Perlukah Metode Pengukuran Kemiskinan BPS Direvisi? (2)
Yanu Endar Prasetyo June 16, 2025 02:20 PM
Untuk memperkuat argumen perlunya Indonesia segera memperbaharui metode pengukuran kemiskinan, kita tak hanya bisa belajar dari pengalaman Amerika dan Eropa (artikel bagian 1), tetapi juga bisa belajar dari evolusi pengukuran kemiskinan di India dan Tiongkok. Dua negara dengan karakteristik demografi penduduk yang “mirip” dengan Indonesia. Sama-sama negara yang wilayahnya sangat luas dan jumlah populasi raksasa.
India: Dari Pendekatan Moneter ke Multidimensional
India adalah rumah bagi lebih dari 1,4 miliar penduduk. Negara ini memiliki keragaman etnis, agama, dan kondisi geografis. Mayoritas penduduk tinggal di wilayah pedesaan dengan akses terbatas. Sementara itu, kawasan perkotaan tumbuh pesat dengan kesenjangan sosial tinggi. Perbedaan ini tentu mempengaruhi cara kemiskinan dipahami dan diukur.
Pengukuran kemiskinan di India terus mengalami perubahan signifikan. Awalnya, pendekatan bersifat sederhana dan berfokus pada kebutuhan dasar. Pada 1867, menetapkan garis kemiskinan berbasis kebutuhan minimum. Tahun 1938, menambahkan dimensi nutrisi dan perumahan. Lalu, memperkuat standar pengeluaran tahunan sebagai acuan.
Sayangnya, garis pendapatan ini sulit diukur karena besarnya penduduk yang bekerja di ekonomi informal, penduduk dengan penghasilan musiman, dan pekerjaan harian lainnya. Garis kemiskinan juga dianggap subjektif dan tidak selalu mewakili keragaman lokal. Disparitas antara data dan memperumit interpretasi tren ini di India.
Pasca-kemerdekaan, fokus India bergeser ke konsumsi dan kalori. Pada 1962, Planning Commission menetapkan pengeluaran minimum Rs 20 per bulan. menghitung garis berdasarkan kebutuhan kalori harian. menyempurnakan pendekatan dengan penyesuaian inflasi. memperkenalkan variasi antar-negara bagian.
Dekade 2000-an membawa pendekatan baru yang lebih praktis. mengubah fokus ke pengeluaran per kapita. menaikkan ambang pengeluaran harian. Penilaian kemiskinan mulai mempertimbangkan harga aktual dan kebutuhan dasar.
Namun, metode berbasis pengeluaran ini memiliki keterbatasan. Tantangan seperti perbedaan harga antar daerah, kesulitan mengukur pendapatan informal, dan keterlambatan rilis data membuat pengukuran menjadi tidak akurat dan sulit dibandingkan secara real-time. Bahkan, survei konsumsi 2017–18 dibatalkan karena menunjukkan penurunan tajam konsumsi pedesaan—indikasi meningkatnya kemiskinan yang belum diakui secara resmi.
Sebagai alternatif, India mulai mengadopsi pendekatan Multidimensional Poverty Index (MPI) yang dikembangkan oleh UNDP dan OPHI. Pendekatan ini menilai kemiskinan melalui berbagai dimensi: kesehatan (nutrisi, mortalitas ibu dan anak), pendidikan, serta standar hidup (air bersih, listrik, bahan bakar memasak, kepemilikan aset, dan akses ke rekening bank). MPI versi India bahkan menambahkan dua indikator penting: kesehatan ibu dan inklusi keuangan.
Perbesar
Sumber:
Menurut , tingkat kemiskinan multidimensi India menurun dari sekitar 25% (NFHS-4, 2015–16) menjadi kurang dari 15% (NFHS-5, 2019–21). Artinya, 135 juta orang keluar dari kemiskinan dalam kurun waktu lima tahun. Secara keseluruhan, sejak 2005–06, sekitar 415 juta warga India telah beranjak dari kemiskinan, dengan 270 juta di antaranya terjadi antara 2005 dan 2015.
Meskipun lebih komprehensif, MPI menimbulkan tantangan baru. Beberapa indikator, seperti kematian anak, hanya tersedia pada level distrik atau negara bagian, bukan rumah tangga. Hal ini menyulitkan agregasi dan perbandingan data secara tepat.
Selain itu, hingga saat ini belum ada angka resmi terbaru untuk kemiskinan berbasis konsumsi sejak 2011. Hal ini menciptakan ketimpangan informasi dan membuka ruang bagi berbagai interpretasi. Beberapa lembaga seperti CMIE mulai digunakan sebagai sumber data alternatif, tetapi ini masih memerlukan pengakuan dan sinkronisasi nasional.
Bagaimana Dengan Tiongkok?
Tiongkok dianggap sebagai salah satu negara paling sukses dalam pengurangan kemiskinan global. Lebih dari 800 juta orang keluar dari kemiskinan ekstrem antara 1981 dan 2016, menurut standar Bank Dunia sebesar $1,90 per hari. Namun, untuk memahami keberhasilan ini secara utuh, kita perlu menelusuri , serta menilai dampaknya secara kontekstual.
Sejarah mencatat, antara tahun 1950 hingga 1980, Tiongkok berada di bawah rezim Mao Zedong. Kebijakan Maoist yang menekankan kolektivisasi pertanian dan industrialisasi cepat (mirip dengan model Stalin) justru menimbulkan konsekuensi buruk bagi ekonomi pedesaan. .
Kebijakan Maoist menyebabkan keterlambatan besar dalam pengentasan kemiskinan. Ketika reformasi ekonomi dimulai di akhir 1970-an, China tidak memulai dari nol, tapi dari posisi minus akibat kegagalan masa lalu.
Setelah Deng Xiaoping mengambil alih kepemimpinan pada 1978, reformasi agraria seperti dekolektivisasi pertanian dan insentif berbasis pasar diperkenalkan. Ini membawa peningkatan output pertanian yang signifikan dan menjadi tonggak awal penurunan angka kemiskinan di dekade 1980-an.
Pengukuran kemiskinan pada masa ini bergeser menjadi lebih kuantitatif. Sejak 1981, China mulai berpartisipasi dalam sistem , yang menghitung kemiskinan dengan menggunakan garis $1,90 per hari (2011 PPP). Pendekatan ini menekankan pada income-based poverty dan digunakan untuk menilai penurunan kemiskinan secara global. Hasilnya, garis kemiskinan nasional Tiongkok ditetapkan sebesar 2.300 yuan/tahun (harga 2011).
Perbesar
Sumber:
Perlu dicatat, pendekatan ini menitikberatkan pada kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, bukan untuk hidup layak. Artinya, pengukuran berbasis pendapatan tidak cukup untuk memahami transformasi sosial secara menyeluruh. Meskipun kemiskinan menurun drastis dari 90% (1981) menjadi di bawah 4% (2016), penyebab utamanya adalah karena Tiongkok “mengejar ketertinggalan” yang sangat jauh dari kegagalan sebelumnya.
Terlepas dari hal itu, dengan keberhasilan memberantas kemiskinan ekstrim, Tiongkok kini menghadapi tantangan baru: kemiskinan relatif.
Konsep ini menekankan ketidakmampuan seseorang untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi karena keterbatasan pendapatan. Dalam konteks negara yang makin sejahtera, pengukuran kemiskinan tidak lagi cukup berbasis kelangsungan hidup, tetapi harus memperhitungkan kesenjangan sosial dan eksklusi.
Secara konvensional, didefinisikan sebagai pendapatan di bawah 40%, 50%, atau 60% dari median pendapatan rumah tangga nasional. Jika Tiongkok menerapkan ambang batas sebesar 40% dari median nasional, maka garis kemiskinan akan hampir 4 kali lipat lebih tinggi dari batas kemiskinan pedesaan saat ini, dan 61% lebih tinggi dari rata-rata bantuan sosial perkotaan (dibao).
Artinya, secara nominal, jutaan orang yang sebelumnya tidak dianggap miskin, kini akan dikategorikan sebagai “peri-poor” – kelompok rentan yang hidup di atas garis kemiskinan absolut, namun di bawah standar partisipasi sosial minimum.
Tentu saja, adopsi garis kemiskinan relatif bukan tanpa tantangan. Pertama, pengukuran menjadi lebih kompleks dan dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi. Kedua, menyamakan garis kemiskinan dan ambang bantuan sosial dapat menyebabkan manipulasi data atau perubahan kebijakan yang bersifat politis. Ketiga, biaya fiskal untuk menaikkan perlindungan sosial bisa sangat tinggi, terutama jika cakupan diperluas secara nasional.
Apa yang Indonesia bisa Petik?
Transformasi Tiongkok dari negara berpendapatan rendah ke status hampir negara maju menuntut redefinisi terhadap konsep kemiskinan itu sendiri. Peralihan dari kemiskinan absolut ke kemiskinan relatif mencerminkan kemajuan sosial dan ekonomi, sekaligus memunculkan tuntutan baru terhadap keadilan sosial, partisipasi, dan kohesi nasional.
Keputusan politik untuk mengukur dan menanggulangi kemiskinan relatif adalah sinyal penting, bahwa India dan Tiongkok, misalnya, tidak hanya ingin menjadi kaya, tetapi juga adil. Dalam lanskap global yang semakin tidak setara, keputusan ini bukan hanya langkah domestik, tetapi juga kontribusi penting Tiongkok terhadap agenda global pengentasan kemiskinan.
Artinya, lagi-lagi pengukuran yang tepat akan menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan efektif.
Indonesia, yang kini naik kelas menjadi upper middle income, berada pada titik krusial untuk turut meningkatkan kualitas data kemiskinan (baik absolut maupun relatif), memperluas jangkauan perlindungan sosial berbasis kerentanan (near-poor atau peri-poor), dan membangun sistem sosial-ekonomi yang responsif terhadap dinamika baru kemiskinan, termasuk perubahan iklim, digitalisasi, dan urbanisasi cepat.
Harapannya, Indonesia bisa menghindari jebakan stagnasi sosial dan memastikan transisi menuju negara maju yang inklusif dan berkeadilan.