Seni Untuk Pemulihan Trauma Anak: Menumbuhkan Empati Lewat Ekspresi Kreatif
Maila Dinia Husni Rahiem June 16, 2025 03:20 PM
Dalam hening sebuah ruang kelas, seorang anak menundukkan kepala sambil melukis awan gelap. Di pojok lain, teman-temannya menorehkan warna cerah pada kanvas putih. Dua cerita emosional ini mengalir melalui goresan kuas, membuka jendela bagi dunia batin mereka. Seni, dengan caranya yang sederhana, memungkinkan anak-anak membongkar trauma tanpa kata, dan membangun empati lewat pengalaman berbagi ruang ekspresi.
Seni, dengan caranya yang sederhana, memungkinkan anak-anak membongkar trauma tanpa kata, dan membangun empati lewat pengalaman berbagi ruang ekspresi. Penerapan seni pemulihan trauma anak tidak terbatas pada terapi klinis. Di ruang-ruang komunitas dan sekolah, kegiatan seperti kolase kelompok, teater anak, dan menggambar digital membuka ruang refleksi dan berbagi emosi.
Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan lebih dari 50,8 % anak usia sekolah mengalami kekerasan dalam bentuk fisik, emosional, atau. Sebagian besar trauma ini tidak berakhir bersama perbuatan keliru—ia terus membayangi kesehatan mental anak, bahkan ketika fisik mereka telah sembuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan satu dari tujuh anak global hidup dengan gangguan mental tanpa dukungan memadai. Dalam konteks ini, seni menawarkan ruang pemulihan yang murah hati dan inklusif.
Membentuk Narasi Baru Lewat Seni untuk Pemulihan Trauma Anak
Seni memperkenankan anak menciptakan narasi pribadi yang berbeda dari kisah menakutkan yang pernah mereka alami. Cathy Malchiodi, pakar art therapy, menemukan bahwa proses kreatif menstimulasi area otak yang terlibat dalam regulasi emosi dan konversi memori traumatik menjadi cerita yang dapat diceritakan kembali dengan aman. Lewat media visual, drama, dan musik, anak belajar menyusun kembali peristiwa pahit dalam bentuk simbolis yang bisa mereka atur ulang, menempatkan diri sebagai pahlawan dalam kisah hidupnya sendiri.
Empati dalam Setiap Goresan
Ketika seorang anak menggambar dua figur berpegangan tangan, muncul peluang bagi teman di sebelahnya untuk menanyakan, “Kenapa mereka butuh berpegangan?” Dari sinilah empati tumbuh. Rekomendasi UNESCO tentang social and emotional learning menekankan bahwa keterlibatan dalam kegiatan seni—misalnya kolase kolaboratif atau teater partisipatif—mendorong anak memahami perasaan orang lain serta menghormati perbedaan. Hasilnya, kemampuan berempati tidak hanya menjadi konsep abstrak, tetapi praktik nyata dalam interaksi sehari-hari.
Literasi Digital dalam Seni untuk Pemulihan Trauma Anak
Era digital menghadirkan medium ekspresi baru: kolase foto, animasi stop-motion, hingga guerilla projection art. Visual arts education sekarang mencakup juga literasi digital—anak mempelajari teknik mengedit gambar untuk menyampaikan perasaan, atau membuat cerita bergambar interaktif yang melibatkan teman-temannya. Proses ini memperkaya dialog emosional lintas generasi: orang tua dan guru belajar memahami dunia anak melalui estetika digital yang mereka kembangkan.
Kids Biennale: Panggung Kreativitas dan Pemulihan
Kids Biennale Indonesia berperan sebagai titik temu kreativitas dan healing art. Dengan tema “Tumbuh Tanpa Takut”, pameran di Galeri Nasional Indonesia (3–31 Juli 2025) menghadirkan 142 karya terkurasi—lukisan, instalasi, film pendek, fotografi, serta pertunjukan wayang cilik—dari lebih 1.000 kiriman anak dan remaja. Setiap karya menjadi pengingat bahwa pemulihan trauma dan pertumbuhan empati berjalan beriringan: satu goresan menyembuhkan luka sendiri, sambil membuka ruang untuk merasakan luka teman.
Perbesar
Pengunjung memotret lukisan anak sebagai bagian dari seni pemulihan trauma anak.
Sesi diskusi interaktif, lokakarya seni-terapi, dan pementasan kolaboratif selama pameran menekankan bahwa seni bukan aktivitas pasif. Ia adalah dialog dua arah: anak-anak mengekspresikan batin mereka dan publik belajar mendengarkan dengan penuh hati. Para pendamping—seniman, psikolog, pendidik—membimbing agar setiap proses kreatif menjadi langkah pemulihan dan pembelajaran empati.
Mewariskan Dunia yang Lebih Manusiawi
Menghapus jejak trauma memerlukan lebih dari sekadar mengobati luka lama; ia menuntut pembelajaran empati yang mendalam dan berkelanjutan. Seni menyediakan bahasa universal yang dapat dipahami tanpa kata. Ketika anak-anak didorong memeluk kreativitas sebagai cara menyembuhkan dan mengerti sesama, lahirlah generasi yang bukan hanya kuat, tetapi juga peduli dan terhubung secara emosional.
Kids Biennale Indonesia membuktikan bahwa seni bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar bagi pertumbuhan jiwa. Mari bersama menumbuhkan ruang aman ini—dimulai dari apresiasi sederhana pada setiap goresan, nada, dan gerak kecil yang menjadi tanda bahwa anak-anak kita sedang menghapus trauma, sekaligus menumbuhkan empati untuk masa depan yang lebih manusiawi.
* Maila Dinia Husni Rahiem adalah Guru Besar Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memfokuskan risetnya pada resiliensi dan perkembangan anak melalui pendekatan interdisipliner. Sebagai penasehat ahli Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah sekaligus anggota Board Advisor Kids Biennale Indonesia, ia rutin menghadirkan rekomendasi strategis berbasis data untuk memperkaya program kreatif dan kesejahteraan anak. Di panggung global, Maila tercatat sebagai salah satu dari sedikit perempuan dalam daftar 2 % ilmuwan teratas versi Stanford University dan Elsevier, yang mengakui pengaruh risetnya dalam memajukan pendidikan anak.
Perbesar
Prof. Maila Dinia Husni Rahiem, pendukung seni pemulihan trauma anak dan pendidikan empati.