Tempat Kerja vs. Perusahaan: Menakar Ulang Cakupan Perlindungan K3 di Indonesia
Abdul Mukhlis June 16, 2025 04:00 PM

(Tempat Kerja, Perusahaan, K3, Budaya K3, Pekerja Informal)

Diskursus mengenai perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia semakin penting di tengah meningkatnya kompleksitas dunia kerja, baik di sektor formal maupun informal.
Namun, hingga kini masih terdapat ambiguitas dalam pendekatan regulasi, terutama dalam membedakan antara "tempat kerja" dan "perusahaan" sebagai objek kebijakan K3. Kondisi ini berpengaruh langsung terhadap siapa yang terlindungi dan siapa yang tidak masuk dalam cakupan itu.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja secara jelas menggunakan istilah tempat kerja sebagai objek regulasi. Tempat kerja dimaknai secara luas sebagai setiap lokasi di mana pekerjaan dilakukan, baik di darat, laut, udara, maupun bawah tanah, terlepas dari status badan hukumnya. Dalam undang-undang ini, tanggung jawab perlindungan K3 dibebankan kepada "pengurus" dan/atau "pengusaha"—bukan semata-mata perusahaan berbadan hukum.
Sebaliknya, dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah perusahaan digunakan sebagai subjek hukum, yang meskipun definisinya tampak inklusif (tidak harus berbadan hukum), dalam praktiknya sangat menekankan pada keberadaan hubungan kerja formal antara pemberi kerja dan pekerja.
Hal ini menyebabkan jutaan pekerja di luar hubungan kerja formal secara tidak langsung tersisih dari perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan. Tidak heran jika data-data berkaitan dengan ketenagakerjaan yang muncul adalah data yang terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan yang tidak mewakili seluruh pekerja Indonesia yang kompleks.
Bahkan kecelakaan kerja yang tersaji hanya berdasarkan jumlah klaim yang diajukan ke BPJS Ketenagakerjaan yang sebagian besar merupakan penerima upah dari badan usaha yang sudah mendaftarkan pekerjanya. lalu bagaimana dengan bukan penerima upah, pekerja informal, pekerja mandiri atau sejenisnya?
Menurut informasi yang tersedia, Sampai dengan Desember 2023, jumlah kepesertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan tercatat sebanyak 41,56 juta orang yang terdiri dari sekitar 60,16 persen peserta penerima upah, sekitar 22,12 persen peserta bukan penerima upah dan sekitar 17,72 persen peserta jasa konstruksi.
Pada tahun yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah angkatan kerja pada Agustus 2023 mencapai 147,71 juta orang. Dengan kata lain, Sekitar 28% dari total angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2023 yang telah terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Lalu apa yang terjadi dengan 72% dari angkatan kerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja? Bagaimana jika suatau saat mereka kehilangan pekerjaan? Tentu mereka tidak tercatat, tidak ada dukungan dan tidak ada perlindungan sosial.

Regulasi Turunan: PP No. 50 Tahun 2012 vs. ISO 45001: 2018

Turunan dari UU Ketenagakerjaan itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen K3 (SMK3) sebagai aturan pelaksana yang semakin memperkuat bias ini.
PP ini menyebut bahwa penerapan SMK3 wajib bagi perusahaan yang memiliki pekerja minimal 100 orang atau memiliki tingkat potensi bahaya tinggi. Istilah "perusahaan" di sini mempersempit cakupan, karena mengacu pada entitas formal dengan struktur organisasi yang jelas, pengelolaan SDM, dan kemampuan administratif yang mapan.
Dengan pendekatan ini, maka organisasi non-profit, institusi pemerintah, hingga pelaku usaha informal nyaris tidak tersentuh oleh kewajiban implementasi SMK3—padahal tempat kerja mereka tetap memiliki potensi risiko kerja yang nyata.
Berbanding terbalik dengan PP No. 50 Tahun 2012, ISO 45001:2018 tentang Occupational Health and Safety Management System menawarkan pendekatan yang jauh lebih inklusif. ISO ini tidak terbatas hanya untuk perusahaan profit, tapi untuk organisasi dalam arti luas—termasuk organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, lembaga pemerintah, komunitas, hingga pengelola RT atau RW.
Dalam panduan ISO 45001, yang menjadi titik berat adalah "aktivitas kerja yang memiliki risiko bagi manusia", bukan status hukum organisasi tersebut. Ini memungkinkan bahkan kelompok sosial terkecil untuk merancang sistem K3 yang sesuai skala dan kompleksitas kegiatannya.

Membangun Budaya K3 yang Holistik

Dalam berbagai pendekatan modern, keberhasilan sistem K3 tidak hanya diukur dari tingkat kepatuhan terhadap regulasi, tetapi dari sejauh mana budaya K3 tumbuh dan mengakar di tempat kerja. Menurut James Reason dan berbagai referensi keselamatan kerja, budaya K3 dibangun dari lima komponen utama:
  • Budaya Menginformasikan (Informed Culture) – organisasi aktif mengumpulkan, menganalisis, dan menyebarluaskan informasi tentang risiko dan kondisi kerja secara terbuka.
  • Budaya Melaporkan (Reporting Culture) – pekerja merasa aman untuk melaporkan insiden, nyaris celaka, atau kondisi tidak aman tanpa takut dihukum.
  • Budaya Pembelajaran (Learning Culture) – organisasi menggunakan setiap laporan dan insiden sebagai bahan refleksi untuk perbaikan berkelanjutan.
  • Budaya Keadilan (Just Culture) – ada keseimbangan antara tanggung jawab individu dan sistem; laporan jujur tidak dihukum, tapi dilihat sebagai masukan sistemik.
  • Budaya Fleksibilitas (Flexible Culture) – organisasi mampu beradaptasi cepat dalam menghadapi situasi darurat atau perubahan tanpa kehilangan kendali keselamatan.
Kelima elemen ini tidak akan tumbuh jika sistem K3 hanya diarahkan pada pemenuhan administratif tanpa kesadaran kolektif.

Penutup: Menuju Budaya K3 yang Holistik dan Relevan

Sudah saatnya Indonesia memperluas cakupan pelindungan K3 dengan menggeser titik tekan dari “perusahaan sebagai subjek hukum” menjadi “tempat kerja sebagai realitas aktivitas manusia”. Belajar dari ISO 45001, negara perlu membangun kebijakan K3 yang berbasis risiko dan keberadaan kerja, bukan semata status hukum.
Namun, pendekatan yang selama ini dominan—yaitu kepatuhan terhadap regulasi demi administratif belaka—sudah tidak lagi relevan. Narasi penghargaan seperti “zero accident” justru berisiko menutupi insiden, menghambat pelaporan, dan menciptakan ilusi keselamatan.
Dalam praktiknya, hal ini berpotensi melemahkan semangat untuk membangun budaya menginformasikan, budaya melaporkan, budaya pembelajaran, budaya keadilan, dan budaya fleksibilitas—lima fondasi penting dalam menciptakan sistem K3 yang hidup dan berkelanjutan.
Reformasi regulasi dan sistem K3 harus diarahkan pada pembentukan budaya K3 yang holistik, menyeluruh dan berkelanjutan—selaras dengan perkembangan dunia kerja dan cara kerja yang terus berubah seperti di era digital yang sangat dinamis.
Dengan demikian, keselamatan dan kesehatan kerja bukan hanya menjadi kewajiban, kepatuhan atau doktrin tetapi bagian dari nilai dan kesadaran kolektif seluruh komponen organisasi, di manapun dan dalam bentuk apapun tempat kerjanya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.