Kesadaran Aktualisasi Penulisan Sejarah
GH News June 16, 2025 12:04 AM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemerintah berencana menulis ulang sejarah Indonesia dan puncak dari kegiatan ini akan diluncurkan pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). 

Secara ide, adanya proyek penulisan ulang ini dilatar belakangi kebutuhan perspektif baru dengan akses tambahan dari temuan-temuan baru dari berbagai penelitian terbaru dari kajian sejarah Indonesia secara menyeluruh. 

Tak tanggung tanggung untuk proyek penulisan sejarah ini Menteri Kebudayaan Republik Indonesia (RI), Fadli Zon mengeluarkan anggaran besar demi penulisan ulang sejarah yakni dalam kisaran 9 Miliar. 

Dengan nominal proyek sebesar 9 Miliar tentu saja proyek penulisan ini memunculkan sorotan kontroversi ditengah publik karena dianggap sebagai proyek musiman yang hanya membuang anggaran negara saja apalagi proses pengerjaan yang terbilang singkat. 

Kondisi ini jelas memunculkan spekulasi kuat jika alokasi anggaran ini hanya kejar tayang dan formalitas proyek semata. Bahkan ada pula dari sisi intelektual yang mulai meragukan kualitas tulisan didalam proyek penulisan ini. 

Karena pada ukuran waktu normal saja, riset sejarah terbaru dengan kekurangan sana sini itu paling cepat bisa diselesaikan dalam tempo 2 tahun. Kalau bisa dikerjakan kurang dalam waktu satu tahun jelas ini menciptakan pesimistis bila proyek ini adalah karya yang benar-benar baru. 

Rasionalitas Berpikir 

Kita sebagai individu barangkali sepakat jika sejarah bukan hanya soal narasi umum untuk diketahui secara luas. Dalam rasionalitas berpikir sejarah, aktualisasi dari kerja sejarah sesungguhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang berkaitan dengan apa, siapa, kapan, dan dimana peristiwa terjadi. 

Dasar pengetahuan sejarah antara ilmuan dan bukan ilmuan adalah sama. Pengetahuan ini disebut sebagai sejarah naratif. Sedangkan pengetahuan sejarah dalam sisi paling dalam adalah penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari bentuk kebenaran peristiwa. 

Pemahaman sejarah merupakan wujud penjelasan yang cerdas tentang sebab, asal usul segala sesuatu, suatu awal mula pengetahuan mendalam mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi. 

Pendekatan holistik menjadi kunci sejarah komparatif, utamanya dalam proses pertemuan antara sejarah lokal dengan sejarah kolonial, sejarah nasional, serta sejarah global. Termasuk dalam mencari pola dan juga proses pertemuan kausalitas yang melintasi ruang dan waktu. 

Sejarah memberi nilai komparatif penting yang bertolak dari kenyataan interpretasi tentatif, sehingga hasil dari kerja sejarah akan selalu mencoba menarik garis diakronis antara aspek kronologis (waktu) dan geografis (ruang). 

Pendekatan holistik dalam sejarah secara signifikan mampu membentuk perspektif integratif yang mengungkap semua kebenaran peristiwa secara alami dan menyeluruh.

Edward Hellet Carr (1987) secara jelas mendefinisikan sejarah sebagai uraian dialog yang tak berkesudahan antara sejarawan dengan masa lalunya. Sejarah sebagai rekontruksi masa lalu. Artinya apa yang telah terjadi dalam kaitannya dengan manusia dan tindakan manusia untuk di rekontruksi (re artinya kembali; constructtion artinya bangunan) dalam bentuk kisah sejarah. 

Sejarah bukanlah ilmu alam yang memberlakukan hukum-hukum secara tetap, tidak dipandang orang, waktu, tempat, dan suasanaa. Sejarah dalam eksplanasinya menyajikan hal- hal yang khas atau bersifat ideolografis. 

Berbeda pula sastra yang menghadirkan suasana imajinatif, penulisannya mengkondisikan diri sepenuhnya pada dunia yang dibangunny, dan kesimpulannya dapat berupa pertanyaan. 

Sedangkan sejarah dikontruksi atau bekerja dalam bingkai data sejarah dan alurnya dominan dipengaruhi ketersediaan sumber-sumber sejarah, dan hasil akhirnya adalah kesimpulan atau informasi yang seutuhnya. 

Karakteristik ilmu sejarah dalam lingkup positif terikat prosedur penelitian ilmiah. Penalarannya berstandar pada fakta dan kebenarannya terletak pada pengungkapan masa lalu umat manusia secara total dan objektif. 

Dialektika Rasional

Satu hal yang mempengaruhi cara kita mampu secara jernih menempatkan konteks kolonialisme dalam perspektif sejarah rasional untuk hari ini adalah dengan membangun kembali sebuah kesadaran semangat dekolonisasi sejarah yang lebih netral dalam melihat sebuah peristiwa sejarah tanpa harus memberi penilaian dikotomis yang serba hitam dan putih.

Kesadaran pemahaman sejarah sejatinya bukan sesuatu yang berdiri secara tunggal tapi merupakan proses panjang dari rangkaian proses dialektika rasional perkembangan sejarah dunia. 

Gagasan positional superiority Edward Said, telah mengkonseptualisasikan jalan-jalan pengetahuan dan budaya dalam konteks imperialisme sebagian besar dijadikan sebagai bahan mentah kekuasaan untuk menaklukan banyak daerah koloninya. 

Mengkoloni disiplin pengetahuan (colonizing the discipline) di tanah jajahan adalah modal bagaimana kolonialisme tumbuh mekar masa abad ke-19. Proses kolonisasi ini pun berjalan seiring dengan dorongan untuk menjadikan elit intelektual pribumi supaya memiliki pola pikir yang sejalan proyek pengetahuan kolonial. 

Desakan menciptakan kepatuhan terhadap kolonisasi pengetahuan secara historis dapat dinilai keniscayaan sejarah. Bukan hanya karena ragam kepentingan yang menyertai tapi juga karena tuntuan zaman yang menghadirkan benturan baru dalam banyak fase kehidupannya.

Kesadaran pemahaman sejarah bukan sesuatu berdiri secara tunggal tapi merupakan proses panjang dari rangkaian proses perkembangan sejarah di dunia. Ada jalan-jalan pengetahuan dan budaya dalam kolonialisme Belanda yang berkontribusi dalam pembentukan realitas kehidupan Indonesia hari ini. 

Hal yang perlu kita turut pahami, rasional dari hubungan penjajah dan yang dijajah sesungguhnya telah ikut melahirkan konsekuensi konsekuensi logis dalam hal perubahan ekonomi, sosial dan budaya. Lahirnya kelompok Borjuis pribumi merupakan dampak nyata yang mengubah pola pikir dan tatanan masyarakat di negara penjajah. 

Saat Hindia Belanda memberi kebijakan politis sistem tanam paksa atau sistem kultivasi (Culturstelsel) yang mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor khususnya kopi, tebu, teh dan tarum (Nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. 

Sistem tanam paksa yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pada tahun 1830 itu pun melahirkan konsekuensi warga pribumi telah dikenalkan dengan pentingnya sistem pajak. Karena aset tanam paksa inilah yang faktanya memberi sumbangan besar terhadap modal dan penghidupan banyak rakyat Hindia Belanda pada tahun 1835 dan 1940. 

Bahkan karena sistem yang memakmurkan inilah van den Bosch sebagai penggagas saat itu dianugerahi penghargaan berupa gelar Graaf oleh raja Belanda pada 25 Desember 1839.

Rasional lainnya dalam pengaruh kolonialisme terhadap perkembangan masyarakat di tanah jajahan juga terlihat dari tata kota kolonial yang menghadirkan benteng dan barak, perkantoran, rumah pemukiman, gedung, bendungan, waduk, rel kereta api, perkebunan, pabrik, pasar hingga rumah ibadah. 

Kehadiran gedung dan infrasturktur yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial faktanya menjadi aset yang masih dapat dirasakan mamfaatnya hingga saat kini. 

DItengah kontroversi proyek penulisan sejarah 2025, secara rasional urgensi untuk terus menghidupkan kesadaran sejarah secara berkelanjutan merupakan kebutuhan yang urgen. Karena dalam konteks inilah akan terjadi ekselensi atau keunggulan nilai pemahaman terhadap logika sejarah masa kini. 

Sejarah adalah sebuah keyakinan yang rasional, tidak hanya bicara tentang perubahan dari masa lalu tapi juga data perkembangan faktualitas yang akan terus berlanjut sampai pada proses kehidupan baru yang terjadi pada masa depan. 

Sejarah bukan hanya soal narasi panjang yang sekedar membicarakan wacana dalam obrolan atas peristiwa saja tapi juga tindakan nyata untuk membuat wacana sebagai sebuah tindakan sadar memproduksi pengetahuan yang mencerahkan.  

Memahami sejarah sebagai histoire-realite atau sejarah  sebagaimana terjadinya jelas akan memberi satu dialektika rasional yang tegas bahwa kita sebagai pelaku sejarah, tak berhak menghilangkan ingatan sekecil apapun dalam proses memaknai arti perjalanan hidup. 

Disinilah pemahaman sejarah akan memberi dasar nilai keberlanjutan rasionalitas atas memori kolektif panjang kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara secara komprehensif.

***

*) Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA., Analis dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.