Visi Indonesia Emas 2045 dan Paradoks Kemiskinan
GH News June 17, 2025 02:03 AM

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah gegap gempita narasi Visi Indonesia Emas 2045 yang membayangkan Indonesia sebagai negara maju dengan kemiskinan mendekati nol, realitas di lapangan berkata lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024 mencatat sekitar 24,83 juta penduduk atau 9,03% dari populasi masih hidup di bawah garis kemiskinan. 

Ini bukan sekadar angka, melainkan gambaran kerentanan struktural yang masih mengakar: ketahanan pangan yang rapuh, layanan dasar yang timpang, hingga kesenjangan sosial yang kian melebar.

Padahal, Indonesia telah berkomitmen pada pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya penghapusan kemiskinan dalam segala bentuknya (SDG 1) pada 2030.

Maka, pertanyaan muncul: jika target SDGs saja masih jauh dari tercapai, bagaimana visi ambisius 2045 dapat membawa Indonesia keluar dari kemiskinan? Inilah realitas yang perlu kita telaah lebih dalam.

Ketimpangan yang Menganga

Di balik optimisme capaian SDGs, ketimpangan struktural tetap menjadi masalah utama. Berdasarkan teori ketergantungan (dependency theory) yang dikembangkan Cardoso & Faletto, kemiskinan di Indonesia bukan sekadar akibat rendahnya penghasilan, melainkan buah dari ketimpangan relasi ekonomi dan politik.

Secara statistik, memang terjadi penurunan angka kemiskinan dari 9,22% (2019) menjadi 9,03% (2024). Namun, penurunan ini lebih banyak terjadi di perkotaan, sementara di pedesaan masih bertahan di angka 11,89% (BPS 2024). 

Program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) lebih banyak bersifat sementara dan belum menyentuh akar persoalan seperti akses lahan, pendidikan, dan pekerjaan layak.

Dalam SDG 8 tentang pekerjaan layak, sekitar 59% pekerja Indonesia masih bekerja di sektor informal dengan upah di bawah upah minimum (BPS 2023). Ironisnya, kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja justru memperlemah posisi buruh dengan dalih fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Di sisi lain, pada SDG 10 soal pengurangan kesenjangan, laporan Oxfam (2023) menunjukkan 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir 47% kekayaan nasional. Bahkan, program Dana Desa yang digadang-gadang sebagai alat pemerataan, masih kerap bocor. ICW (2023) mencatat 214 kasus korupsi Dana Desa dalam lima tahun terakhir.

Ketimpangan seperti ini tidak cukup diatasi dengan angka-angka statistik atau program sesaat. Tanpa keberanian politik mengubah arah pembangunan, SDGs berisiko hanya menjadi deretan janji manis yang hampa makna.

Mengapa Target SDGs Terhambat?

Masalah utamanya ada pada paradigma pembangunan yang masih menganut logika ekonomi menetes ke bawah (trickle-down economics). Asumsinya, pertumbuhan ekonomi akan otomatis dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Namun, praktiknya justru menciptakan jurang baru.

Proyek-proyek besar seperti pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) atau ekspansi smelter di kawasan timur Indonesia lebih banyak menyerap anggaran negara, tetapi tidak menyentuh langsung kehidupan masyarakat miskin. 

Bank Dunia (2023) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia memang stabil di kisaran 5% sejak 2015, namun tidak diikuti dengan penurunan kemiskinan struktural, terutama di desa-desa dan pesisir.

Sementara itu, kebijakan sosial masih berorientasi pada bantuan jangka pendek. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan pangan hanya bersifat peredam sesaat, bukan pemberdayaan. 

Studi SMERU (2023) menyebutkan, pemberdayaan baru akan efektif bila didukung sistem jangka panjang berupa pelatihan usaha, akses modal, dan perlindungan sosial berbasis komunitas.

Lebih parah lagi, kebijakan sosial kita sering tercemar korupsi dan birokrasi lemah. Skandal bansos di Kementerian Sosial tahun 2020-2021 dengan kerugian negara sekitar Rp32 miliar memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan. 

Proses verifikasi yang lambat membuat banyak warga miskin tak menerima bantuan tepat waktu, sementara yang tak layak justru lolos karena data yang tak mutakhir.

Inilah bukti bahwa kegagalan mencapai SDGs bukan sekadar soal anggaran, melainkan soal paradigma.

Dari Bantuan Sesaat Menuju Reformasi Struktural

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan pendekatan belas kasih (charity-based) dan beralih ke reformasi struktural yang berkeadilan. Salah satunya melalui reforma agraria yang sungguh-sungguh. 

Pemerintah perlu menetapkan target redistribusi lahan secara progresif. Hingga 2023, Kementerian ATR/BPN baru menuntaskan sekitar 80% dari target sertifikasi, namun porsi petani kecil masih terbatas.

Kesenjangan kekayaan juga perlu dikoreksi lewat sistem pajak yang lebih adil. Oxfam (2023) mengusulkan penerapan pajak kekayaan (wealth tax) 2% bagi kelompok superkaya. Jika diterapkan pada pemilik aset di atas Rp100 miliar, Indonesia bisa membentuk dana abadi pengentasan kemiskinan untuk jangka panjang.

Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah tak cukup sekadar membuka lapangan kerja, tetapi harus menjamin pekerjaan layak. Insentif pajak bisa diberikan kepada pengusaha sektor informal yang mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. 

Pemerintah juga perlu memperluas pelatihan vokasi berbasis komunitas, seperti model dual system di Jerman, yang bisa diadaptasi menjadi sekolah teknik desa.

Di bidang pendidikan, negara perlu memastikan wajib belajar 13 tahun bagi 40% keluarga termiskin dengan beasiswa penuh. Kurikulum pun harus relevan dengan potensi lokal. Misalnya, pengolahan hasil laut di Maluku atau pengelolaan agroforestri di Kalimantan. 

Pendidikan harus mencetak pelaku perubahan, bukan sekadar pencari kerja. Transformasi sosial butuh keberanian membongkar akar ketimpangan. Reformasi struktural adalah jalan utama menuju SDGs sejati.

Visi 2045 Harus Berangkat dari Kenyataan

Jika Visi Indonesia Emas 2045 ingin menjadi lebih dari sekadar narasi seremonial, maka ia harus berpijak pada kenyataan: puluhan juta warga masih hidup dalam kemiskinan, meski ekonomi tumbuh stabil.

Tanpa keberanian menjalankan reformasi struktural dari distribusi tanah, sistem pajak, hingga kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan, maka target SDGs hanya akan menjadi daftar mimpi yang tak kunjung terwujud. 

Indonesia Emas 2045 bisa saja hanya menjadi kilau statistik yang rapuh. Sudah waktunya membangun masa depan dari keberpihakan nyata, bukan ilusi belaka.

***

*) Oleh : Chandra Dinata, Peneliti & Akademisi Universitas Merdeka Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.