Kita tumbuh dengan satu pemahaman yang ditanamkan sejak kecil: bahwa hukum itu adil dan berlaku untuk semua. Bahwa setiap warga negara punya hak yang sama di mata hukum. Tapi semakin dewasa, semakin banyak cerita yang membuat kita ragu. Bukan karena keadilan itu tidak ada, tapi karena nyatanya ia tidak selalu hadir untuk semua orang.
Ketimpangan sosial di Indonesia bukan hal baru. Ia seperti lapisan kabut yang menutupi sebagian orang dari akses terhadap keadilan yang seharusnya bisa dinikmati semua. Di satu sisi, ada mereka yang dengan mudah mendapatkan perlindungan hukum, pengacara, bahkan simpati publik. Di sisi lain, ada juga yang harus berjuang sendiri menghadapi sistem hukum yang rumit, mahal, dan sering kali tidak berpihak.
Contohnya bisa kita lihat dalam kasus-kasus yang menyentuh rakyat kecil. Seorang ibu yang mencuri makanan untuk anaknya divonis bersalah. Sementara di waktu yang hampir bersamaan, kasus korupsi bernilai miliaran bisa berakhir dengan vonis ringan atau bahkan penangguhan penahanan. Ini bukan sekadar soal hitung-hitungan pasal, ini soal rasa keadilan yang tidak terasa sama bagi semua orang.
Masalahnya tidak hanya berhenti pada hukum yang timpang, tapi juga pada kenyataan sosial yang melingkupi kehidupan masyarakat. Ketika seseorang lahir dari keluarga miskin, tinggal di daerah terpencil, atau tidak punya cukup pendidikan, ia otomatis memiliki akses yang lebih sempit terhadap keadilan. Bukan karena hukum tidak berlaku padanya, tapi karena jalannya menuju keadilan jauh lebih panjang dan berliku.
Sementara itu, mereka yang punya posisi sosial dan ekonomi yang kuat bisa membayar pengacara terbaik, punya akses ke jaringan kekuasaan, dan bisa mengarahkan opini publik. Keadilan memang masih ada, tapi siapa yang bisa membelinya punya kemungkinan lebih besar untuk mendapatkannya. Inilah kenyataan yang sulit ditolak, meski tidak semua orang berani mengakuinya.
Pemerintah memang sudah berupaya menghadirkan bantuan hukum gratis, pendampingan untuk masyarakat miskin, dan reformasi lembaga peradilan. Tapi di lapangan, praktiknya masih jauh dari harapan. Proses hukum yang lambat, birokrasi yang kaku, dan budaya ketidakpercayaan terhadap aparat masih menjadi tembok tinggi yang sulit diterobos.
Masalah ketimpangan keadilan ini bukan hanya tugas pemerintah untuk diselesaikan, tapi juga tanggung jawab kita sebagai masyarakat. Media punya peran penting dalam mengangkat suara-suara dari pinggiran yang jarang terdengar. Akademisi bisa terus mengkritisi dan memperbaiki sistem hukum lewat penelitian dan edukasi. Dan kita, sebagai warga, bisa terus menyuarakan ketidakadilan yang terjadi, sekecil apapun itu.
Keadilan memang bukan ilusi. Ia ada. Tapi dalam kenyataannya, keadilan itu seperti cahaya yang hanya jatuh di tempat-tempat tertentu. Mereka yang berdiri dalam terang akan merasakannya. Tapi mereka yang hidup dalam bayang-bayang, hanya bisa menatap dari jauh.
Kita tidak sedang mencari keadilan yang sempurna. Kita hanya ingin keadilan yang merata. Yang bisa hadir bukan hanya untuk mereka yang punya, tapi juga untuk mereka yang tidak punya apa-apa selain harapan.