Belajar Keheningan dan Kebijaksanaan Ekologis di Luasnya Samudera
Perdhana Ari Sudewo June 16, 2025 03:20 PM

Hikmah Keheningan dan Kebijaksanaan dari Makhluk Terbesar di Dunia (Paus Biru)

Paus biru (Balaenoptera musculus) adalah hewan terbesar yang pernah hidup di bumi, bahkan sampai saat ini, baik di laut maupun di daratan. Dinosaurus pun kalah besar jika dibandingkan dengan paus biru ini seandainya masih hidup. Saking besarnya, panjang tubuhnya bisa mencapai 30 meter (sekitar panjang 3 bus dijejer), dan berat sekitar 150–200 ton (setara dengan 33 gajah).
Kita tidak akan belajar secara anatomis atau biologi dari makhluk besar ciptaan Tuhan ini. Tetapi kita belajar banyak tentang keheningan dan kebijaksanaan dari makhluk besar ini. Ia adalah yang terbesar, tetapi tidak membutnya terdorong menjadi serakah untuk menguasai dunia. Ia tidak egois dan memilih untuk hidup berdamai dengan makhluk lain, bersama-sama menjaga ekosistem ekologi dan keseimbangan hidup dunia.
Paus Biru sebagai Simbol Kebijaksanaan Alam
Paus biru tidak bising, tidak mencolok, tidak memperebutkan kekuasaan, tetapi keberadaannya sangat memberikan makna lingkungan sekitarnya. Ia diam, tetapi berdampak, menyumbangkan peran ekologis besar dalam kehidupan dunia. Kotorannya menyuburkan fitoplankton (produsen utama oksigen bumi). Kehadirannya menjaga keseimbangan rantai makanan laut. Bahkan saat mati, tubuhnya menjadi ekosistem baru yang menyokong kehidupan bawah laut selama bertahun-tahun (whale fall).
Dari paus biru, kita belajar bahwa keagungan tidak selalu harus terlihat, dan kebermanfaatan tidak perlu diumumkan.
Manusia: Ukuran Kecil, Nafsu Besar
Berbeda dari paus biru, manusia memiliki kapasitas kognitif yang tinggi, menganggap dirinya sebagai makhluk paling beradap, namun seringkali mengambil lebih dari yang dibutuhkan, merusak ekosistem demi pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa kondisi, kita juga sering manusia ini memilih menguasai, alih-alih merawat bumi. Mereka memilih untuk menaklukkan dan menumpuk keduniaan. Kejadian terakhir di Raja Ampat cukup membuat kita menghela nafas dan mengurut dada.
Manusia sering menyebut diri sebagai makhluk paling beradab, tetapi seringkali lupa bahwa peradaban sejati adalah menjaga keberlangsungan hidup bersama, bukan sekadar menguasai sumber daya. Meminjam kacamata psikoanalitik, ini seperti manusia yang terlalu tenggelam dalam "persona" superioritasnya, tetapi menolak bayangan shadow-nya dari kerakusan dan ketakutannya sendiri terhadap keterbatasan.
Etika Eksistensial: Haruskah Penguasa Selalu Merusak
“Dengan tubuh terbesar, paus biru tidak mengambil peran sebagai penguasa. Mengapa manusia yang kecil justru merasa harus menjadi tuan atas segalanya?” Pertanyaan yang tidak mudah tentunya untuk dijawab. Tetapi tetap ada ruang-ruang belajar dan bertumbuh dari pertanyaan tersebut.
Ini membuka percakapan filosofis tentang "kekuasaan sebagai pelayanan", bukan dominasi. Paus biru menjadi representasi bahwa keagungan sejati adalah memberi, bukan menguasai.
Spiritualitas Timur (seperti Taoisme) sering mengajarkan bahwa, “Yang lemah mengalir ke tempat rendah, tetapi justru menjadi sumber kehidupan; yang kuat berada di puncak, tetapi sering kali terasing.”
Akhirnya, kita tidak perlu menyombongkan kebesaran untuk memberi makna, dan tidak perlu menguasai untuk menjadi penting. Seperti paus biru, cukup hadir dengan sadar, bermanfaat, dan merelakan tubuhnya menjadi bagian dari kehidupan yang terus berputar. Hidupnya memberikan manfaat, bahkan matinyapun juga memberikan manfaat bagi lingkungannya.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, jadi teringat sebagian sahabat yang berteriak ingin menyelamatkan bumi dengan menyuarakan berbagai gerakan untuk mencegah pemanasan bumi atau perubahan iklim. Sepertinya manusia harus belajar dulu dari paus biru ini. Dalam diamnya ia berkontribusi, tidak memerlukan validasi, apalagi sorot kamera di sana sini yang didorong oleh pencitraan diri.
Mengakhiri cerita ini, harus dihadapkan kesedihan karena keserakahan manusia, paus biru ini saat ini berstatus terancam punah (endangered) karena perburuan besar-besaran pada abad ke-20, perubahan iklim yang memengaruhi ekosistem laut, dan juga tabrakan dengan kapal besar dan polusi suara di laut.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.