Usman Hamid Sebut Fadli Zon Bersikap 'Paradoks' soal Pemerkosaan Massal Mei 1998
Tiara Shelavie June 16, 2025 09:33 PM

TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengomentari klarifikasi Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.

Menurut Usman, ada beberapa pernyataan yang bisa dibedah dari apa yang disampaikan oleh Fadli Zon.

Pertama, politikus Partai Gerindra itu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi sampai hari ini.

Kemudian, sambung Usman Hamid, Fadli Zon juga menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang mendasar.

"Karena itu pernyataan semacam ini seharusnya mencegah seorang menteri untuk mengatakan peristiwa kerusuhan Mei (1998) dan perkosaan massal di dalamnya sebagai rumor," ucapnya dalam acara Kompas Petang di Kompas TV, Senin (16/6/2025).

Menurut Usman, pernyataan itu justru memberikan kesan bahwa keyakinan dari Menteri Kebudayaan bersikap paradoks atau mendua.

Di satu sisi, Fadli Zon mengecam tindakan perkosaan massal, tetapi di sisi lain seperti meragukan kebenaran dari peristiwa itu.

"Sementara ia bukanlah otoritas yang mengetahui kebenarannya, Menteri Kebudayaan siapa pun menterinya, bukanlah menteri yang dilibatkan di dalam penyelidikan atau pencarian fakta oleh tim gabungan yang dibentuk oleh Presiden B.J. Habibie." 

"Menteri-menteri lain yang dilibatkan ketika itu di luar urusan kebudayaan, dari mulai Menteri Pertahanan, Menteri Hukum atau Menteri Kehakiman, sampai dengan menteri urusan perempuan," tuturnya.

Oleh karena itu, Usman menilai seharusnya Menteri Kebudayaan menyerahkan hal ini kepada menteri-menteri yang memang terlibat di dalam penyelidikan tim gabungan pencari fakta.

"Nah, yang kedua kalau dikatakan ini tidak ada, katakanlah buktinya secara hukum atau tidak bisa diuji secara akademik, apakah ia (Fadli Zon) seorang praktisi hukum?" 

"Apakah Menteri Kebudayaan seorang akademisi? Bukan. Karena itu sekali lagi serahkanlah pada ahlinya, serahkanlah pada otoritas yang mengetahui kebenarannya," tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, dalam klarifikasinya, Fadli Zon mengatakan, diksi "massal" yang disematkan dalam peristiwa pemerkosaan saat tragedi Mei 1998 masih menjadi perdebatan.

"Istilah 'massal' telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik," jelasnya, dikutip dari akun X pribadinya, Senin.

Fadli pun mengakui, kekerasan seksual memang terjadi saat tragedi Mei 1998.

Namun, dirinya menegaskan penyebutan diksi terjadi pemerkosaan massal saat itu harus digunakan secara hati-hati.

Pasalnya, Fadli Zon menilai belum ada data yang komprehensif terkait peristiwa tersebut.

Ia juga menegaskan pernyataannya dalam sebuah wawancara tersebut bukan sebagai bentuk penyangkalan terkait terjadinya kekerasan seksual saat tragedi Mei 1998.

Hanya saja, dia ingin agar sejarah diketahui masyarakat lewat fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

Hal tersebut, sambung Fadli, dinilai penting demi penulisan sejarah yang lebih komprehensif.

"Pernyataan saya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah 'perkosaan massal', yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat," ucapnya.

Fadli lantas mengomentari soal temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kekerasan seksual yang terjadi saat peristiwa Mei 1998.

Menurutnya, temuan TGPF belum kuat dalam segi data karena tidak tercantum nama korban hingga sosok pelakunya.

"Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa," tuturnya.

Fadli juga menyebut masih adanya silang pendapat dan beragam perspektif di antara para pihak soal ada atau tidaknya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.

Kendati demikian, dia tetap mengutuk berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dalam konteks peristiwa Mei 1998.

Ia menegaskan segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan di masa lalu adalah pelanggaran kemanusiaan paling mendasar.

"Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan," pungkasnya.

(Deni/Yohanes)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.