BANJARMASINPOST.CO.ID - PEMERINTAH akan segera memulai program Sekolah Rakyat. Di Kalimantan Selatan, saat ini bahkan sudah siap 225 anak dari keluarga miskin yang akan diterima sebagai calon siswa Sekolah Rakyat tahun ajaran 2025.
Mereka akan menjalani pendidikan gratis dan tinggal di asrama yang disediakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) RI.
Sebanyak 125 siswa akan ditempatkan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), dan 100 orang di Panti Sosial Budi Luhur Banjarbaru.
Menurut Plt Kepala Dinas Sosial Kalsel, Gusti Yanuar Noor Rifai, anak-anak tersebut berasal dari berbagai daerah di Kalsel, seperti Banjarbaru, Banjarmasin, Hulu Sungai Tengah (HST), Tanahbumbu, dan Kabupaten Banjar.
Mereka lolos seleksi ketat dengan prioritas utama bagi keluarga yang berada di garis kemiskinan, seperti pemulung atau yang penghasilan orangtuanya di bawah Rp 1,5 juta per bulan.
Program andalan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini memang digadang untuk mengangkat martabat masyarakat miskin. Nantinya semua kebutuhan siswa, mulai makan, pakaian, hingga tempat tinggal ditanggung negara melalui APBN.
Kementerian Sosial selaku pengelola akan mendirikan sekolah rakyat jenjang SMA terlebih dahulu baru kemudian akan diikuti oleh pendirian sekolah rakyat berjenjang SMP dan SD.
Sesuai target, Sekolah Rakyat akan dibangun sebanyak 100 unit yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan anggaran Rp 100 miliar untuk tiap lokasi.
Konsep yang diusung adalah sekolah berasrama atau boarding school, yang menyediakan pendidikan akademik dan keterampilan hidup berbasis karakter.
Ditunjang dengan fasilitas lengkap dan teknologi modern seperti laboratorium, ruang olahraga, perpustakaan digital, dan asrama layak huni.
Bahkan, para siswa mendapatkan perangkat digital untuk mendukung pembelajaran. Harapannya, lahir generasi unggul untuk memutus kemiskinan antargenerasi.
Namun konsep Sekolah Rakyat yang ‘memanjakan’ pesertanya dengan berbagai fasilitas wah ini tetap mengundang pro dan kontra.
Urgensinya pun dipertanyakan berbagai kalangan masyarakat, khususnya penggiat pendidikan. Program ini juga dinilai kurang bijak jika mempertimbangkan kondisi sekolah-sekolah yang sudah ada.
Masih banyak sekolah yang kesulitan keuangan, khususnya sekolah swasta. Sedangkan sekolah negeri, juga ada yang mulai kehabisan murid.
Sementara UU Sisdiknas yang menjamin wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) tanpa memungut biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta, belum bisa diwujudkan sepenuhnya.
Jika salah langkah, program Sekolah Rakyat pemerintah ini justru dikhawatirkan berpotensi meningkatkan kesenjangan dan diskriminasi pendidikan.
Bisa jadi akan lahir istilah sekolah khusus si miskin dan sekolah khusus si kaya. Alih-alih memutus rantai kemiskinan, justru bisa memperburuk kesenjangan akses pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)