Mengapa Trump Menentang Niat Israel Membunuh Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei? Ini Kata Analis
Febri Prasetyo June 17, 2025 04:31 AM

TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menentang rencana Israel untuk membunuh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, ungkap tiga pejabat AS kepada CBS News pada Minggu (15/6/2025).

Israel dikabarkan memiliki peluang untuk menghabisi Khamenei, tetapi Trump menyampaikan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa hal itu bukanlah ide yang baik, kata salah satu pejabat AS.

Menurut pejabat tersebut, percakapan antara Netanyahu dan Trump terjadi setelah Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Iran pada Jumat (13/6/2025).

Penolakan Trump terhadap usulan itu pertama kali dilaporkan oleh Reuters.

Dalam wawancara dengan Special Report with Bret Baier di Fox News pada hari yang sama, Netanyahu tidak secara langsung mengonfirmasi maupun membantah laporan dari Reuters saat ditanya mengenai hal tersebut.

Trump juga belum memberikan komentar publik terkait laporan itu.

Namun, pada hari Minggu, Trump mengeluarkan peringatan keras kepada Iran agar tidak membalas serangan terhadap target-target AS di Timur Tengah.

Membunuh Khamenei Dinilai sebagai Pertaruhan Berbahaya

Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei menyapa hadirin yang datang dalam acara peringatan dakwah Nabi Muhammad SAW, dengan sekelompok pejabat Iran, perwakilan dan duta besar negara-negara Islam di Teheran, Iran pada Selasa (28/1/2025).
KONFLIK IRAN-ISRAEL - Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei menyapa hadirin yang datang dalam acara peringatan dakwah Nabi Muhammad SAW, dengan sekelompok pejabat Iran, perwakilan dan duta besar negara-negara Islam di Teheran, Iran pada Selasa (28/1/2025). (Kantor berita resmi negara Iran, IRNA)

Mengutip The Telegraph, para analis meyakini bahwa membunuh Khamenei akan menjadi langkah berisiko tinggi yang dapat dengan mudah berbalik menjadi bumerang, membuka jalan bagi penerus yang lebih ekstrem.

Menurut analis The Telegraph, meski Khamenei bukanlah seorang pembawa damai, ia pernah mengeluarkan fatwa yang secara efektif melarang Iran mengembangkan senjata nuklir.

Pembunuhan terhadap sepuluh jenderal senior Iran mungkin telah memperkuat faksi fundamentalis dalam rezim, meskipun serangan itu juga menghantam struktur komando militer Iran secara signifikan.

Tak satu pun dari mereka yang tewas dalam serangan Israel tersebut merupakan sosok liberal yang moderat.

Sebaliknya, mereka diyakini bersekutu dengan faksi "Prinsipalis" – kelompok konservatif garis keras yang enggan berkompromi.

Faksi Prinsipalis, yang dinamai demikian karena kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip Revolusi Islam 1979, telah lama memiliki pengaruh kuat di lingkaran dalam Khamenei, dan sering kali meminggirkan suara-suara yang lebih pragmatis dan reformis.

Dengan jaringan politik, militer, dan keulamaan yang luas, kelompok ini mendukung konfrontasi dengan Barat dan menganut penafsiran ketat terhadap nilai-nilai moral Islam.

Namun bahkan di dalam faksi Prinsipalis, terdapat sub-faksi yang saling bersaing untuk mendominasi.

Beberapa jenderal yang tewas dipandang lebih pragmatis dibandingkan kelompok ultrakonservatif seperti Front Paydari, yang dikenal sebagai sayap paling ekstrem dari kubu fundamentalis.

Jenderal Hossein Salami, komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) sekaligus tangan kanan Khamenei, dikenal sangat keras dalam retorikanya terhadap Israel dan Amerika Serikat.

Namun para analis menilai bahwa pengalaman militernya menjadikannya sedikit lebih fleksibel secara ideologis dibandingkan beberapa tokoh lain di sekitarnya.

Mohammad Bagheri, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, juga dikenal sebagai loyalis.

Namun ia dilaporkan mencoba meredam suara-suara ekstremis dan mendukung pendekatan "de-eskalasi yang diperhitungkan" dalam menghadapi ketegangan atas program nuklir Iran.

Demikian pula dengan Ali Shamkhani – penasihat senior Khamenei dan tokoh penting dalam negosiasi nuklir Iran hingga kematiannya yang dilaporkan pada Jumat lalu – yang secara luas dipandang sebagai figur pragmatis.

Para analis memperingatkan bahwa kematian tokoh-tokoh seperti mereka dapat membuka jalan bagi pengganti yang tidak berpengalaman, lebih radikal, dan enggan berkompromi.

Hal ini juga menyingkirkan individu-individu kunci yang sebelumnya memiliki posisi untuk menantang Khamenei dari dalam sistem.

“Beberapa orang dalam struktur militer yang memiliki kekuasaan, wewenang, dan legitimasi untuk mendorong transformasi kini telah terbunuh,” kata Farzan Sabet, peneliti senior bidang Timur Tengah di Geneva Graduate Institute.

“Dalam situasi di mana legitimasi kepemimpinan melemah, atau para pemimpin politik puncak disingkirkan, tokoh-tokoh tersebut berpotensi menjadi katalisator perubahan, dan sekarang mereka sudah tiada.”

Setelah Khamenei: Kekosongan Kekuasaan atau Perebutan Kekuasaan?

Kematian Khamenei akan menimbulkan kekhawatiran besar mengenai masa depan Iran, meskipun tidak adanya pemberontakan bersenjata membuat keruntuhan seperti di Suriah tahun lalu tampak tidak mungkin.

Namun, wafatnya Khamenei berpotensi menciptakan kekosongan kekuasaan di jantung pemerintahan, yang bisa memicu konflik internal, membangkitkan gerakan-gerakan dari kelompok etnis minoritas, dan memunculkan risiko konflik lokal yang berujung pada perang saudara berskala luas.

Kekhawatiran atas kemungkinan tersebut juga memunculkan prediksi bahwa IRGC dapat mencoba mengambil alih kekuasaan dan mengubah Iran menjadi negara militer teokratis.

Skenario ini akan membawa dampak besar terhadap stabilitas pasar minyak global, salah satu alasan utama mengapa para pelaku pasar sangat mencermati nasib Pemimpin Tertinggi Iran tersebut.

Khamenei dan Keluarganya Bersembunyi di Bunker di Utara Teheran

Ali Khamenei dilaporkan dipindahkan ke sebuah bunker bawah tanah di kawasan Lavizan, timur laut Teheran, hanya beberapa jam setelah Israel melancarkan serangan udaranya di ibu kota Iran pada Jumat dini hari.

Informasi ini disampaikan oleh dua sumber dari dalam Iran kepada Iran International.

Menurut sumber tersebut, seluruh anggota keluarga Khamenei, termasuk putranya Mojtaba, turut serta bersamanya di bunker tersebut.

Sumber yang sama juga menyebutkan bahwa selama operasi sebelumnya yang dilancarkan Iran terhadap Israel, yakni "True Promise 1" dan "True Promise 2", keluarga Khamenei juga telah dievakuasi ke lokasi perlindungan yang sama.

Peringatan untuk Khamenei

Pada Minggu (15/6/2025), Israel memperluas serangannya dengan menargetkan kota Mashhad untuk pertama kalinya.

Kota suci tersebut terletak sekitar 2.300 kilometer dari wilayah Israel.

Seorang sumber diplomatik di kawasan Timur Tengah mengatakan kepada Iran International bahwa serangan udara di Mashhad dimaksudkan sebagai sinyal peringatan kepada Khamenei, bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi dirinya di seluruh wilayah Iran.

Sumber itu juga mengungkapkan bahwa Israel sebenarnya memiliki peluang untuk membunuh Khamenei pada malam pertama operasi militer, namun pemerintah Israel memilih untuk tidak melakukannya.

Sebaliknya, mereka ingin memberikan satu kesempatan terakhir kepada Khamenei untuk memutuskan pembongkaran total program pengayaan uranium milik Republik Islam Iran.

Sebelumnya, Donald Trump juga telah memberikan tenggat waktu dua bulan kepada Khamenei untuk menyetujui penghentian program nuklir Iran.

Namun, Pemimpin Tertinggi Iran itu mengabaikan peringatan tersebut, baik dari Amerika Serikat maupun dari Israel.

Kini, dengan dimulainya serangan udara besar-besaran oleh Israel, kesempatan itu sekali lagi ditawarkan kepadanya.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.