikan keterangan kepada wartawan terkait hasil pemeriksaannya tersebut.
Selain itu, wanita yang memiliki gaya rambut panjang sebahu tersebut juga terlihat tenang saat menyaksikan awak media melempar sejumlah pertanyaan ke kuasa hukumnya itu.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama 9 jam hari ini, Indra menjelaskan, Fiona diinterogasi oleh penyidik terkait tugas selama menjadi stafsus Nadiem Makarim.
"Yang mana bekerja dengan dasar kerjanya apa, bekerja tanggung jawabnya kemana, koordinasi kemana. Dan tadi memang ada sedikit pemaparan komunikasi tentang chat pribadi," ucap Indra di Gedung Bundar Kejagung, Jum'at (13/6/2025) malam.
Selain itu dalam pemeriksaan tersebut, Fiona juga telah menyerahkan beberapa dokumen terkait riset pengadaan laptop chromebook.
"Jadi itu nanti kembali dipelajari lagi lebih dalam oleh penyidik," ucapnya.
Awal Mula Kasus Dugaan Korupsi Laptop
Seperti diketahui Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tengah mengusut perkara dugaan korupsi pengadaan chromebook atau laptop dalam program digitalisasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019-2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan, bahwa penyidik telah meningkatkan status perkara tersebut dari penyelidikan ke penyidikan.
"Penyidik pada Jampidsus telah menaikkan status ke tahap penyidikan terkait penanganan perkara dugaan korupsi pada Kemendikbudristek dalam program digitalisasi pendidikan tahun 2019-2022," kata Harli dalam keteranganya, Senin (26/5/2025).
Lebih jauh Hari pun menjelaskan bahwa pengusutan kasus itu bermula pada tahun 2020 ketika Kemendikbudristek menyusun rencana pengadaan bantuan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi satuan pendidikan mulai dari dasar hingga atas.
Hal itu bertujuan untuk pelaksanaan asesmen Kompetensi Minimal (AKM).
Padahal saat pengalaman uji coba pengadaan peralatan TIK berupa chromebook 2018-2019 hal itu tidak berjalan efektif karena kendala jaringan internet.
"Bahwa kondisi jaringan internet di Indonesia sampai saat ini diketahui belum merata, akibatnya penggunaan Chromebook sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) pada satuan pendidikan berjalan tidak efektif," katanya.
Berdasarkan pengalaman uji coba tersebut dan perbandingan beberapa operating system (OS), tim teknis yang mengurus pengadaan itu pun membuat kajian pertama dengan merekomendasikan penggunaan spesifikasi OS Windows.
Akan tetapi saat itu Kemendikbudristek justru malah mengganti spesifikasi pada kajian pertama itu dengan kajian baru dengan spesifikasi OS berbasis Chromebook.
"Diduga penggantian spesifikasi tersebut bukan berdasarkan atas kebutuhan yang sebenarnya," katanya.
Lebih jauh Harli menuturkan, bahwa diketahui Kemendikbudristek mendapat anggaran pendidikan total sebesar Rp Rp9.982.485.541.000 atau Rp 9,9 triliun 2019-2022.
Yang dimana jumlah tersebut diantaranya dialokasikan sebesar Rp3.582.607.852.000 atau Rp 3,5 triliun untuk pengadaan peralatan TIK atau chromebook tersebut dan untuk dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp6.399.877.689.000 atau Rp 6,3 triliun.
Atas dasar uraian peristiwa yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya, ditemukan adanya tindakan persekongkolan atau permufakatan jahat.
Yang dimana kata Harli hal itu dilakukan dengan cara mengarahkan kepada tim teknis yang baru agar dalam pengadaan TIK untuk menggunakan laptop dengan Operating System Chromebook dalam proses pengadaan barang dan jasa.
"Dan bukan atas dasar kebutuhan ketersediaan peralatan TIK yang akan digunakan dalam rangka pelaksanaan Asesment Kompetensi Minimal (AKM) serta kegiatan belajar mengajar," jelasnya.