Dosen UGM Jadi Guru Besar Usai Teliti 'Masuk Angin' sebagai Fenomena Budaya
kumparanNEWS June 16, 2025 06:40 PM
Dosen Antropologi FIB UGM Profesor Dr. Atik Triratnawati, M.A mengangkat tema masuk angin dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi Kesehatan pada Selasa (10/6) di Balai Senat UGM. Atik menyebut masuk angin merupakan sebuah fenomena budaya.
Penelitian Atik mengenai fenomena masuk angin dalam budaya Jawa ini mengantarkannya sebagai salah satu dari 17 guru besar aktif di Fakultas Ilmu Budaya dan termasuk 532 guru besar aktif yang dimiliki di tingkat universitas.
Atik menyebut masuk angin sebagai sebuah gangguan kesehatan yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Namun dalam ilmu medis sendiri tidak mengenali masuk angin sebagai kategori penyakit dan masuk angin dipercaya sebagai gejala untuk penyakit lain seperti flu.
Dia menjelaskan, bahwa masuk angin menjadi sebuah fenomena antara bidang medis dan budaya. Hal ini yang kemudian menurut Atik disebut sebagai gangguan kesehatan dan dimaklumi oleh masyarakat Jawa dan selanjutnya masyarakat Indonesia secara luas.
Pada ranah budaya, masuk angin jatuh pada ranah magis atau sihir. Gejalanya tidak jauh berbeda dengan penyakit lain sehingga penderitanya tidak dapat melakukan kegiatan seperti biasanya.
3 Kategori Masuk Angin di Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa mengenali masuk angin ke dalam tiga kategori berbeda yakni masuk angin biasa, masuk angin berat, dan masuk angin kasep (lebih fatal) atau angin duduk.
Masuk angin biasa ini dianggap ringan dan penderitanya masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari dengan lancar. Kepala Program Studi Antropologi ini berujar bahwa masuk angin jenis ini dipercaya akibat kelelahan setelah bekerja.
Sementara kategori masuk angin berat terjadi ketika gejala yang tidak terlalu dirasakan oleh penderitanya.
“Umumnya penderitanya sering sekali menunda makan, minum, dan istirahat karena berharap pekerjaannya akan diselesaikan dulu. Akibatnya muncul gejala-gejala tambahan seperti muntah dan mencret," katanya.
Kedua gejala tambahan ini yang disebut Atik sebagai pembeda antara masuk angin biasa dan berat.
Selanjutnya untuk jenis masuk angin yang terakhir adalah angin kasep. Jenis ini muncul sebab masuk angin yang ada dibiarkan dan terlambat diatasi. Gejala awalnya tidak diperhatikan sehingga sifatnya tampak mendadak dan membuat penderitanya dapat jatuh tersungkur dan merasa nyeri dada.
"Gejala yang tidak teratasi pada masyarakat awam dapat menyebabkan kematian,” katanya.
Perbesar
Dosen Antropologi FIB UGM Prof. Dr. Atik Triratnawati, M.A. (kanan). Foto: UGM
Meski begitu, ragam fenomena masuk angin ini kemudian memiliki jenis pengobatan yang beragam pula. Atik mencontohkan beberapa pengobatan yang dilakukan perorangan bisa berbeda.
Contohnya, ada salah satu kasus keluarga yang mengobati balitanya yang masuk angin dengan menggosokkan kotoran sapi di perut anak tersebut.
Contoh lainnya ada pada salah satu petani pemilik sapi yang meminum minuman ringan (soft drink) untuk mengobati masuk angin.
Kerokan Pengobatan Bersifat Komunal
Namun, ada satu pengobatan yang bersifat komunal, yaitu kerokan yang bagi orang Jawa adalah pengobatan utama bagi masuk angin.
Masuk angin sebagai perilaku budaya menggambarkan bagaimana orang Jawa memilih berbagai cara penyembuhan untuk kondisi ini. Prof. Atik menyoroti bahwa praktik tradisional, seperti menggunakan koin kuno untuk “kerokan” (terapi gosok tradisional), balsam, minyak, dan rempah-rempah, baik dalam bentuk minuman maupun saset, memainkan peran penting dalam proses penyembuhan.
Sedangkan dalam dunia medis mengenai kerokan sendiri disebut Atik berbeda-beda. Ada anggapan bahwa kebiasaan ini dapat merusak kulit dan pembuluh darah, sedangkan di sisi lain kerokan dianggap efektif mengatasi masuk angin, utamanya bila dilakukan dengan tepat. Cara-caranya pun beragam seperti dengan dimulai dari punggung bagian atas hingga pinggang atau posisi koin yang dimiringkan.
Atik sendiri menjelaskan bahwa kerokan yang dilakukan dengan rasa sakit justru tidak efektif. Kerokan akan membantu pembuluh darah lancar sekaligus meningkatkan suhu tubuh.
“Dengan demikian, prinsip pengobatan ini sesuai dengan prinsip pemikiran sehat-sakit dalam budaya Jawa,” ujarnya.